Perspektif

Virus Corona: Bagaimana Menyikapinya?

3 Mins read

Belakangan ini dunia digemparkan dengan kemunculan virus bernama Corona. Di awal tahun 2020, masyarakat global dikejutkan dengan wabah virus berbahaya yang telah menelan ribuan korban jiwa.

Jumlah kematian akibat epidemi virus corona terus melonjak. Hingga Minggu (16/2) berdasarkan pantauan data World Health Organization (WHO) dan The Center for Disease Control and Prevention, jumlah korban jiwa mencapai 1,669 orang dan 69,256 total konfirmasi kasus yang terjadi di berbagai belahan negara.

Mayoritas episentrum penyebaran virus terjadi di provinsi Hubei tepatnya di kota Wuhan, Tiongkok. Kemunculannya yang secara tiba-tiba membuat seluruh aktivitas individu maupun komunal menjadi terganggu.

Virus Korona yang diberi nama dengan COVID-19 ini mempunyai tingkat fatalitas yang tinggi. Pasalnya virus tersebut mampu membuat gagal pernapasan dan radang paru-paru. Lebih parah lagi bila korban virus mempunyai riwayat penyakit pernapasan hingga menyebabkan Pneumonia.

Professor John Mcbride sebagai pakar penyakit menular mengatakan bahwa saat seseorang terjangkit virus korona, orang akan merasakan “sedikit sakit” sampai dalam tingkat “sangat sakit”. Tergantung kondisi tubuh seseorang. Selain itu, tingkat mutasi virus ini juga sangat cepat menyebar hingga seorang perawat yang menangani pasien virus korona di Tiongkok juga tertular.

Riwayat Virus Corona

Virus korona diduga pertama kali muncul di pasar Huanan yang terletak di kota Wuhan yang ditengarai menjadi tempat awal merebaknya virus tersebut. Usut punya usut, epidemi virus ini muncul dari satwa liar yang dijual secara ilegal di pasar tersebut.

Dengan korban yang mencapai ribuan, bahaya virus korona telah melampaui virus Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang pernah terjadi sebelumnya. Atas dasar tersebut, virus korona kembali menjadi ancaman transnasional yang melewati batas-batas negara.

Baca Juga  Moderasi Beragama dalam Kajian Intermestik

Berbagai pertemuan bisnis di Singapura dibatalkan. Sekolah dan kampus di Malaysia sebagian telah diliburkan, bahkan beberapa negara telah menutup akses penerbangan ke Tiongkok. Ihwal ini menjadi warning signals bagi semua negara untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap hal ini.

Dampak Virus Corona

Kehadiran Novel Coronavirus (nCOV) tentu tidak lepas dari berbagai respon dan tanggapan dari publik. Eksistensinya telah menimbulkan reaksi yang berseliweran di linimasa masyarakat. Tidak luput pula, ruang siber juga ikut tertular yang menjadi wadah perdebatan warganet. Ada yang menanggapi secara positif dan ada pula yang bernada peyoratif.

Tanggapan berupa kiriman doa dan hujatan azab masih terus menghiasi kolom komentar netizen. Tidak bisa dimungkiri, banyaknya berita hoax bin bohong bin palsu juga menambah ruwet masalah.

Akibatnya, Puluhan ribu disinformasi yang mencuat ikut menghegemoni persepsi masyarakat terhadap virus korona. Menambah urusan Pemerintah menjadi njelimet nan riweuh. Kejadian penolakan karantina di pulau Natuna adalah salah satu akibat dari mispersepsi mengenai peristiwa tersebut.

Tentu saja sebagai warga negara Indonesia, kita tidak ingin satupun dari sanak famili, handai taulan, dan keluarga kita terkena virus tersebut. Sampai hari ini patut kita syukuri belum ada korban virus korona dari WNI.

Kendati demikian, kondisi tersebut bukan serta merta kita menjustifikasi virus korona sebagai azab bagi Negeri Tirai Bambu. Begitu juga sikap kita kepada diaspora mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Tiongkok, tidak perlu ada ketakutan yang berlebihan.

Toh, pemerintah juga sudah melakukan langkah-langkah preventif. Di samping itu, stereotip terhadap warga keturunan Tionghoa yang dianggap pembawa virus juga patut dihilangkan. Karena di beberapa daerah terjadi hal demikian.

Bagaimana Sikap Kita Menyikapi Fenomena Tersebut?

Memunculkan oase di tengah kegersangan pikiran merupakan sebuah keharusan. Dengan itu, menghadirkan telaga hikmah untuk mempunyai sikap yang arif dan bijaksana perlu menjadi atensi.  Di antara sikap kita yang pertama adalah mengedepankan sikap proaktif bukan reaktif.

Baca Juga  Menakar Saintisme dan Keterbukaan Pemerintah dalam Penanganan COVID-19

Dalam menyikapi setiap musibah, selayaknya kita ikut mengulurkan bantuan kepada pihak yang terkena musibah. Bukan menanggapi dengan kenyinyiran atau hujatan. Hal tersebut justru tidak menyelesaikan problematika yang ada. Orientasi pola pikir kita sepatutnya bukan hanya berdiri diatas satu keimanan, tetapi lebih dari itu, kita berdiri diatas kemanusiaan. Apa yang dilakukan Jepang dengan membantu Tiongkok dalam melawan virus korona adalah salah satu contoh yang patut diacungi jempol.

Kedua, saring sebelum sharing. Ini penting mengingat berita yang belum jelas juntrungannya alias hoax kini menjadi lumrah di masyarakat. Narasi sporadis dan reaktif hanya menambah pertikaian di belantara siber yang cenderung menimbulkan mispersepsi.

Tidak sedikit respon negatif dan pemberitaan dengan bahasa yang hiperbolik telah mempengaruhi kondisi level personal-psikologis para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Tiongkok. 

Desas-desus berita tanpa adanya konfirmasi dan verifikasi membuat informasi menjadi sumir. Dengan satu kali klik, berita hoax pun secara masif tersebar melalui media daring. Persis seperti virus, hoax juga tidak ubahnya seperti virus yang merusak kepekaan nurani, keluhuran budi, dan kearifan akal pikiran.

Ketiga, Dibalik setiap musibah selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Momentum bencana ini sepatutnya bukan untuk dirundungi kekhawatiran mendalam. Melainkan perlu menjadi titik tolak perbaikan diri untuk terus mawas dan introspeksi akan kekurangan diri kita.

Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berlumur dosa dan tidak ada apa-apanya dihadapan yang Maha Kuasa. Ujian ini menjadi parameter sejauh mana keimanan kita terhadap Allah SWT. Kuncinya adalah sabar dan terus berdoa yang terbaik untuk bumi kita tercinta. semoga bencana ini lekas selesai. Akhir kata, semoga mencerahkan.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds