Ibn Taymiyyah (w. 728/1328) seringkali dituduh sebagai musuh rasionalitas dan sufisme, juga bapak spiritual dari segala bentuk radikalisme modern. Dalam The 9/11 Commission Report (Kean & Hamilton, 2004), ia bahkan disebut sebagai sumber dari tradisi panjang intoleransi dan ekstrimisme. Namun di sini lain, banyak bukti dari fatwa dan tulisan-tulisannya yang mempromosikan keterbukaan, kasih sayang, toleransi, dan taṣawuf (zuhd).
Saat revolusi Iran digulirkan, Emmanuel Sivan menyebut Ibn Taymiyyah sebagai Father of Islamic Revolution (Sivan, 1983). Dua puluh tahun kemudian, Sivan berubah pikiran dan menasbihkan Ibn Taymiyyah sebagai ‘guru spiritual’ dari Usama bin Laden (Y. Michot, 2007). Natana Delong-Bas menambahkan, setidaknya ada tiga tuduhan serius yang bisa diarahkan kepada Ibn Taymiyyah; pertama, mengkampanyekan makar dan kudeta pada pemimpin yang kafir; kedua, pemisahan hitam-putih antara dār al-kufr dan dār al-Islām; ketiga, labelisasi kafir pada yang berseberangan(Delong-Bas, 2008).
Aksi bom bunuh diri -menurut jihadis- mendapat legalitas dari risalah kecilnya yang berjudul Qā‘idah fi al-Inghimās fi al-‘Aduww wa hal Yubāḥ? (Molloy, 2009). Juga tiga fatwa anti-Mongol, yang kalau kita cermati, konteks dari ulasan Ibn Taymiyyah dalam risalah tersebut sama sekali tidak menyepakati aksi bunuh diri. Fatwa anti-Mongol ditulis oleh Ibn Taymiyyah saat melawan pasukan Tatar, yang mengancam untuk menyerang dan meluluh lantakkan Syria (Maihula, 2021).
Kesan Negatif Terhadap Ibn Taymiyyah
Kesan kontradiktif, tak berpendirian, dan opportunis, akhirnya menjadi simpulan beberapa peneliti terhadap Ibn Taymiyyah (Al-Qawṣī, 2015; Al-Ya‘qūbī, 2020). Al-Qawṣi dalam bukunya Ibn Taymiyyah fi al-Mīzān, menggambarkan Ibn Taymiyyah sebagai sosok yang penuh kontradiksi; mengaku bermażhab Hanbalī. Pada saat yang sama, banyak berseberangan dengan Hanbalī; musuh besar para filsuf.
Di saat yang sama, ia adalah filsuf terbesar salafi; memberi label kafir, di saat yang sama berkata, “Tak boleh mengkafirkan sesama muslim”; membebaskan tawanan kristen dari Tatar, lalu berfatwa menghancurkan gereja; memerangi para sufi, lalu mengatakan bahwa mereka adalah ṣiddīq hādzihi al-ummah. Pendapat ini juga mendapat dukungan penuh dari ‘Alī al-Syu‘aibī dalam bukunya Ḥaqāiq Tārikhiyyah wa Dīniyyah ‘ind Ibn Taymiyyah.
Kenapa Muncul Kesalahpahaman Terhadap Ibn Taymiyyah?
Menurut Yahya Michot, kesalahحahaman terhadap Ibn Taymiyyah; baik dari pemuja dan penistanya, muncul karena mereka membaca Ibn Taymiyyah dari perpektif sempit kelompoknya. Mereka telah membawa pendapat yang kemudian ‘asal comot’ pendapat Ibn Taymiyyah untuk menguatkan simpulannya (Y. M. Michot, 2012).
Jon Hoover memberi contoh yang menarik tentang pembacaan ini. Bin Laden melegalkan aksi terornya dengan dalil yang diambil dari Majmū‘ Fatāwā (vol. 28:501-508) yang menyebutkan, jihad adalah kewajiban bagi semua muslim; baik yang taat maupun yang maksiat, karena jihad lebih besar manfaatnya.
Di saat lain, al-Jamā‘ah al-Islāmiyyah, kelompok jihadis asal Mesir, justru menghentikan aksi terornya atas dasar fatwa Ibn Taymiyyah (Majmū‘ Fatāwā 20:48-61) yang mengatakan, bila ada dua kerusakan, maka ambillah yang paling sedikit muḍaratnya. Jihad dengan kekerasan akan menimbulkan kerusakan yang masif dibanding menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan (Hoover, 2020).
Qadizadeli, gerakan reformasi bermadzhab Hanafi-Mātūridī abad 17 pada masa kekhalifahan Ottoman, meski banyak berseberangan dengan Ibn Taymiyyah dalam bidang akidah, mereka mengikuti secara harfiah fatwa Ibn Taymiyyah tentang larangan ‘menyembah’ kubur sebagaimana dijelaskan panjang lebar dalam Iqtiḍā’ al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm. Gerakan puritan Wahhabi juga mendaku mengikuti Ibn Taymiyyah.
Tokoh modernis-revivalis asal Pakistan, Fazlur Rahman, menulis konsep neo-sufisme yang diusung oleh Ibn Taymiyyah. Menurut Rahman, saat ini kita harus ‘mensucikan’ kembali paham sufisme agar kembali ke pangkuan Al-Qur’ān dan sunah (Rahman, 1979). Yūsuf al-Qarḍāwī menegaskan bahwa konsep politiknya; demokrasi dan masyarakat pluralistik ia ambil dari al-Siyāsah al-Syar‘iyyah–nya Ibn Taymiyyah.
Melihat Sosok Ibn Taymiyyah Secara Objektif
Sosok Ibn Taymiyyah berwajah ganda! Banyak yang menuduhnya demikian pada akhirnya. Hal ini muncul karena para pembaca Ibn Taymiyyah melepas konteks; historis-politik yang melingkupi Ibn Taymiyyah dan karya-karyanya. Sehingga kesimpulan yang diambil terputus dari konteks lahirnya fatwa.
Untuk menghindari hal ini, Michot menawarkan untuk me-rediscovery pemikiran Ibn Taymiyyah, dengan cara menghidangkan tulisan-tulisan Ibn Taymiyya apa adanya, lalu melihat asbāb nuzūl–nya beserta konteksnya. Berusaha adil, meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Ibn Taymiyyah jauh dari keburukan-keburukan yang digambarkan, pun juga tak ma‘ṣum sebagaiman yang disampaikan pemujanya.
Kita berhadapan dengan ‘dua’ Ibn Taymiyyah; yang satu sosok simplistik, jihadis, radikal, fanatik, eksklusif, garang, pemarah, dan brutal; yang lainnya adalah sosok yang kompleks, cerdas, pragmatis, realis, open-minded, toleran, moderat, santun, penuh cinta, dan zāhid. Sosok yang sangat berlawanaan dengan imej yang dibangun oleh sebagian orientalis.
Butuh upaya berkelanjutan untuk mengembalikan sosok Ibn Taymiyyah pada posisi yang sebenarnya, tawaran Michot bisa ddijadikan pertimbangan. Ibn Taymiyyah meyakini bahwa agama (Islam) diturunkan untuk menjelaskan dan menyampaikan (al-bayān wa al-bulūgh), menyampaikan pesan (bulūgh al-risālah), bukan untuk menghakimi apalagi mengkafirkan.
Wallāhu A‘lam.
Editor: Yahya FR