Indonesia sebagai negara kepulauan tentu memiliki beraneka suku, agama, ras, dan adat istiadat di setiap daerahnya. Perbedaan ini bagaikan pisau bermata dua. Artinya, semakin banyak perbedaan bisa saja menimbulkan perpecahan. Namun jika perbedaan itu dapat hidup dengan selaras, harmonis, maka corak perbedaan akan menjadi sesuatu yang indah. Layaknya Desa Karangsari, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan. Salah satu desa yang ada di Jawa Tengah ini adalah bentuk perwujudan dari indahnya perbedaan.
Desa Karangsari terdiri dari enam pedukuhan. Dukuh tersebut diantaranya yaitu dukuh Kebonsari, dukuh Krajan, dukuh Legok, dukuh Mlaten I, dukuh Mlaten II, dan dukuh Mlaten III. Dari seluruh dukuh tersebut, ada tiga agama yang hidup rukun berdampingan, yaitu agama Kristen protestan, Katholik, dan agama Islam. Tidak hanya itu, ada juga beberapa warganya yang masih menganut keyakinan “kejawen”. Beraneka agama dan keyakinan di desa ini, tidak menjadi hambatan dalam mewujudkan perdamaian di lingkungan masyarakatnya.
Semangat Kebersamaan dan Toleransi di Desa Karangsari
Sejalan dengan apa yang digaungkan pemerintah, khususnya Kementerian Agama, yakni gagasan tentang moderasi beragama yang memiliki arti, sebuah cara pandang serta praktik keagamaan yang tidak radikal, bertoleransi, dan mengedepankan aspek kemanusiaan. Alasan pemerintah menekankan adanya moderasi dalam beragama yaitu agar meminimalisir terjadinya konflik baik antar suku ataupun antar agama.
Dalam merealisasikan pandangan moderasi beragama, pemerintah menetapkan empat poin yang menjadi indikator bahwa masyarakat telah menerapkan moderasi beragama dalam kehidupannya. Di antaranya; toleransi, anti kekerasan, komitmen kebangsaan, dan akomodatif terhadap budaya lokal.
Gagasan tentang moderasi beragama ini sebenarnya sudah tersirat dalam kehidupan masyarakat yang telah berhasil menjaga kerukunan dan perdamaian di lingkungannya. Seperti di Desa Karangsari, meskipun beberapa warga jarang yang mengerti apa itu moderasi beragama, namun mereka dapat menerapkan unsur moderasi beragama di kehidupan sehari-harinya.
Berbagai kegiatan yang diadakan oleh warga Desa Karangsari menjadi bukti nyata bahwa warga desa tersebut benar-benar menjalankan semangat kebersamaan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, saat perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-78, semua warga desa ikut serta merayakan hari bersejarah tersebut dengan penuh semangat dan antusias. Berbagai macam cara digelar, seperti lomba, doa bersama, dan malam tirakatan, di mana seluruh komponen masyarakat yang heterogen, termasuk warga yang menganut agama Kristen, Katholik, Islam, dan keyakinan “kejawen”, bersatu dan tidak terkotak-kotak oleh perbedaan.
Selain itu, warga Desa Karangsari juga mempunyai kegiatan sedekah bumi yang dilakukan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang diperoleh. Kegiatan ini disebut Legeno, dan diadakan setahun sekali. Kegiatan Legeno dimulai dari sore hari dengan menyajikan berbagai makanan tradisional. Kemudian, malam harinya warga desa berkumpul untuk menonton pertunjukan wayang dalam rangka mengenang leluhur dan mempererat hubungan sosial yang ada di desa.
Semua kegiatan yang diadakan ini menunjukkan bahwa warga Desa Karangsari dapat hidup berdampingan dengan selaras dan harmonis. Mereka saling menghargai dan menghormati perbedaan satu sama lain. Kegiatan-kegiatan ini juga menjadi sarana bagi warga desa untuk berinteraksi, berpaguyuban, dan bahu-membahu dalam membangun desa mereka menjadi lebih baik.
Keberagaman Jadi Kekuatan
Dalam konteks sosial budaya, kegiatan Legeno dan wayang kulit yang melekat pada masyarakat ini menjadi salah satu modal sosial yang dimiliki oleh warga desa Karangsari untuk menjaga kebersamaan dan keharmonisan.Komunikasi yang dijalin antar warga juga sangat menunjukkan adanya jiwa toleransi yang tinggi. Sebab, dalam kehidupan sehari-hari, antar warga yang berbeda agama tetap saling berbaur, tanpa menyinggung ataupun mengolok-olok agama lain.
Disinilah peran komunikasi sangat diperlukan. Komunikasi yang baik, dan kesadaran atas perbedaan yang ada di masyarakat menjadi sebuah point penting dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Seperti yang diucapkan oleh ketua RT 1 RW 4, di dukuh Mlaten II. Beliau menuturkan bahwa tidak pernah ada permasalahan yang intens atau sampai mengganggu kerukunan antar umat beragama. Masalah yang muncul biasanya hanya seperti kasus pencurian, itu pun dapat diselesaikan dengan baik.
Selain itu, dalam penyelesaian masalah, seringkali diadakan musyawarah terlebih dahulu. Apabila masalah itu cukup rumit, maka, dari RT akan dibawa ke kantor kelurahan/desa. Hal ini menjadi bentuk terwujudnya komunikasi yang baik, antara warga biasa, hingga ke pemangku jabatan di desa tersebut. Sikap warga desa yang ramah, serta saling menghormati, baik dari warga biasa hingga kepala desa dalam kehidupan bermasyarakat merupakan salah satu faktor yang menjadikan Karangsari sebagai desa yang harmonis. Dalam hal ini, komunikasi yang baik antar warga bisa membentuk sebuah hubungan yang harmonis antar sesama.
Dari sini dapat dilihat bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan dalam membangun sebuah masyarakat yang harmonis dan damai. Desa Karangsari adalah salah satu contoh miniatur dari Indonesia yang tidak hanya mampu hidup dengan harmonis, tetapi juga berhasil merangkul keberagaman sebagai kekuatan bersama.
Tingkat toleransi dan komunikasi yang baik antar warga adalah kunci dalam mempertahankan kerukunan dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dan pengembangan dari pemerintah, masyarakat, serta dunia pendidikan untuk menumbuhkan dan memperkuat semangat keberagaman dan harmoni seperti yang terdapat di Desa Karangsari.
Editor: Soleh