Oleh: Ulul Azmi Syafira*
Secara definisi, viral berasal dari kata ‘virus’. Term ini ada di dunia medis untuk mendeskripsikan sebuah infeksi kecil namun juga menginfeksi segala tipe dari organisme di sekitarnya (Moreu, 2019). Melalui definisi ini setiap pribadi kita dapat merefleksikan tentang viralku dan efeknya.
Viral—dalam term teknologi informasi—memiliki arti yang tidak jauh beda. Konten apapun bisa dengan leluasa tersebar. Sama seperti virus, orang-orang di sekitarnya akan terinfeksi ketika melihatnya. Infeksi tersebut digambarkan dengan emosi yang menggebu, sehingga memacu viewer yang tergugah untuk membagikannya kembali.
Dari Mulut ke Mulut
Istilah viral—dalam term komunikasi—lahir dari fenomena komunikasi ‘dari-mulut-ke-mulut’ (Paus, 2014). Istilah ‘dari-mulut-ke-mulut’ (atau bisa dicari dengan kata kunci word-of-mouth communication) ialah istilah ekspresi di Inggris, yakni word of mouth. Menurut kamus Spanyol (DRAE) di tahun 2014, istilah tersebut diartikan sebagai ekspresi ‘untuk menyebar berita, rumor, pujian, dan sejenis lainnya dari orang-orang kepada orang-orang’.
Konsep komunikasi ‘word-of-mouth’ berkaitan dengan dua hal. Pertama, penerima pesan boleh jadi lebih besar dalam arti kuantitas. Penerima punya kemampuan untuk tidak terlalu mempercayai pesan bila pesan yang didapatnya bukan dari sesuatu yang dikenalnya.
Dalam hal ini, saran publik, kelompok, atau perusahaan terkenal, bisa memengaruhi opininya mengenai pesan tersebut. Hal ini diperkuat dengan survei periklanan Nielsen Global Trust, hasilnya menjelaskan bahwa sembilan dari sepuluh orang sangat bergantung pada saran pengguna lain (mengenai pesan dan produk tersebut) (Jose Ramon Sarmiento Guede, 2017).
Kedua, bahwa orang-orang pada umumnya akan menularkan pesan—mereka cenderung membagikan pesan yang didapatnya tersebut kepada khalayak. Kemunculan media sosial membuat para komunikator—yakni khalayak umum—memiliki kekuatan lebih. Oleh sebab itu, konsep komunikasi lisan ‘dari-mulut-ke-mulut’ itu menjadi awal mula berkembangnya model komunikasi elektronik ‘dari-mulut-ke-mulut’ (Paus, 2014).
Komunikasi & Interaksi Elektronik
World Population Statistics memperkirakan per Januari 2016 ada 3,4 milyar orang mampu menggunakan internet. 2,3 milyar di antaranya mengambil peran di media sosial juga (Jose Ramon Sarmiento Guede, 2017). Sebagian dari pengguna media sosial memiliki lebih dari satu platform media sosial (Albors, 2008).
Komunikasi elektronik ‘dari-mulut-ke-mulut’ itu telah menjadi bagian baru dari formasi komunikasi sebab komunikasi elektronik melalui media sosial. Umumnya, tidak hanya menawarkan kesempatan baru pada pengguna media sosial untuk berbagi opini tentang suatu produk atau layanan. Komunikasi model ini juga memberi ruang bagi pengguna untuk bisa mempengaruhi (Chen, 2008)—aktivitas ini sederhananya disebut dengan interaksi.
Asumsi Schultz saat ini benar, bahwa komunikasi tidaklah eksis tanpa interaksi (Schultz, 2013). Dengan kedatangan internet dan kemunculan media sosial ini, membuat model komunikasi tradisional model lisan menjadi lebih personal dan sederhana.
Buettner berpendapat tentang media sosial yang dapat diartikan sebagai ‘teknologi di mana komputer atau alat komunikasi digunakan dan pengguna (perusahaan, non-government organization, pemerintah, dan yang lainnya) mampu menciptakan, membagikan, informasi professional, ide, ketertarikan, dan ekspresi lainnya melalui komunitas di dunia maya dan menjalin jaringan dengan yang lain (Buettner, 2016).
Lahirnya Fenomena Viral
Konsep dari media sosial Buettner menggambarkan bahwa media sosial ialah wadah dari komunikasi lisan (yang melalui media sosial, komunikasi tersebut dinyatakan dengan komunikasi elektronik). Komunikasi model ini mampu membangun jaringan, dan menggunakan internet sebagai alat penghubung antara pengguna media sosial satu dengan yang lainnya.
Fenomena viral sejatinya merupakan peristiwa turunan dari masifnya komunikasi nonverbal. Saat ini kita istilahkan sebagai komunikasi elektronik. Kemudian didukung oleh kemunculan internet dan banyaknya platform media sosial.
Komunikasi elektronik lahir oleh perkembangan teknologi komunikasi. Mulai dari kemunculan internet di UCLA, penemuan komputer tunggal pertama, hingga penemuan telepon genggam pertama. Saat ini internet berkembang melalui penemuan web 1.0 dan web 2.0 (Jose Ramon Sarmiento Guede, 2017). Penemuan media yang signifikan ini membuat model komunikasi yang berbeda dari komunikasi gaya tradisional, yakni model komunikasi elektronik.
Individu dan publik dapat dengan mudah mendapatkan informasi (pesan), menyebarkannya, dan membuat informasi agar dapat disebarkan. Masifikasi pesan—yang berujung viral—menurut Jose Ramon diartikan sebagai teknik baru untuk menghasilkan hasil kualitas komunikasi baik berkualitas positif maupun negatif. Viral dipahami sebagai teknik dalam mempromosikan pesan, merek, produk atau layanan antara pengguna media sosial melalui aktivitas interaksi dan penciptaan ulang dari nilai pesan tersebut.
Viralku dan Efeknya
Jose memberikan pendapat tentang viralku dan efeknya. Ia mengatakan bahwa paling tidak ada lima faktor penyebab mengapa pesan bisa menjadi viral. Pertama, faktor emosi. emosi atau perasaan menjadi faktor paling berpengaruh terhadap viralnya suatu pesan. Orang-orang tidak akan sadar ikut serta menyebarkan pesan dan menjadi viral sebab pesan tersebut menggugah hatinya.
Penelitian Jonah Berger dan Katherin L. Milkman mengatakan bahwa konten online yang melibatkan peran emosi atau perasaan akan lebih cepat viral. Entah itu emosi positif (seperti kekaguman), maupun emosi negatif (seperti kesedihan) (Milkman, 2011).
Kedua, faktor orang yang memengaruhi. Istilah influencer bagi kita bukan lagi istilah yang tabu. Kita mengafiliasikan istilah tersebut dengan youtuber, selebgram, selebtwit dan istilah entertainment lainnya.
Mereka yang menjadi influencer atau orang yang berpengaruh di media sosial telah ikut berperan atas sebuah pesan sehingga pesan tersebut menjadi viral. Konten atau pesan yang disebar oleh influencer—dengan melihat pasar penerima pesannya, dalam hal ini ialah pengikut dari influencer tersebut—berpotensi viral. Sebab interaksi mereka dengan pengguna media sosial publik lainnya tidak lagi dibatasi oleh penghalang tertentu.
Ketiga, faktor konten. Konten atau isi dari sebuah pesan menjadi faktor mengapa sebuah pesan bisa menjadi viral. Pesan berpotensi viral sebab kualitas pesannya dan kekuatan pesan tersebut dalam menarik perhatian publik.
Faktor konten tidak berdiri sendiri, sebab terdapat perpaduan faktor emosi dan faktor intelektualitas publik, sehingga konten tersebut dapat dikatakan berkualitas atau tidak. Konten yang mampu menarik perhatian dan mudah diterima publik, punya potensi untuk lebih viral.
Keempat, faktor eksekusi. Eksekusi yang dimaksud oleh Jose Ramon ialah bagaimana pesan itu terus-menerus bermunculan, baik dalam bentuk gambar maupun tulisan. Ditujukan untuk mengundang orang-orang untuk bertanya dan berdiskusi perihal itu, menjadikan pesan itu viral.
Istilah trending topic mungkin bisa mewakili maksud faktor eksekusi ini. Sebab fokus pada faktor eksekusi ialah bagaimana sebuah pesan punya potensi viral oleh karena pesan tersebut diproduksi terus-menerus.
Terakhir, faktor media. Media atau wadah berkomunikasi saat ini—media sosial, misalnya—telah menjadikan kita sebagai prosumer. Istilah prosumer, menurut Jose Ramon, ialah pengguna media sosial yang berperan sebagai produsen konten dan konsumen konten.
***
Media sosial yang mudah, ramah terhadap penggunanya, dan dimengerti penggunanya, mendorong pengguna untuk menyebarkan berita. Media sosial yang mainstream digunakan publik dan dimanfaatkan oleh pengguna. Menjadi faktor penentu pula mengapa pesan atau konten itu viral.
Oleh karena banyak pengguna lain yang berada pada platform media sosial yang sama, konten itu bisa mudah untuk viral sebab konten itu mudah untuk didapatkan. Sehingga mulai dapat dipahami viralku dan efeknya.
*) Mahasiswa Program Studi S1 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kader IMM Ahmad Badawi UNY sekaligus Staff BEM KM UNY.