Perspektif

Tiga Hal yang Salah Kaprah Terkait Vaksinasi Berbayar

3 Mins read

Vaksinasi Berbayar

Tidak sedikit yang setuju terkait dengan vaksinasi berbayar yang diadakan oleh Kimia Farma. Mereka yang setuju biasanya adalah dari kelas menengah ke atas yang bisa membayar uang untuk vaksin mandiri antara Rp. 600 ribu-1 juta.

Alasan utama bagi mereka yang setuju adalah sebagai bentuk keistimewaan (privilege) karena telah membayar. Dengan membayar inilah mereka membutuhkan ruang yang lebih aman sekaligus nyaman; tidak perlu antri lama dan menunggu daftar antrian sebagaimana kebanyakan masyarakat kebanyakan.

Dengan membayar inilah mereka merasa setidaknya bisa meminimalisir resiko dirinya untuk tertular ketimbang harus mengikuti vaksinasi massal.

Sementara itu, bagi mereka yang mengikuti vaksinasi massal, apabila tertular itu lebih diakibatkan seolah-olah karena resiko diri mereka karena ikut vaksinasi gratisan.

Celoteh umum bahwasanya ada harga ada barang memainkan peranan logika yang kuat, “Haree Genee, mau gratisan minta fasilitas yang bagus, mikirrrr!!!!!”.

Yang Salah dari Vaksinasi Berbayar

Sekilas pandangan ini benar, meskipun bermasalah karena tiga hal.

Pertama, sikap merasa punya uang dan karena itu merasa lebih nyaman untuk mendapatkan fasilitas adalah imajinasi kelas menengah ke atas yang tumbuh seiring dengan meningkatnya kesejahteraan seseorang.

Dengan cara pandang semacam ini, mereka merasa memiliki punya hak untuk tidak bersentuhan dengan orang lain karena kekhawatiran terkena virus apabila berbarengan dengan orang banyak.

Cara pandang ini kemudian menciptakan persoalan lanjutan kedua, yaitu adanya dalih korporasi kesehatan lain untuk menangkapnya sebagai peluang; karena masyarakat benar-benar membutuhkan.

Memang selama ini hanya Bio Farma memegang lisensi untuk vaksinasi mandiri. Namun, adanya komersialisasi vaksin ini akan menciptakan kecemburuan kepada korporasi kesehatan lain untuk menciptakan peluang yang serupa.

Baca Juga  Sunda Wiwitan dan Gempuran Intoleransi

Jika kondisi didukung, maka akan menciptakan pasar yang kompetitif bagi mereka yang memiliki uang seiring dengan datangnya sejumlah vaksinasi lain yang jauh lebih terkenal digunakan di negara maju seperti Pfizer dan Moderna.

Ketiga, sikap ini memperkuat budaya impunitas penyelenggara negara yang bikin mereka abai untuk bekerja secara maksimal kepada masyarakat secara terbuka, adil, dan transparan dengan tidak memandang pelbagai kelas ekonomi dan sosial.

Dengan memberikan akses vaksinasi berbayar kepada masyarakat di tengah masih rendahnya jumlah populasi Indonesia secara keseluruhan yang telah divaksinasi yaitu 36, 33%, tidak hanya menciderai akses hak kesehatan masyarakat secara umum, melainkan melanggengkan kenyamanan fasilitas kesehatan yang selalu diiringi dengan kata berbayar.

Tentu saja, hal ini hanya bisa diakses bagi kelas menengah ke atas yang merasa apapun bisa diselesaikan dengan uang. Momentum vaksinasi setidaknya bisa menjadi titik pengubah di mana akses kesehatan adalah untuk semua lapisan masyarakat, tanpa adanya keistimewaan kelas tertentu.

Vaksinasi Mandiri Efektif?

Apalagi kita tahu, bahwasanya usulan agar vaksinasi mandiri ini segera dilakukan adalah datangnya dari Rosana Roeslani, Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN).

Ia mengandaikan dengan adanya vaksinasi mandiri upaya pencapaian vaksinasi secara umum di Indonesia dengan mencapai 70% akan tercapai. Namun, di balik itu, tersembunyi niat predator untuk melibatgandakan keuntungan di tengah krisis.

Sebagaimana dicatat oleh Mufti Anam, Anggota DPR, bahwasanya potensi keuntungan yang akan didapatkan dari vaksi Covid-19 berbayar bisa mencapai Rp. 747 juta perhari. Sikap merengguk keuntungan ini di tengah krisis ini tidak hanya berbahaya, melainkan juga merusak lima sendi Pancasila sebagai bagian dari amalan sebagai warga negara Indonesia.

Jika ini dilakukan, tidak hanya memperparah jurang kelas ekonomi terkait dengan akses fasilitas vaksinasi dan kesehatan lainnya, melainkan justru akan memperburuk fasilitas pelayanan untuk masyarakat yang ingin mendapatkan fasilitas vaksin secara gratis.

Baca Juga  Benarkah Al-Qur'an Sunni dengan Syiah itu Berbeda?

Dalam situasi pandemik berkepanjangan ini, kebijakan tersebut akan memperburuk nasib kelas bawah di tengah sikap pelayanan kesehatan yang akan bekerja setengah hati. Sikap pelayanan ini tidak hanya mereka akan jatuh tertimpa tangga, melainkan juga terinjak-injak di tengah perut keroncongan menahan lapar.

Sementara itu, di negara-negara kapitalis sekalipun, vaksin ini merupakan bagian dari fasilitas negara sebagai cara untuk membangun kekebalan kawanan (herd immunity) dengan tanpa memandang kelas. Argumen yang ingin dibangun adalah “tidak ada satupun orang yang merasa jauh lebih sehat ketika semua orang belum merasakan kesehatan secara keseluruhan”. 

Memang, saat ini Kimia Farma sedang menunda program vaksinasi mandiri ini. Namun adanya berita ini yang sudah tersebar di masyarakat justru telah menciptakan semacam inkonsistensi pemerintahan di bawah Jokowi. 

Sebelumnya, Jokowi secara terbuka bilang bahwasanya vaksinasi adalah gratis untuk masyarakat. Sikap inkonsistensi ini justru menciptakan disinformasi yang bisa memproduksi hoaks yang terus berkembang di masyarakat, di tengah individu dan kelompok yang masih percaya bahwasanya covid-19 adalah konspirasi global dan vaksinasi adalah cara negara kapitalis mendapatkan keuntungan.

Adanya ketakutan individu dan kelompok untuk divaksinasi karena mendapatkan informasi yang keliru bahwasanya vaksin bisa menyebabkan kematian, adanya inkonsistensi ini memperlambat upaya percepatan vaksinasi yang kini sedang digalakkan di tengah tingginya varian delta menyerang lapisan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Editor: Rozy

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds