Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy
Kembali terjadi polemik di antara ormas Islam terkait satu kebijakan politik berupa Rancangan Undang Undang (RUU) Pesantren yang sekarang sudah disahkan menjadi UU. Polemiknya di antaranya selain terkait dengan “dana abadi pesantren”, juga berkisar soal lima unsur pokok terkait kriteria pesantren yang terkesan eksklusif. Yang disebut pesantren kalau memenuhi lima kriteria tersebut yang salah satu di antaranya adalah terkait dengan “kitab kuning”. Tidak terpenuhi satu saja dari lima kriteria tersebut, maka tak bisa disebut sebagai pesantren.
Masalah Ma’had Ali, Dewan Masyayikh, dan pola pendidikan yang hanya menyebut “mualimin” juga menjadi polemik.
Padahal hampir semua ormas Islam saat ini selain mempunyai lembaga pendidikan yang bersifat formal juga mempunyai lembaga pendidikan keagamaan yang disebut pesantren, tentu sesuai dengan kekhasan masing-masing ormas tersebut. Dan perlu diketahui bahwa pesantren itu sudah hadir jauh sebelum ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah (1912), Mathla’ul Anwar (1916), Persis (1923), NU (1926), Al-Khairaat (1930), Persatuan Tarbiyah Islamiyyah (Perti, 1930) Al-Washliyah (1930), Persatuan Umat Islam (PUI, 1952), dan Nahdlatul Wathan (NW, 1953) didirikan. Sehingga klaim bahwa pesantren itu mengidentik dengan dan diklaim oleh ormas tertentu sebagai “merek dagang” rasanya tidak pas.
KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) adalah alumni pesantren, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) juga alumni pesantren. Bahkan dua kiai besar ini pernah sama-sama nyantri di pesantren yang sama, yaitu Pesantren Langitan Widang Tuban dan Pesantren Soleh Darat Semarang.
Hampir kebanyakan tokoh pendiri ormas Islam lainnya juga alumni pesantren. Karena sejatinya tradisi pendidikan Islam di Indonesia periode awal itu hanya pesantren, model pendidikan yang mengakulturasi sekaligus mengadopsi model pendidikan di kalangan Hindu dan Budha.
Dengan latar sejarah yang demikian, maka meskipun Muhammadiyah selama ini dikenal sebagai ormas yang mempunyai concern pada pendidikan umum tak berarti menafikan model pendidikan pesantren. Sebaliknya, NU yang selama ini identik dengan model pendidikan pesantren juga tak menafikan model pendidikan umum.
Singkat kata, saat ini, tak hanya Muhammadiyah yang mempunyai sekolah, tapi NU dan ormas-ormas Islam lainnya juga mempunyai sekolah. Pun begitu, tak hanya NU yang mempunyai atau lebih tepatnya menghimpun pesantren-pesantren yang sepaham, Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya juga mempunyai pesantren. Karenanya kebijakan apapun yang dibuat terkait kepentingan umat harus diupayakan secara serius dengan mengakomodir dan mengayomi semuanya. Tak boleh eksklusif. Tak boleh merasa paling dan berprinsip mentang-mentang dan apalagi dibingkai dalam rumus kalah menang.
Terkait UU Pesantren yang baru disahkan DPR RI, secara prinsipil tak ada satu ormas Islam pun yang menolak. Yang disoal adalah kesan eksklusifnya UU Pesantren yang seolah hanya ormas tertentu yang mempunyai atau lebih tepatnya mengayomi pesantren, sehingga UU Pesantren pun lebih berwajah dan mengakomodir gaya pesantren dari kelompok atau ormas tertentu. Kesan ini jelas cenderung menafikan keberadaan pesantren-pesantren yang dimiliki oleh ormas-ormas Islam lainnya. Padahal hampir semua ormas Islam juga mempunyai pesantren, tentu dengan kekhasan masing-masing ormas bersangkutan.
Hingga saat ini Muhammadiyah tercatat memiliki lebih dari 300 pesantren. Sekali lagi, ini pesantren Muhammadiyah, bukan pesantren orang per orang atau yayasan milik orang Muhammadiyah. Persis, Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Al-Washliyah, Hidayatullah, dan ormas-ormas Islam lainnya juga mempunyai banyak pesantren.
Masih ingat Liga Santri yang digulirkan Menpora Cak Imam Nahrowi sejak 2015? Liga yang bernama lengkap Liga Santri Nusantara (LSN) ini digulirkan dengan menggunakan uang rakyat. Tapi sayangnya santri yang dimaksud dalam LSN itu sangat eksklusif, yaitu santri yang berasal dari pesantren-pesantren tertentu yang berafiliasi ke ormas tertentu.
Eksklusifnya LSN juga tergambar dari pelaksananya. Tercatat LSN hanya sekali dilaksanakan langsung di bawah komando Kemenpora. Selanjutnya LSN dilaksanakan oleh Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI), organisasi perhimpunan pesantren yang berafiliasi ke NU.
Setahu saya, selama empat kali bergulir, LSN hanya berhasil menelorkan tiga pemain yang dipanggil masuk seleksi timnas U-19 yaitu Tri Widodo, Richard Rahmad, dan Muhammad Rafli Mursalim di tahun 2017. Dari tiga pemain tersebut hanya satu pemain yang lolos masuk tim nasional U-19, yaitu Rafli yang nyantri di Pesantren Al-Asy’ariyah Tangerang. Sebelum nyantri, sejak kelas 5 SD Rafli sudah masuk Sekolah Sepak Bola (SSB) Villa 2000. Rafli sempat menjadi bintang pada gelaran Piala AFF 2017 U-19 di Myanmar. Sekarang Rafli tercatat hanya bermain di Liga 2 bersama Mitra Kukar.
Prestasi ini tentu tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan LSN. Sekadar diketahui, untuk pelaksanaan LSN 2017 saja biaya yang dikeluarkan Kemenpora mencapai 8 miliar.
Bayangkan, kalau alokasi anggaran untuk LSN diberikan kepada PSSI untuk melakukan pembinaan pemain usia dini, dipastikan akan dan bahkan sudah menghasilkan banyak pemain nasional.
Rasanya tak akan ada yang menolak atau menjadi polemik ketika LSN dilaksanakan lebih inklusif, dengan melibatkan semua pesantren dari berbagai latar belakang ormas Islam.
Tentu bukan lantaran iri atau ingin ter(di)libatkan dalam LSN, tapi selain LSN dilaksanakan dengan menggunakan APBN juga semata untuk menjaga ukhuwah Islamiyyah di antara ormas Islam atau pesantren (santri) di wilayah olah raga. Kecuali kalau niatnya memang mau tampil eksklusif, menang-menangan atau mumpung. Tentu lain lagi, niatan untuk membangun ukhuwah Islamiyyah di ranah olah raga pasti tak akan berlaku.
Berangkat dari kasus LSN, harapannya konten UU Pesantren juga menggambarkan wajah UU yang bersikap “mengakomodir” dan inklusif, bukan sebagaimana wajah LSN yang terkesan mentang-mentang dan eksklusif. Namun harapan tersebut rasanya tidak tercermin dalam UU Pesantren.
Masukan atau usulan dari Muhammadiyah misalnya praktis tidak diindahkan sama sekali. Padahal usulan Muhammadiyah hanya sebatas melengkapi atau menambahkan dan tidak untuk mengubah secara fundamental. Usulan Muhammadiyah sebatas agar UU Pesantren lebih berwajah mengayomi semua pesantren dengan kekhasan yang dimiliki masing-masing ormas Islam dan bersifat inklusif, bukan sebaliknya berwajah eksklusif dan ada kesan “mentang-mentang”.
Rasanya ke depan, kalau model kebijakan yang berkenaan dengan umat Islam, tapi dibuat berwajah seperti LSN atau UU Pesantren, rasanya keinginan untuk membangun ukhuwah Islamiyyah yang penuh ketulusan di antara ormas Islam hanya mimpi. Kalau pun seolah ada bangunan ukhuwah Islamiyyah, tak lebih hanya bangunan ukhuwah yang penuh kepura-puraan. Tak ada ketulusan sama sekali. Sekian.
*Alumni Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang dan Guru pada Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ