Menjadi suatu hal wajar apabila seorang Muslim mengkaji dan mendalami agama Islam, agamanya sendiri. Orang Nasrani paham dengan agamanya. Namun muncul tanda tanya besar ketika ada seorang Muslim mendalami agama Kristen, atau sebaliknya. Atau dalam ranah yang lebih luas, suatu peradaban mengkaji peradaban lain.
Barat mengkaji Islam. Untuk apa? Kenapa? Dengan motif apa? Apa dengan tujuan murni akademik, atau apa? Serta pertanyaan-pertanyaan lain yang secara spontan muncul ketika mengetahui bahwa di sana ada orang-orang yang begitu totalitas mempelajari suatu agama sedang ia sama sekali tak mempercayainya, atau suatu kelompok tertentu yang mendedikasikan penuh waktu dan tenaga pada studi-studi terhadap agama yang justru dianut oleh kelompok lain.
Membaca dan memahami bagaimana “Barat” mengkaji “Islam” serta motif-motif di dalamnya merupakan persoalan yang akan selalu aktual. Bagimana pada akhirnya “Islamic Studies (Studi Islam)” menjadi kajian khas terhadap Islam oleh para outsider-Barat. Apa yang menarik dari Islam sehingga mereka jadikan subjek penelitian yang serius?
Fakta sejarah menegaskan bahwa ternyata kajian terhadap Islam tidak hanya bermakna positif, yang berarti ketakjuban dan ketertarikan.
Namun pada beberapa fase, kajian terhadap Islam oleh Barat justru sangat bernuansa negatif dan permusuhan. Pada era perang salib dan kesarjanaan Cluni (1100-1500) misalnya, studi Islam muncul sebagai upaya untuk menyerang peradaban Islam itu sendiri.
Al-Qur’an dan teks-teks Islam diterjemahkan guna menghancurkan dan mengalahakan Islam sebagai musuh Barat-kristen kala itu. Nabi Muhammad pun mereka anggap sebagai sosok penyihir (a magician) belaka.
Baru ketika masa Reformasi (1500-1650) Islam mulai dikenal Barat secara lebih luas dan positif. Hingga pada abad ke-17 Islam mulai dikaji secara akademik, bukan lagi secara teologis seperti sebelumnya. Baru pada abad ke-20 studi khusus tentang Islam muncul ke permukaan, atau yang sering diistilahkan dengan Orientalisme.
***
Di mana, para orientalis ini mengkaji Islam dengan pendekatan dan metode-metode tertentu. Baru pada era orientalis ini Islam dilkaji secara benar-benar positif dan metodis. Bahkan setelah muncul kritik dari Edward Said, studi tentang Islam yang awalnya masuk dalam terma “Oriented Studies” menjadi “Islamic Studies” yang kita pahami saat ini. Sehingga dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa “Studi Islam” memiliki akar Barat-sentris. Bagaimana Barat sebagai “outsider” membaca, mengkaji, dan memahami Islam.
Dengan terbakukannya terma “Islamic Studies”, selanjutnya muncul cendekiawan-cendekiawan Barat yang konsen terhadap kajian Islam, misalnya Henry Corbin, William Montgomery Watt, Michael Cook, Karen Armstrong, dll.
Di mana, mereka mewakili kubu outsider dalam pengkajian Islam dari orientalis. Mereka mengusung corak metodologi tertentu dalam mendekati kajian-kajian keilmuan Islam.
Tak jarang dari para orientalis ini memberikan kontribusi besar terhadap keilmuan dan pemikiran Islam. Henry Corbin misalnya, ia memberikan sumbangan dalam studi-studinya yang menegaskan bahwa filsafat Islam tidak mati dengan kematian Ibnu Rusyd.
Ia juga menegaskan bahwa Filsafat Islam itu benar-benar ada dan memiliki karakteristik yang benar-benar khas. Hal ini yang kemudian membuka mata pengkaji Barat tentang keotentikan dari Filsafat Islam itu sendiri.
Memang, dalam beberapa produk kajian mereka terhadap Islam tidak sepenuhnya bisa diterima oleh umat Islam secara umum. Kajian para orientalis yang cenderung positivistik pada akhirnya memunculkan problem yang menganga dari hasil kajian mereka.
Bagaimana mungkin objek kajian agama yang notabennya sukar didekati dengan pendekatan empiris maupun positivistik mereka coba gali dengan hal itu? Meskipun dalam ranah metode dan upaya untuk mendekati objektifitas yang mereka upayakan memiliki signifikasi tersendiri dalam ranah keilmuan.
Namun tetap saja, kajian mereka masih sangat mungkin dilengkapi dengan kajian-kajian lain yang mendukung, lebih dekat dengan ruh ketimuran dan keislaman dan lebih komprehensif.
Alhasil, dari pembacaan terhadap sejarah Islamic Studies dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam dikaji oleh peradaban lain–dalam hal ini Barat– dengan motif yang pada awalnya serat akan nuansa teologis dan permusuhan, yang lambat laun unsur teologis itu luruh dan digantikan dengan kecenderungan akademik, hingga bermuara pada kajian-kajian para orientalis yang bisa kita anggap sebagai upaya akademik murni –dengan upaya mengesampingkan kemungkinan motif lain, seperti politis dan teologis.
Editor: Yahya FR