Fikih

Historisitas Visibilitas Hilal

4 Mins read

Visibilitas Hilal

Dalam studi astronomi Islam, khususnya kajian tentang kalender Islam istilah visibilitas hilal (imkanur rukyat) merupakan isu yang menarik dan selalu aktual serta memperoleh perhatian para pengkaji baik nasional maupun internasional.

Berbagai kajian menghasilkan kesimpulan yang beragam. Bahkan rekod dunia yang dihimpun oleh Islamic Crescent Observation Project (ICOP) juga dengan beragam variabel yang berbeda, seperti Jim Stamm, berhasil meraih rekor melihat hilal berdasarkan umur bulan. Abbas Ahmadian berhasil meraih rekor melihat hilal berdasarkan Lag Time (mukus), dan John Pierce berhasil meraih rekor melihat hilal berdasarkan elongasi.

Selanjutnya, salah satu hasil riset tentang sejarah visibilitas hilal yang komprehensif dilakukan oleh Salih bin Muhammad Sha’ab.

Dalam karyanya yang berjudul “Ru’yah al-Hilal fi at-Tarikh al-Islamy” sebagaimana dikutip oleh Arwin Juli Rahmadi Butar-Butar, Salih bin Muhammad Sha’ab memetakan perjalanan visibilitas hilal sejak abad 1 H hingga abad 15 H.

Abad pertama sampai abad ketiga belas hijriah hilal teramati rata-rata berkisar pada ketinggian 10 derajat sampai 12,8 derajat. Pada abad keempat belas, hilal teramati rata-rata pada posisi ketinggian hilal 6.0 sampai 9.8 derajat. Sementara itu pada abad kelima belas, hilal teramati pada ketinggian 3,6 derajat.

Penurunan angka visibilitas hilal yang drastis pada abad lima belas hijriah dibandingkan abad-abad sebelumnya, tentu menjadi bahan kajian yang menarik sekaligus menjadi renungan dan koreksi bagi para pemburu hilal yang sering melaporkan keberhasilan melihat hilal di bawah ambang batas teori yang berkembang.

Hal ini sebagaimana terjadi dalam penentuan awal Ramadhan 1442 H. Satu sisi umat Islam merasa bahagia atas laporan keberhasilan melihat hilal sehingga umat Islam dapat mengawali puasa Ramadhan 1442 H secara serentak.

Baca Juga  Ru'yat Ta'abbudi dan Penyatuan Kalender Islam

Hasil Pengamatan Hilal Awal Ramadhan 1442, Dipertanyakan

Namun secara astronomis, keberhasilan melihat hilal awal Ramadhan 1442 pada hari Senin 12 April 2021 menyisakan persoalan. Banyak kalangan akademisi yang meragukan karena hasil pengamatan tidak disertai bukti autentik hanya merujuk “pengakuan” para saksi yang telah disumpah oleh pihak Pengadilan Agama setempat.

Kasus semacam ini sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dan akan terus berulang selama anggitan hilal belum dirumuskan secara komprehensif.

Dalam kasus visibilitas hilal di Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah melakukan riset secara berkelanjutan sejak Oktober 2008 sampai November 2020 terkumpul 260 data hilal teramati dengan ketinggian berkisar antara 6 sampai 12 derajat.

Adapun lokasi pengamatan yang sering berhasil melihat hilal yaitu Kupang, Makasar, Manado, Palu, Ternate, dan Denpasar.

Hasil kajian BMKG ini sangat penting untuk dijadikan masukan dalam membangun anggitan visibilitas hilal. Untuk itu reorientasi anggitan visibilitas hilal sangat diperlukan.

Pada buku “Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah” yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI Tahun 1994/1995, dijelaskan bahwa visibilitas hilal merupakan satu rumpun dengan wujudul hilal yang dikelompokkan sebagai hisab hakiki dengan posisi hilal.

Penggunaan Visibilitas Hilal Belum Maksimal

Visibilitas Hilal adalah bagian dari hisab bukan bagian rukyat. Pemahaman ini perlu dikembangkan agar proses mewujudkan kalender Islam lebih mudah.

Selama ini, visibilitas hilal dengan beragam varian dipahami sebagai “jalan tengah” atau sintesa kreatif antara hisab dan rukyat sehingga anggitan ini dianggap lebih sesuai dengan pesan nas dan sains modern.

Sayangnya, penggunaan visibilitas hilal di Indonesia, khususnya dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal, belum sesuai dengan makna asal. Terkesan dikhtomis dan belum menyentuh aspek fundamental dalam bangunan sistem kalender Islam.

Baca Juga  Antara Mahar dan Uang Panaik Budaya Bugis-Makassar

Pertanyaan yang dapat diajukan apakah makna visibilitas hilal sebagai jalan tengah itu sekedar menghimpun data hasil hisab yang berkembang di Indonesia dan dipaparkan menjelang sidang isbat dan penentunya adalah hasil rukyat di Lapangan?

Atau hanya sekedar untuk menerima dan menolak hasil rukyatul hilal sesuai kriteria yang dipilih? Tentu saja, untuk menjawab persoalan ini,  diperlukan kesamaan visi dan strategi dalam memahami visibilitas hilal.

Di sinilah peran penting para ahli untuk mengembalikan makna asal visibilitas hilal sehingga perdebatan keabsahan hilal hasil observasi bisa dihindari dan tidak terulang kembali.

Penyatuan Kalender Islam Perlu Pendeskripsian Kembali Visibilitas Hilal

Keberanian untuk mendeskripsikan kembali anggitan visibilitas hilal sangat diperlukan sebelum mengkaji lebih jauh upaya penyatuan kalender Islam.

Kecenderungan selama ini upaya penyatuan hanya memfokuskan pada otoritas tunggal, kriteria yang disepakati, dan batas wilayah keberlakuan, sedangkan substansi sistem kalender Islam sebagaimana diisyaratkan Q.S At-Taubah ayat 36 belum terumuskan secara konseptual.

Jika visibilitas hilal ingin dijadikan “jalan tengah” antara hisab dan rukyat dalam mewujudkan kalender Islam yang mapan, maka semua pihak harus melakukan perubahan paradigma yang diyakini.

Jangan hanya satu pihak yang dipaksa melakukan perubahan. Semua pihak harus bergerak menuju titik tengah. Penyamaan kriteria semata tidak menjamin terwujudnya penyatuan kalender Islam apabila paradigma yang dikembangkan adalah penyatuan metode sebagaimana yang berlangsung selama ini.

Banyak kasus yang terjadi kriteria sudah terpenuhi tetapi dalam praktinya hilal tidak teramati akhirnya umur bulan yang sedang berlangsung digenapkan menjadi tiga puluh hari.

Contoh kongkret dalam penentuan awal Jumadil Akhir 1442 H yang lalu. Secara teori posisi hilal sudah memenuhi kriteria visibilitas hilal MABIMS namun dalam praktiknya hilal tidak teramati sehingga menimbulkan perbedaan antara awal bulan yang tertera dalam kalender dan praktik di Lapangan.

Baca Juga  Menikah Bukan untuk Menyelesaikan Masalah

 Sebaliknya, jika data hisab pada setiap tanggal 29 bulan kamariah menunjukkan posisi hilal di bawah ufuk dapat dipastikan antara teori dan praktik akan bersesuaian.

Misalnya penentuan awal Syawal 1442 H yang akan datang, berdasarkan data hisab dari berbagai aliran bahwa pada hari Selasa 29 Ramadhan 1442 H bertepatan dengan tanggal 11 Mei 2021 peristiwa ijtimak belum terjadi dan posisi hilal masih di bawah ufuk.

Berdasarkan data tersebut, dapat dipastikan umur bulan Ramadhan 1442 digenapkan menjadi tiga puluh hari. Awal Syawal 1442 H akan dilaksankan secara serempak pada hari Kamis 13 Mei 2021.

Dampak Ketidaksesuaian Teori dan Praktik dalam Sistem Kalender Islam

Ketidaksesuaian antara teori dan praktik yang terjadi selama ini berakibat sistem kalender Islam mengalami ketidakharmonisan karena pernah terjadi umur bulan kamariah hanya 28 hari. Bahkan, pernah terjadi pula satu tahun umurnya 356 hari.

Inilah salah satu problem mendasar yang perlu memperoleh perhatian para pengkaji kalender Islam. Keinginan menjadikan Rekomendasi Jakarta 2017/1438 sebagai perbaikan kriteria visibilitas hilal Turki 2016/1437 juga masih menyisakan problem karena paradigma di kalangan umat Islam masih meyakini kalender hijriah bersifat lokal.

Untuk itu diperlukan tahawwul al-fikr dari lokalitas menuju global, dari rukyat menuju imkanur rukyat melalui penyegaran kembali dalam memahami hadis-hadis rukyat dan matlak serta dipadukan dengan berbagai ayat al-Qur’an terkait sistem kalender Islam.

Editor: Yahya FR

Avatar
36 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *