Uzlah Perspektif Al-Ghazali
Perubahan sosial abad modern mengalami kemerosotan cukup drastis, di mana arusnya mengalami serangan ideologi yang didominasi oleh pola kehidupan modern yang materialistik, egoistik, dan hedonistik.
Sehingga hal-hal penting dalam kehidupan psikologi manusia banyak terabaikan, seperti aspek-aspek moral dan rohani yang harusnya juga menjadi unsur penting dalam kehidupan manusia tapi kini seakan menjadi bagian yang terpisah dalam kehidupan.
Hal ini terjadi disebabkan lahirnya banyak pemikiran yang memisahkan ruh dan jasad, dunia dan akhirat ataupun agama dan sains yang cenderung mengatakan agama adalah candu untuk masyarakat.
Dalam agama Islam, terdapat beberapa disiplin meditatif guna memperkuat demensi ritual dan sosial, demi terciptanya manusia yang shaleh ritual dan shaleh sosial. Dalam hal ini, Al-Ghazali menawarkan konsep uzlah yang bersifat meditatif.
Secara sosiologis, ia tidak hanya dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan terhadap dunia adikodrati yang bersifat ilahi yang bersifat pribadi, namun juga berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma, perilaku-perilaku, ritual-ritual, dan simbol-simbol yang bersifat sosial.
Sampai tingkat tertentu, ‘uzlah juga berkaitan erat dengan konstruksi sosial dan budaya yang merupakan refleksi dari tatanan kehidupan masyarakat.
Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin jilid kedua, mendefinisikan uzlah adalah cara untuk menjauhkan diri dari pada manusia ghairu shaleh dengan tujuan agar bisa beribadah dengan penuh leluasa dan agar tidak terpengaruh akhlak yang buruk.
Al-Ghazali dalam kitabnya juga menyebutkan syarat-syarat bagi orang yang ingin melakukannya, setidaknya ada tiga syarat ialah: memahami agama dengan baik, harus bertujuan menyelamatkan agama, dan ketika akhlak masyarakat rusak.
Adapun langkah yang harus ditempuh di antaranya: tinggal di tempat ibadah yang strategis, menghindari penyakit sosial, menjauhi fitnah dan fanatisme, tidak tamak dunia, dan menjauhi manusia yang berakhlak buruk. Dan al-Ghazali juga membagi uzlah menjadi tiga macam yakni uzlah batin, fisik, batin dan fisik.
Uzlah Batin
Uzlah batin merupakan betuk uzlah yang ditempuh dengan hati (non fisik), dengan arti bahwa fisik seseorang yang sedang uzlah (batin) tetap bergaul serta berinteraksi dengan masyarakat namun hati tetap selalu ingat kepada Allah.
Menurut al-Ghazali, uzlah seperti ini pernah juga dilakukan oleh Rasulullah pada awal kenabian dengan bermeditasi di Gua Hira dalam waktu tertentu sehingga beliau mendapatkan kekuatan cahaya kenabian dari Allah Swt. Namun, fisik beliau tetap bergaul dengan manusia lainnya.
Al-Ghazali juga mengatakan bahwa, uzlah batin juga biasa dilakukan oleh para nabi, para wali, dan sebagian para ulama atau orang-orang yang mabuk cinta kepada Allah. Sebab, orang yang sedang uzlah batin meskipun ia membaur dengan masyarakat, ia tetap menjaga dan menyambung hatinya dengan Allah Swt.
Kemudian, al-Ghazali juga memperkuat perkatannya dengan menukil pernyataan Junaidi al-Baghdadi dengan mengucapkan suatu pernyataan bahwa selama tiga puluh tahun terakhir, ia bercakap secara rahasia dengan Allah, tetapi orang mengira bahwa ia sedang berbicara dengannya.
Uzlah Fisik
Uzlah fisik merupakan uzlah langsung secara fisik, berbeda dengan uzlah batin yang dilakukannya hanya dengan hati. Dalam hal ini, al-Ghazali menyebutkan dengan hadis Rasulullah yang artinya Apabila engkau menyaksikan manusia yang ingkar janji dan mengkhianati amanah yang dipercayakan kepada mereka, dan apabila mereka menjadi begini, beliau memasukkan jari-jari satu tangan ke dalam jari-jari tangan lainnya, maka mereka akan sibuk dengan pertengkaran dan perselisihan. Seseorang kemudian bertanya, lalu apa yang harus kami lakukan ya Nabi? Jawab beliau, tetaplah berada di rumah kalian, jaga lidahmu baik-baik, dan ambil apa yang kalian ketahui dan tingkalkan apa yang tidak kalian ketahui. Karena itu, tatap sibuklah dengan urusan kalian sendiri dan tinggalkan urusan orang banyak. (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Adapun menurut al-Qusyairy, persahabatan yang abadi adalah persahabatan dengan Allah Swt. Begitu pula Ibnu ‘Abbas Ra, juga salah satu ulama yang pro terhadap ‘uzlah, dengan memberikan pernyataan, bahwa tempat yang paling baik adalah rumah sendiri, maka tidak berlebihan jika rumah kita adalah surga bagi kita.
Bahkan, Sufyan al-Tsauri mengatakan “Demi Allah, saat sekarang ini, ‘Uzlah telah dihalalkan” dan “sekarang tiba waktunya untuk berdiam diri dan tinggal di rumah”.
Sufyan al-Tsauri melontarkan pendapat seperti ini setelah melihat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada interaksi masyarakat pada masa saat itu dan ia merasa perlu untuk melakukannya demi keselamatan agama dan akhlak.
Pernyataan ini menunjukkan terhadap bolehnya ‘uzlah sekaligus bukti bahwa Sufyan al-Tsauri, menjadikan ‘uzlah bagian dari perjalanan spiritual kehidupannya.
Uzlah Fisik dan Batin
Ber-‘uzlah yang ketiga menjalankan keduanya yaitu secara fisik maupun batin. Dalam hal, ini Murtadha mengutip sarh kitab Ihya’ Ulumuddin menyebutkan ayat yang berbunyi “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah SWT, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua, niscaya Tuhanmu melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kamu dan menyediakan sesuatu yang berguna.” (Qs, 18: 16).
Ayat ini menjelaskan bahwa para pemuda yang memilih tinggal di gua adalah bentuk ‘uzlah secara fisik dan batin demi menyelamatkan agama dan nyawa mereka dari penguasa yang zalim.
Kemudian, al-Ghazali juga menyebutkan hadis yang berbunyi:
“Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seorang sahabat, siapakah manusia yang paling utama? Beliau menjawab, ia adalah orang mukmin yang berjuang di jalan Allah SWT dengan jiwa dan harta, kemudian sahabat tersebut bertanya kembali, kemudian siapa Ya Rasul? Beliaupun memjawab, seseorang yang menghindar dari orang banyak dan tinggal di sebuah Gua dengan tujuan agar selalu bisa beribadah kepada Allah SWT dan ia bisa meninggalkan keburukan yang ada pada orang banyak” (HR: Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa ‘uzlah secara fisik dan batin ke tempat yang sunyi seperti Gua dengan tujuan beribadah dan menghindari masyarakat yang buruk akhlaknya, sangatlah penting.
Keterangan ini menunjukkan bahwa ada di antara ulama yang juga melakukannya secara total, artinya jiwa dan raga mereka ber-‘uzlah demi terjaganya kebaikan-kebaikan yang ada pada diri mereka dan supaya tidak terpengaruh oleh masyarakat yang moralnya buruk.
Relevansi Uzlah Terhadap Masyarakat Modern
Masyarakat modern yang dilanda krisis spritual dan moral, dapat dilihat dalam pratik kegamaan yang lebih mementingkan agama dalam bentuk formal dibanding penghayatan batin terhadap agama. Sehingga, agama tidak menimbulkan kesan apapun pada jiwa.
Melihat kenyataan tersebut, al-Ghazali menawarkan ajaran ‘uzlah yang bertujuan untuk memberikan fungsi dalam dua demensi, yaitu demensi spiritual dan sosial. Sehingga, dapat menciptakan pengalaman agama yang bermakna dan membangun masyarakat modern yang bermoral.
Editor: Yahya FR