Bandara F.L. Tobing Silangit, Tapanuli Utara menjelang magrib, 22 Nopember 2019. Hujan sangat deras dan kabut naik mengepung seakan menyambut langkah kami turun dari tangga pesawat di bandara baru yang berdekatan dengan Danau Toba ini. Setelah menikmati kopi panas dan dan shalat magrib kami segera melanjutkan perjalanan menyusuri jalan lintas tengah Sumatera sejauh 100 km.
Tepat pada tengah malam yang dingin kami memasuki kota kecil Sipirok. Pagi harinya kami menuju Pondok Pesantren (ponpes) KHA Dahlan. Berkeliling, melihat beberapa lokasi di dalamnya. Berbeda dengan udara Sipirok yang sangat menyenangkan, perasaanku tiba-tiba menjadi sedih. Bayanganku tentang kebesaran Ponpes ini sebelumnya mengalami antiklimaks. Aku merasa harus berbuat sesuatu, betapun kecilnya untuk pesantren milik Muhammadiyah ini.
Ini semua bermula dari kunjungan tak disengaja JTO, sahabatku sebagai sesama pengurus Lazismu Pusat. Beberapa bulan sebelumnya sang sahabat mantan wartawan senior Jawa Pos Grup dan kini menjadi ahli Webinar ini dalam perjalanan pulang dari sebuah Pondok Pesantren di Tapsel. Ketika masuk waktu shalat Jumat dia berada di Sipirok. Saat melihat papan nama pesantren Muhammadiyah di tepi jalan dia singgah untuk shalat Jumat disana.
Sebagaaimana aku, JTO juga merasakan sesuatu yang menyedihkan. Lebih jauh masuk ke ponpes kerpihatinan JTO makin dalam. Beberapa bangunan vital ponpes ini tidak layak. Bahkan untuk shalat Jumat pun harus berwudhu di tempat yang agak jauh dari masjid. Maka dia bertekad mengusulkan agar ponpes ini menjadi sasaran program Lazismu Pusat. Keabetulan JTO adalah direktur program pada saat itu. Maka sesampai di Jakarta dalam rapat Badan Pengurus dia menceritakan pengalamannya itu dan mengusulkan penlaksanaan salah satu program bidang pendidikan disana.
Aku segera menyambar usulan JTO itu. Ada beberapa alasan. Pertama, ada dana zakat dari Wardah Cosmetic yang sudah beberapa bulan mengendap di rekening Lazismu Pusat karena belum ada program yang cocok untuk itu. Wardah adalah salah satu muzaki besar Lazismu. Ibu Nurhayati Subakat sebagai owner Wardah secara pribadi juga rutin menyalurkan dana zakatnya melalui Lazismu.
Kedua, walaupun aku belum pernah berkunjung kesana, Sipirok mengingatkan aku pada beberapa teman kuliah di Pondok Shabran UMS dulu. Bang Irfan Azwir Siregar yang menjemput aku di Bandara Silangit adalah kakak dua angkatan di atasku. Beliau kini menjadi ustadz senior di ponpes ini. Satu tingkat di bawahku ada Muhsana Pasaribu yang kini menjadi rektor Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan (UMTS). Lalu ada Rifki Abrar Siregar dosen IAIN Padang yang aktif di PWM Sumbar. Adik kelasku lainnya adalah Ibnu Hibban Pasaribu yang pernah menjadi ketua PDM Padang Lawas. Mereka adalah alumni Popes KHA Dahlan Sipirok ini.
Pada waktu yang lebih jauh ke belakang, Pesantren ini mengingatkan aku pada seorang tokoh ummat Islam Jakarta era 1980-an yaitu Kolonel Amiruddin Siregar. Pertama kali mendengar nama beliau ketika aku mengikuti acara Ramadan in Campus di Gelanggang Mahasiswa UGM pada 1980. Saat itu aku masih SMP.
Untuk mendengarkan ceramah beliau aku berjalan kaki hampir dua kilometer dari tempat kosku di Pengok menuju Bulaksumur. Saat itu beliau adalah ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta. Pada masa pensiunnya beliau meninggalkan ibukota berkhidmat membesarkan Persyarikatan Muhammadiyah di kampung halamannya, Sipirok. Beliau menekuni Ponpes KHA Dahlan. Belakangan aku bertemu lagi dengan si Ompung ini di Pondok Shabran. Beliau datang berkunjung menjenguk beberapa santri Shabran utusan PWM Sumut yang sebagiannya adalah alumni Ponpes KHA Dahlan Sipirok.
Setelah tamat dari Pondok Shabran tidak banyak berita tentang Sipirok aku dengar. Pada 1991 aku kembali ke Jogja menjalani masa pengabdian di PDM Kota Jogja yang mengutus aku kuliah ke Pondok Shabran. Aku lalu terlibat menjadi anggota pengurus Majelis/Lembaga di PP Muhammadiyah. Dalam beberapa acara nasional aku sering bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dari Sumut. Tetapi tidak banyak kabar tentang Ponpes KHA Dahlan Sipirok yang aku dengar.
Meski demikian komunikasiku dengan para alumninya yang juga alumni Shabran tetap berjalan. Kebetulan aku ditunjuk teman-teman menjadi ketua Alumni Shabran. Ketika ada reuni di Shabran aku juga bertemu dengan para alumni Sipirok ini. Tetapi perkembangan Ponpes KHA Dahlan Sipirok itu sendiri, aku tidak banyak tahu.
Pada 2013 dua ustadz senior Ponpes KHA Dahlan Sipirok ke Jogja. Mereka adalah bang Irfan Siregar dan bang Adenir Harahap. Mereka dalam tugas mengantar alumni Ponpes KHAD Sipirok yang akan kuliah di Jogja. Aku dan istriku melayani dua senior sesama alumni Shabran ini sebaik yang bisa kami lakukan.
Setelah tiga hari menginap di rumah kami dan urusan mereka belum lagi selesai tiba-tiba Bang Irfan berkata. “Dik Mahli, kami ini kan guru agama. Kami ini ustadz lah. Jadi kami tahu bahwa dalam ajaran agama kita bertamu itu maksimal tiga hari. Nah kami sudah tiga hari disini. Maka kami mohon pamit lah ….”
Aku menyambar, “Abang berdua kan belum selesai mengurus adik-adik. Lalu abang mau kemana?” Kali ini Bang Adenir yang menjawab, “iya kami mau cari penginapan atau apalah…” Diiringi senyum simpul istriku aku menjawab dua abangku ini. “Kami ini juga sama dengan abang. Kita sama-sama alumni Shabaran. Sama-sama belajar agama lah. Kalau tamu memang maskimal tiga hari. Tetapi abang berdua ini bukan tamu kami. Abang berdua ini saudara kami. Jadi abang berdua bisa menginap disini sampai keperluan abang di Jogja ini selesai. Titik.” Jawabku tegas meniru gaya orang Batak.
Maka kami menikmati Jogja istimewa bersama-sama. Alhamdulillaah duo abang ini tinggal di rumah kami dengan nyaman. Terutama karena aku tahu adat orang Tapanuli dengan menyediakan sebuah gitar. Maka kamipun babnyak bernyanyi bergembira bersama. Lagu wajib yang sering kami dendangkan di antaranya Di Ronda Di Bulani yang dipopulerkan Rita Butar Butar.
Bersama si Terios kami juga mengelilingkan duo abang ini ke beberapa rumah alumni Shabran yang ada di Jogja. Untuk itu kami bahkan sampai ke Pantai Sadeng, pantai terujung dari Gunung Kudul. Belakangan pada 2016 Bang Irfan datang lagi ke Jogja. Kali ini dalam rangka wisuda anak keduanya yang kuliah di PUTM.
Bang Irfan datang bersama anak ketiganya si Sani. Seperti pertemuan sebelumnya, kami menghabiskan malam di halaman belakang rumah dengan mendendangkan lagu-lagu Tapanuli. Tentu dengan iringan bergantian petikan gitar Bang Irfan dan anak ketiganya itu.
Maka aku merasa dekat dan bangga dengan Ponpes KHA Dahlan Sipirok ini. Kedekatanku juga diperkuat kenyataan beberapa mahasiswaku di FAI UMY adalah alumni ponpes ini. Sedangkan ponpes ini merupakan salah satu ponpes kebanggaan Muhammadiyah. Ia sering disejajarkan dengan tiga pesantren unggulan Muhammaadiyah lainnya yaitu Madrasah Muallimin Muhammadiyah Jogja, Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut, dan Ponpes Muhammadiyah Gombara di Makassar.
Pada sisi lain ponpes ini di mataku semakin gagah karena berada di garda depan dakwah Muhamadiyah di ujung utara Tapanuli Selatan, kawasan dakwah yang penuh tantangan. Sampai kemudian aku memasuki langsung kompleks pondok pesantren ini dan mengalami antiklimaks seperti aku tuliskan di atas.
Setelah rapat pengurus Lazismu memutuskan menjalankan program dengan donasi dari Wardah kami bergerak cepat. Aku mengundang rapat tripatriat: Lazismu Kota Medan, UMSU, dan PWM Sumut. Lazismu Medan merupakan kantor Lazismu terdekat yang menjadi kepanjangan tangan kami dari Lazismu Pusat.
Kami meminta Dindo Arifin Lubis dan kawan-kawan sebagai pengurus Lazismu Medan mengatur penyaluran dana, serta membuat laporan keuangan, dan mengirimkan laporan perkembangan pembangunan secara berkala. Tim Sipil UMSU dikoordinir oleh Bang Ir. Yaumil Fauzi, M.T. atas perintah rekot UMSU minta membantu teknis pembangunan.
UMSU sebagaimana UMY dan beberapa PTM lainnya sudah terbiasa dengan beberapa proyek pembangunan dengan model swakelola. Beberapa teman tim UMSU membuat perencanaan dan mengawasi pelaksana pembangunan langsung di Sipirok. PWM Sumut menjadi penghubung Lazismu dengan PDM Tapsel dan Pimpinan Ponpes KHA Dahlan.
Dalam hal ini Dindo Dr. M. Qorib, salah satu PWM Sumut yang juga Dekan FAI UMSU dengan lincah mengkomunikasikan program ini dengan pihak-pihak terkait. Dengan pola penerima manfaat menerima bangunan jadi alias terima kunci maka kick off program ini terselenggara pada 5 Oktober 2020.
Tentu saja program ini bisa berjalan karena dana dari PT Paragon Technology & Innovation. Perusahaan yang memproduksi kosmetik Wardah ini memiliki 11 ribu karyawan dan sudah beberapa tahun menyalurkan sebagian zakatnya melalui Lazismu.
Pada 2018 Wardah menyalurkan zakatnya Rp. 2M dan pada 2020 meningkat menjadi 4 M melalui Lazismu. Sebagian dari dana itu senilai 300 juta rupiah kami digunakan untuk membangun MCK/sanitasi Ponpes KHA Dahlan Sipirok. Sanitasi ini dirancang mampu menampung kebutuhan 250 santri.
Ibu Nurhayati Subakat sebagai owner Wardah sangat senang ketika kita ajak bergabung dalam Zoom saat kick off program ini. Meski hanya melihat tayangan video Bu Nurhayati sebagaimana aku dan JTO juga sangat tersentuh melihat kondisi sanitasi ponpes ini. Sehingga beliau sangat gembira dengan penempatanan dana zakatnya untuk program ini.
Sebagai alumni ponpes Diniyah Puteri Padang Panjang Bu Nurhayati bisa merasakan betapa pentingnya sanitasi yang memadai bagi terselenggaranya proses belajar dan mengajar yang kondusif. Sehingga waktu santri tidak habis berlama-lama hanya untuk antri di kamar mandi.
Aplikasi Zoom, ba’da shalat Jumat 15 Januari 2021. Acara serah terima MCK/Sanitasi untuk Ponpes KHA Dahlan Sipirok sedang berlangsung. Pembangunan sebenarnya sudah selesai sebulan sebelumnya. Video berisi foto-foto before-after dari sanitasi ponpes ini ditayangkan diiringi lagu Lazismu Berbagi. Ketika tayangan video memunculkan foto-before kesedihan yang aku rasakan saat melihatnya langsung beberapa bulan sebelumnya kembali muncul. Perasaan ini segera mendorong naik beberapa bulir air hangat ke pelupuk mataku.
Tetapi seiring pergantian ke foto-after alias bangunan baru yang akan diserahterimakan, bulir-bulir hangat itu tidak bisa lagi aku tahan untuk tumpah. Ada bahagia yang menyatu dengan bangga dan harapan. Bahagia bisa menjadi bagian dari Lazismu yang berhasil menjadi jembatan antara muzakki dengsan mustahiq. Inilah peran substantif dari lembaga amil semacam Lazismu. Bangga karena bisa mengambil peran dari kebangkitan kembali Ponpes KHA Dahlan Sipirok yang legendaris ini.
Tentu saja ada harapan yang besar. Bahwa perbaikan sanitasi di bagian belakang ponpes ini segera merambat ke bangunan lainnya dari ponpes ini. Terutama dapur dan asrama santri. Pada masanya nanti, dengan manajemen yang makin baik serta kolaborasi yang dijalin bersama stakeholders ponpes kembali bangkit meraih kejayaannya. Horas.
Editor: Yusuf