Didi Kempot—-Dalam wawasan sufistik (tasawuf), jiwa-jiwa manusia itu ibarat burung-burung yang berasal dari Sarang Rahim Ilahi. Itulah yang pernah digambarkan oleh seorang sufi martir, Suhrawardi, dalam salah satu kitabnya, Risalah al-Thair (Risalah Burung).
Burung-burung itu kemudian terbang, lepas, lalu mereka terpenjara dalam sangkar materi, yakni tubuh fisik mereka sendiri, juga kehidupan duniawi mereka. Ini bersenyawa dengan sabda Nabi SAW, di mana beliau pernah mengatakan bahwa, “Dunia adalah penjara bagi orang Mukmin” (al-dunya sijn al-Mu’min).
Kenapa Dunia Sebagai Penjara?
Kalau dijawab secara awam, “Karena di dunia seorang Mukmin dilarang melakukan ini itu, memakan ini itu, bla bla bla. Sedangkan nanti di akhirat, orang beriman dibebaskan menikmati apa saja sekehendaknya, dan seterusnya.”
Tetapi kaum sufi, para pencari Tuhan (salik), menjawab lain. Menurut mereka, “Dunia ini sebagai penjara, karena dunia inilah yang menyebabkan jiwa-jiwa kita terbelenggu; jiwa kita ingin kembali ke Sarang Rahim Ilahi, kembali pulang ke asal-muasal kita, sangkan paraning dumadi kita. Akan tetapi, alam materi ini, tubuh fisik kita, kehidupan duniawi kita, menghalangi keinginan jiwa untuk kembali pulang.”
Maka dari itu, menurut kaum sufi, jiwa orang-orang yang cinta dunia ibarat burung-burung yang terpenjara dalam sangkar atau tertangkap jaring pemburu. Mereka harusnya pulang, mereka harusnya rindu ke rumah asalnya (Sarang Rahim Ilahi), tetapi mereka justru terjebak dan tak bisa kembali.
Sebaliknya, jiwa-jiwa mereka (orang Mukmin) yang tidak materialitsik, yang tidak “gemanthil-kanthil” dengan dunia, jiwa mereka yang lebih mengutamakan akhirat, melalui laku taubat dan berbuat kebajikan, melalui riyadah batin taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Tuhan), ibarat burung-burung yang telah bisa membebaskan diri dari kungkungan sangkar, melepaskan diri dari jaring pemburu, dan bersiap kepakkan sayap-sayap mereka untuk pulang ke Sarang Rahim Ilahi.
***
Saya jadi berpikir kreatif, lagu “Layang Kangen” Lord Didi mungkin bisa dibagankan ke dalam wawasan seperti itu.
Orang Mukmin (salik) itu ibarat lelaki di perantauan, yang menerima sepucuk surat dari Wong Ayu. Wong Ayu itu adalah Allah, sebagaimana Maulana Rumi yang dalam beberapa bait syairnya menyimbolkan Allah, sang Kekasih, sebagai seorang Gadis Cantik.
Sepucuk surat atau “layang-Mu” itu adalah kitab suci, yang keseluruhan titah dan piwulangnya pada intinya mengajak manusia (salik) untuk menyadari hakikat keberadaannya di dunia, yakni untuk beriman dan beramal bajik demi perjalanan pulang ke asalnya. Karena, “Kita semua milik Tuhan, dan kepada-Nya kita akan kembali” (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).
Maka Al-Qur’an itu tak ubahnya “layang kangen”, yang sekujur ayat-ayat yang terkandung di dalamnya tak ubahnya ungkapan “kerinduan” Allah SWT yang ingin segera bertemu dengan kekasih-Nya (salik), yakni hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh. Dalam Al-Qur’an Allah sering menyebut orang beriman sebagai kekasih-Nya (waliy Allah). Begitu juga, dalam Al-Qur’an sering diungkapkan bahwa cinta Allah (hubb Allah) adalah level cinta tertinggi orang beriman.
Seorang Mukmin sejati (salik), yang mampu memahami pesan-pesan Al-Qur’an dengan lanksap keimanan dan kerinduan akan Tuhan, setiap kali membaca Al-Qur’an akan terharu-biru, emosional, sehingga akan menangis, meneteskan air mata di kedua pipinya. Dalam laksa-laksa syair “Layang Kangen” Didi Kempot: “… Wes tak waca apa sing dadi karep-Mu. Trenyuh ati iki maca tulisan-Mu, ra krasa netes eluh neng pipiku.”
Dalam Al-Qur’an digambarkan bahwa Allah adalah Zat yang tidak pernah tidur, dan Dia pada tiap pertiga malam terakhir selalu turun ke langit dunia untuk menyapa para kekasih-Nya yang juga mengekspresikan kerinduan dan bermunajat kepada-Nya. Didi Kempot dalam “Layang Kangen” menggambarkan si Wong Ayu yang karena secara fisik jauh dari sang kekasih menjadikannya “susah tidur” sepanjang malam, “adoh bojo arep turu angel merem”.
***
Orang Mukmin sejati (salik) akan sadar bahwa jiwanya, ruhnya, berasal dari Allah, dan pasti akan kembali kepada Allah, ke Sarang Rahim Ilahi. Sehingga, bagi mereka (para salik), kematian seharusnya bukan diratapi, ditangisi, tetapi justru dirayakan dengan gembira. Karena, kematian justru gerbang menuju perjumpaan dengan sang Kekasih.
Wawasan seperti ini yang selalu diusung oleh juru biacara komunitas sufi yang paling fasih, Jalaluddin Rumi. Wawasan ini sesungguhnya tak ubahnya rekonstruksi ihwal kegembiraan Sayyidah Fatimah Azzahra, saat dikabari oleh sang Ayahanda SAW menjelang wafatnya, bahwa dialah, Al Bathul, yang akan pertama menyusul menghadap Allah. Fatimah tersenyum gembira mendengarnya.
Sebab, terlepasnya jiwa-jiwa yang rindu-Kekasih dari keterikatan dengan penjara dunia ini memang bisa terjadi hanya melalui satu jalan: kematian. Kematian ini terbagi menjadi dua: Pertama, mati dalam arti kematian rasa dari cinta duniawi, artinya fisiknya boleh masih berada di dunia, tetapi jiwanya tidak terikat dengan tarikan-tarikan duniawiah.
Inilah yang disebut Rumi sebagai, “mati sebelum mati” (mutu qabla an tamutu), dalam salah satu kitabnya, Fihi Ma Fihi. Kedua, kematian sesungguhnya, yakni berpisahnya ruh dengan jasad.
Dalam wawasan sufistik Suhrawardi, keinginan jiwa untuk kembali ke asal-muasal diri, ke haribaan Allah, sekali lagi, disimbolkan sebagai keinginan burung-burung untuk kembali pulang ke sarangnya, Sarang Rahim Ilahi. Keinginan untuk kembali pulang itu muncul ketika keterikatan diri dengan alam materi (dunia) sudah terlepaskan.
Sama halnya Qais Ibn Al Mulawwamah, yang mengandaikan dirinya bisa memiliki sayap agar bisa segera terbang menemui Kekasih-nya. Qais berkata dalam salah satu syairnya, “Asirb al-qatha hal min mu’iri janahahu, la’alli ila man qad hawaitu athiru” (wahai kawanan burung, adakah yang sudi meminjamkan sayapnya kepadaku, agar aku bisa terbang menuju tempat Kekasih yang aku cintai).
***
Bahkan Qais mengutuk, menyumpah serapah, kepada burung-burung yang enggan menuruti keinginannya. Katanya, “Wa ayyu qathatin lam tu’irni janahaha, fa ‘asyat fi dlairin wal-janahu kasiru” (wa siapa pun burung yang tak sudi meminjamiku sayap, aku sumpahi hidupnya susah dan sayapnya patah).
Demikian halnya Didi Kempot dalam “Layang Kangen”-nya itu. Sang lelaki perantau itu mengandaikan kedua tangannya adalah sayap, dan jika saja hal demikian bisa terwujud, tentu saja ia bisa segera pulang menemui sang Kekasih. “Umpama tanganku dadi sewiwi, siki uga aku mesti enggal bali,” kata Lord Didi.
Tetapi bagaimana lagi, karena keadaan, “marga kahananku”, hal itu tak bisa dilakukannya. Keadaan, atau “kahananku”, adalah ungkapan yang mewakili keadaan-keadaan terpaksa yang memaksa sang lelaki perantau itu menunda keinginannya untuk pulang menemui sang Kekasih, misalnya karena bekal pulangnya belum cukup, atau karena faktor kondisional lainnya. Ia pun hanya bisa berjanji dan berjanji, bahwa jika tiba waktunya nanti, ia pasti akan kembali, “Cah Ayu, entenana tekaku.”
Maka sama halnya sang Mukmin (salik), yang sebenarnya jiwanya meronta-ronta ingin kembali kepada Allah, laksana burung-burung yang ingin segera kepakkan sayapnya pulang ke Sarang, tetapi belum juga pulang.
Alasannya, mungkin saja itu terjadi karena ia merasa belum cukup bekal menghadap sang Kekasih, Allah SWT. Bukankah betapa sering kita merasa belum siap mati (meski mati bisa kapan pun datangnya), dengan alasan bahwa kita belum siap bekal.
Sebab, pulang memang harus membawa bekal, sangu. “Wa tazawwadu, fa inna khair al-zad al-taqwa” (dan persiapkanlah bekal, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa), kata Allah dalam salah satu sayat Al-Baqarah.
Dan, Allah sendiri, sang Kekasih, bisa jadi memanjangkan umur kita agar kita bisa menambah amal kebajikan sebelum datangnya kematian, sebagaimana doa yang diajarkan Nabi, “Waj’al al-hayata ziyadatan li fi kulli khair” (dan jadikanlah, duhai Tuhan, hidupku sebagai ladang untuk menambah kebajikan).
***
Selamat jalan, Pakdhe Didi Kempot, Lord Didi. Jiwamu kini sudah lepas dari penjara materi. Sekarang engkau laksana bersayap, bersiap terbang menemui sang Kekasih, Wong Ayu-Mu, yang sudah lama merindukanmu.
Amalmu insyaAllah sudah banyak, Pakdhe, sebagai bekal menghadap Gusti Allah; entah itu dari lagu-lagumu yang menggugah jiwa, kepedulianmu kepada sesama, dan lain-lain.
Semoga husnul khatimah, njeh, Pakdhe Didi Kempot. Sugeng kondur. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Amin.