Perspektif

Untuk Para Mufassir, Jadilah Penafsir Al-Qur’an yang Inklusif

2 Mins read

Hampir mayoritas muslim mengatakan bahwa pendapat ulama-ulama atau penafsir terdahulu,  khususnya orang-orang yang sezaman bahkan tidak jauh dari kehidupan Nabi Muhammad adalah universal dan final tidak dapat diganggu gugat keshahihannya. Hegemoni penafsiran dan kitab tafsir klasik di kalangan masyarakat muslim sangat kuat, di beberapa majlis kitab tafsir klasik dijadikan rujukan utama.

Sebut saja kitab tafsir al-Jalalain, al-Razi, at-Thabari, al-Baydhowi, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan fanatisme dan romantisme pengikut terhadap masing-masing penafsiran yang dijadikan sumber utama (primer). Sebab, mereka adalah orang-orang yang dekat dengan era Nabi Muhammad saw atau setidaknya gurunya belajar dengan sahabat yang bertemu dengan Rasul. Didukung dengan metode dan pendekatan yang digunakan adalah tradisi keilmuan Islam, menjadikan sunnah-sunnah Nabi dan pendapat (ijtihad) para sahabat sebagai rujukan penting.

Lahirnya Penafsir-Penafsir Reformis

Polemik seperti ini seharusnya tidak terjadi pada era modern-kontemporer, karena pengaruh globalisasi menyebabkan keterbukaan/inklusivitas akan dunia di luar Islam. Pada akhirnya, lahirlah penafsiran-penafsiran reformis yang mendobrak penafsiran klasik, bahkan pada beberapa kasus mengkritik kitab tafsir klasik.

Persoalan baru yang diusulkan oleh penafsir modern adalah dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih komprehensif, bernalar kritis, dan mampu mengkontekstualisasikan kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan saat ini.

Salah satu tokohnya adalah Fazlur Rahman, seorang reformis Islam yang mampu mendekontruksi penafsiran Al-Qur’an. Dia mengusung penafsiran Al-Qur’an menggunakan perspektif hermeneutika yang dia beri nama ‘double movement’. Sebuah pendekatan hermeneutika yang menjadikan al-Qur’an lebih hidup dan progresif. Dalam teorinya tersebut dia mengungkapkan langkah-langkah yang ditempuh penafsir dalam melakukan kegiatan penafsirannya.

Di awali dengan melihat fenomena historis yang muncul saat ayat-ayat tersebut diturunkan kemudian melihat peristiwa apa yang terjadi di dalamnya. Setelah mendapatkan pemahaman terhadap fenomena yang terjadi saat itu, kemudian penafsir mengaitkan benang merah antara peristiwa saat wahyu itu turun dengan fenomena yang sedang dihadapi saat ini (modern-kontemporer). Kegiatan tersebut merupakan hal yang membuat Islam dianggap lebih progresif dalam menghadapi tantangan zaman.

Baca Juga  Darwis Abu Ubaidah dan Kitab Tafsir Al-Asas

Berbeda dengan penafsiran klasik yang tidak memperhatikan aspek historis, namun ada beberapa yang melihatnya menggunakan riwayat atau disebut juga dengan asbabun nuzul. Akan tetapi, ketika tidak didapatkan riwayat terhadap alasan wahyu itu turun, penafsir klasik berhenti tidak membahas aspek historisitas ayat. Seharusnya merujuk kepada referensi kesejarahan yang terkait dengan fenomena tersebut, agar mampu mengutarakan apa saja yang terjadi saat itu. Sehingga tidak akan terjadi misspenafsiran terhadap pengamalan Al-Qur’an, apalagi ayat-ayat tersebut menyangkut hukum.

***

Pada era modern-kontemporer ini, perkembangan ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat, jauh dari perkembangan yang muncul pada era klasik. Oleh karena itu, interkoneksi antar keilmuan harus dapat dikombinasikan untuk menjawab persoalan-persoalan baru.

Saat ini, tidak bisa hanya menggunakan satu sudut pandang/aspek saja dalam menghadapi fenomena yang muncul. Tetapi kita perlu mengabungkan berbagai ilmu pengetahuan baik eksack, ekonomi, historis, social, bahkan teknologi sekalian.

Apabila dikaitkan dengan proses kegiatan penafsiran Al-Qur’an, maka akan terjadi pemaknaan yang progresif dan lebih dapat diaplikasikan dalam kehidupan modern-kontemporer ini. Sebagai contoh ayat tentang empat orang saksi yang harus dihadirkan untuk kesaksiannya terhadap perempuan yang berzina.

Menurut pandangan saya, tidak seharusnya menghadirkan empat orang saksi, langkah yang dapat dilakukan adalah melihat teknologi berupa CCTV yang dapat mengungkap apakah perempuan itu berzina atau tidak. Maka dengan teknologi ini kita dapat lebih mudah.

Peristiwa lain kita lihat tentang kesetaraan gender, banyak kita temukan dalam kitab tafsir klasik hampir laki-laki menghegemoni strata perempuan. Amina Wadud muncul sebagai sosok penafsir perempuan yang mengkontruksi penafsiran klasik. Dalam bukunya ‘Women in the Qur’an’ menegaskan bahwa seharusnya ayat-ayat yang membahas perempuan, harus ditafsirkan oleh perempuan agar terhindar dari kesenjangan gender.

Baca Juga  Memahami Lebih Dekat Ruang Lingkup Tafsir Tekstual

Jadilah Penafsir yang Inklusif

Oleh karena itu, dari pemaparan di atas penulis menyarankan untuk sikap keterbukaan/inklusif terhadap apa saja khususnya perkembangan ilmu pengetahuan. Jangan sampai berhenti pada penafsiran klasik yang belum dapat dipastikan mampu menjawab tantangan zaman. Tetapi tidak serta merta melepaskan diri dari penafsiran klasik tersebut, hanya saja dijadikan sebagai batu loncatan dapat memahami Al-Qur’an.

Berbagai pendekatan yang berkembang sampai saat ini, saya kira mampu diaplikasikan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sebut saja ilmu pengetahuan alam, sosial, ekonomi, filsafat, teknologi, dan sebagainya. Dengan demikian, penafsiran al-Qur’an akan dianggap progresif tidak mandek pada penafsiran klasik.

Editor: Soleh

Roma Wijaya
12 posts

About author
Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang Minat Kajian Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds