Inspiring

Tahir Jalaluddin, Perintis Konsep Awal Waktu Subuh

5 Mins read

Pada tahun 1427 H/2006 M penulis melakukan penelitian tentang peta kajian hisab di Indonesia dengan memfokuskan hasil-hasil riset di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan kajian tentang persoalan kalender Islam, khususnya penentuan awal bulan kamariah memperoleh perhatian yang sangat tinggi disusul persoalan arah kiblat, sedangkan persoalan awal waktu salat kurang memperoleh perhatian dari para pengkaji.

Kesadaran kajian awal waktu salat di Indonesia, terutama awal Subuh dimulai sejak terbitnya artikel yang berjudul “Salah Kaprah Waktu Subuh” oleh Mamduh Farhan al-Buhairi. Artikel ini dimuat di Majalah Qiblati, edisi 08 Tahun IV, 05-1430/05-2009 dan edisi lengkapnya dalam bentuk buku berjudul “Koreksi Awal Waktu Subuh”. Peristiwa ini menjadi tonggak baru bagi para ahli yang menekuni bidang astronomi Islam (ilmu falak) melakukan kajian ulang terhadap anggitan awal Subuh yang dipedomani selama ini, bahwa ketinggian matahari waktu subuh adalah -20 derajat.

Berbagai riset telah dilakukan dan mayoritas hasilnya mempertanyakan validitas -20 derajat. Lalu siapa sebenarnya yang mengusung gagasan -20 derajat? Menurut penuturan Abdur Rachim salah seorang tokoh falak Indonesia, konsep -20 derajat merujuk pemikiran Syeikh Tahir Jalaluddin dalam bukunya yang berjudul “Nukhbah at-Taqrirat fi Hisab al-Awqat wa Samt al-Qiblah bi al-Lugharitmat”. Oleh karena itu tulisan ini berusaha mengungkap aspek historis asal-usul anggitan -20 derajat yang digunakan dalam penentuan awal Subuh di Indonesia.

Mengenal Sosok Syeikh Tahir Jalaluddin

Nama lengkapnya adalah Muhammad Tahir bin Muhammad Jalaluddin Ahmad bin Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Syeikh Tahir Jalaluddin al-Azhari al-Falaki, dilahirkan pada hari Selasa pukul 04.45 pagi 4 Ramadan 1286 H bertepatan dengan tanggal 8 Desember 1869 M di Cangking, Koto Tuo Balai Guruh Ampek Angkek, Bukittinggi Sumatera Barat dan meninggal pada tanggal 26 Oktober 1956 M/1376 H di Kuala Kangsar, Perak Malaysia. Menurut Deliar Noer dalam bukunya “Gerakan Modern di Indonesia (1900-1942)” gelar al-Azhari diletakkan dibelakang karena kesan yang mendalam ketika belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, sedangkan gelar al-Falaki diberikan kepadanya sebagai apresiasi terhadap kepakarannya di bidang ilmu falak. Hal ini sebagaimana disampaikan HAMKA dalam bukunya yang berjudul “Ayahku”.

Syeikh Tahir Jalaluddin dilahirkan dari keluarga terpandang dan merupakan tokoh-tokoh agama yang dihormati dan disegani. Namun dalam usia masih muda ketika berumur 2 tahun ayahnya meninggal dunia dan pada usia 6 tahun ibunya meninggal dunia sehingga ia menjadi yatim piatu. Sejak itu ia diasuh oleh adik ibunya yang bernama Limbak Urai yang bersuamikan Abdul Latif Khatib yang merupakan orang tua dari Syeikh Ahmad Khatib. Silsilah jalur ibu ini menunjukkan Syeikh Tahir merupakan saudara sepupu dengan Syeikh Ahmad Khatib.

Baca Juga  Politik Kebangsaan Muhammadiyah: Pelopor Nasionalisme Indonesia

Pendidikan awal Syeikh Tahir Jalaluddin  lebih banyak dibentuk dan dipengaruhi dari keluarga angkatnya yang sangat menyayangi dan selalu mendo’akan agar bisa pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji dan kelak menjadi ulama besar yang disegani seperti anaknya. Ketika Syeikh Tahir Jalauddin duduk di Kelas Tiga Sekolah Rakyat, Limbak menerima surat dari anaknya Syeikh Ahmad Khatib yang tinggal di Mekah meminta Syeikh Tahir dikirim ke Mekah untuk belajar agama. Berita ini disambut dengan perasaan gembira oleh Limbak dan merasa Allah telah mengabulkan do’anya.

***

Selanjutnya kabar tersebut disampaikan kepada Syeikh Tahir, awalnya ia merasa sedih akan berhenti sekolah dan meninggalkan tema-temannya. Namun setelah diberi penjelasan akhirnya ia menerima tawaran tersebut dan berangkat menuju Mekah bersama datuk sepupu Haji Abdul Rahman. Setibanya di Mekah ia tinggal bersama Syeikh Ahmad Khatib dan dimasukkan di Madrasah Syeikh Rahmatullah Khandariyah bertempat di ‘Arat al-Bab. Selama di Mekah ia memperoleh beragam ilmu sehingga memiliki wawasan yang luas. Salah satunya ilmu falak yang dibimbing langsung oleh Syeikh Muhammad al-Khayyat dan Syeikh Ahmad Khatib.

Setelah menimba ilmu di Mekah kurang lebih selama 13 tahun Syeikh Tahir berkeinginan melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan sebelum berangkat ke Mesir ingin pulang sementara ke Tanah Air. Dalam konteks ini peran Syeikh Ahmad Khatib sangat besar. Beliau meminta jama’ah haji yang berasal dari Tanah Jawi untuk membantu Syeikh Tahir ketika berada di Tanah Jawi dan memohon agar memanfaatkan kepandaian yang dimiliki Syeikh Tahir. Akhirnya ketika Syeikh Tahir pulang dan sampai di Pulau Pinang ia disambut meriah terutama sahabat dan murid-murid Syeikh Ahmad Khatib. Perjalanan dilanjutkan menuju Medan, Riau, dan Singapura. Semua tempat menyambutnya sangat meriah.

***

Menjelang bulan Syawal 1310 H/1893 M dari Pelabuhan Singapura Syeikh Tahir Jalaluddin berangkat menuju Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar. Di sini ia mendalami berbagai ilmu, seperti syari’ah, matematika, dan astronomi Islam (ilmu falak) selama 4 tahun dan berhasil memperoleh “Syahadah al-‘Alamiyah”. Dalam bidang astronomi Islam ia dibimbing oleh Syeikh Muhammad Abi al-Fadl dan juga memperoleh ijazah langsung dari Husein Zaid pengarang kitab “al-Matla’u as-Said”, salah seorang pakar falak di Mesir tertanggal 17 Zulkaidah 1313 H (dokumen resmi hanya menyebut tahun hijriah).

Baca Juga  Doa Setelah Subuh dan Artinya

Kontribusi Syeikh Tahir Jalaluddin di bidang astronomi Islam tidak diragukan lagi. Berbagai karya monumental telah dihasilkan seperti Natijah Al-Jalaliyah, Natijah al-Umr, Nukhbah at-Taqrirat fi Hisab al-Awqat wa Samt al-Qiblah bi al-Lugharitmat, Jadawil Lugharitmat, Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu Yang Lima dan Hala Kiblat dengan Logaritma, Jawaban Sheikh Tahir terhadap Tulisan Tok Janggut Mengenai Kiblat, dan Keterangan Sheikh tentang Ilmu Falak. Selain itu ia juga aktif melakukan pengukuran arah kiblat. Salah satunya adalah Masjid Jami’ ‘Alam Shah Pudu, Kuala Lumpur yang diukur pada tanggal 13 Juli 1950 (sesuai arsip yang tersimpan). Pemikirannya sangat terbuka dan mewarnai pemikiran astronomi Islam di Alam Melayu. Bahkan Mohammad Ilyas menyebutnya sebagai “bapak integrasi bidang syari’ah dan sains”.

Syeikh Tahir Jalaluddin: Perintis Anggitan -20 derajat

Salah satu karya Syeikh Tahir Jalaluddin yang membahas anggitan awal waktu Subuh adalah Nukhbah at-Taqrirat fi Hisab al-Awqat wa Samt al-Qiblah bi al-Lugharitmat, terbit pertama kali pada tahun 1356 H/1937 M oleh Sin Sheng Press Singapore dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan judul Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu Yang Lima dan Hala Kiblat dengan Logaritma. Dalam kata pengantar Syeikh Tahir Jalaluddin menjelaskan latar belakang penulisan buku. Ia melihat kesulitan yang dirasakan para pelajar dan mahasiswa dalam memahami konsep penentuan awal waktu salat dan arah kiblat sehingga perlu ditulis sebuah buku untuk memudahkannya.

Ia mengakui bahwa ilmu yang ditulis dalam buku tersebut merupakan ilmu yang diperoleh selama studi di Mesir dibawah bimbingan Syeikh Muhammad Abi al-Fadl. Buku tersebut setebal 23 halaman dan memuat 23 pembahasan seputar awal waktu salat dan arah kiblat. Dalam uraiannya Syeikh Tahir Jalaluddin mengatakan bahwa ketinggian matahari waktu Subuh adalah -20 derajat. Pada saat itu ketinggian matahari waktu Subuh yang berkembang adalah -18 derajat dan -19 derajat. Ada pula -20 derajat yang dirujuk kepada al-Marrakusyi. Hasil kajian Arwin Juli Rahmadi Butar-Butar secara filologis menyimpulkan bahwa -20 derajat yang dinisbahkan kepada al-Marrakusyi tidak autentik.

Pemilihan angka -20 derajat merupakan pemikiran “orisinal” Syekh Tahir Jalaluddin. Namun dalam buku tersebut tidak ada argumentasi syar’i dan mengkaitkannya dengan hadis ghalas dan isfar. Pemikiran Syekh Tahir Jalaluddin tentang anggitan fajar ini diwariskan dan dilanjutkan kepada salah seorang murid kesayangannya yaitu Syeikh Jamil Jambek, kemudian dilanjutkan Saaode’ddin Jambek.

Baca Juga  Yusuf Al-Qaradawi: Ijtihad Harus Memberikan Solusi untuk Masalah Umat
***

Konsep ini kemudian dijadikan pedoman Badan Hisab Rukyat dan dirujuk semua ormas Islam yang ada di Indonesia. Patut diketahui pemikiran Syekh Tahir Jalaluddin tentang awal fajar ini juga dipraktikkan di Malaysia, Singapore, dan Brunei Darussalam. Namun sejak tahun 1440 H/2019 M Malaysia meninggalkan konsep Syeikh Tahir Jalaluddin dan merubah menjadi -18 derajat berdasarkan hasil riset yang serius dan komprehensif kerjasama antara Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dengan para peneliti dari berbagai Universitas di Malaysia.

Keputusan tersebut dilaksanakan secara bertahap. Mula-mula yang mengimplemetasikan adalah negeri Selangor tertanggal 2 Rabiul akhir 1441/29 November 2019, kemudian diikuti Wilayah Persekutuan sejak tanggal 3 Rabiul akhir 1441/30 November 2019, dan terakhir negeri Kelantan tertanggal 24 April 2020. Dengan kata lain Malaysia merupakan negara pertama anggota MABIMS yang melakukan perubahan awal Subuh dengan menambah 8 (delapan) menit dibandingkan jadwal sebelumnya.

Di Indonesia, keinginan untuk mengkaji ulang anggitan fajar sudah lama diwacanakan. Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 pada tahun 1431 H/2010 M di Universitas Muhammadiyah Malang wacana keinginan perubahan sangat terasa ketika sidang komisi. Namun saat itu belum ada data hasil observasi dan argumentasi syar’i yang memadai maka sidang memutuskan untuk melakukan riset terlebih dahulu dan mengkaji dalil syar’i secara komprehensif.

Sesuai amanat Munas Tarjih tersebut, tim pemburu fajar di Lingkungan Muhammadiyah melakukan observasi di berbagai tempat secara berkelanjutan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hasil observasi tersebut diperoleh data yang lengkap.

Selain itu tim juga mengkaji aspek syar’i dan diperoleh dalil syar’i yang memadai. Agar tidak terjadi subjektivitas yang tinggi Munas Tarjih juga mengundang para astronom pihak luar untuk memberikan masukan agar keputusan yang dihasilkan sesuai tuntutan syar’i dan sains serta memberi maslahat bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia. Setelah mempertimbangkan aspek hadlaratun nash, hadlaratul ilm, dan hadlaratul falsafah sesuai Manhaj Tarjih maka Munas Tarjih ke-31 tahun 1442 H/2020 M  memutuskan bahwa kriteria awal Subuh berdasarkan acuan -20 derajat perlu dikoreksi menjadi -18 derajat. Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.

Avatar
36 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *