Perspektif

Wasiat Kebangkitan Nasional di Tengah Pandemi

4 Mins read

Saya membaca sebuah artikel di Historia.id tentang Asal-usul Peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan saya merasa tergelitik dengan isi artikel tersebut. Di sana diberitakan tentang pidato Presiden Soekarno soal Kebangkitan Nasional pada peringatan 40 tahun hari Kebangkitan Nasional yang pertama kali digelar di Yogyakarta tahun 1948.

Presiden Sukarno menyatakan bahwa meskipun kita sudah merdeka, namun bahaya tetap mengancam Republik dari segala penjuru. Kemudian beliau mengusulkan untuk menyusun machtspolitik, yakni kekuatan massa untuk mendukung perjuangan politik dan menggalang persatuan nasional.

Dikatakan pula oleh sejarawan Hilmar Farid bahwa kelompok-kelompok politik dominan pada masa itu yang semuanya pegang senjata punya tafsirnya sendiri-sendiri ke mana arah Republik harus dibawa. Sehingga muncul persoalan yang sangat serius. Persoalan yang sangat serius di sini saya asumsikan sebagai perpecahan bangsa.

Sepertinya kok hampir sama dengan situasi sekarang. Di masa pandemi ini, saya cermati, kita masih gagap menghadapi pandemi karena semua pihak yang berwenang masih berjalan sendiri-sendiri. Kekuatan massa untuk mendukung perjuangan melawan Covid-19 pun nampaknya masih lemah. 

Kita tahu bahwa sudah tiga bulan berlalu sejak pandemi Covid-19. Situasi ini  menghentikan hampir semua lini ekonomi dan kehidupan masyarakat. Namun belum juga ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Pandemi ini juga jelas menghantam roda perekonomian bangsa. Bisa jadi kekacauan ekonomi akibat pandemi ini akan mengarah pada kekacauan massa yang mengakibatkan gelombang perpecahan bangsa secara massif.

Pemutusan hubungan kerja yang terjadi secara besar-besaran di pabrik-pabrik atau tergulungnya UMKM karena imbas pandemi mengakibatkan berkurangnya jumlah lapangan kerja dan tingginya angka pengangguran hingga berdampak sangat berat pada perekonomian keluarga para pekerja. Akibatnya menambah jumlah kelompok rentan di masyarakat dan konon juga angka kriminalitas. Masyarakat menjadi merasa tidak aman.

***

Kesan tidak kompak antara pemerintah pusat dan daerah terlihat dari simpang siurnya data positif Corona di awal-awal pandemi. Kita lihat contoh bagaimana ketidaksolidan pemerintah daerah dan pusat dalam merespon kasus pasien pertama terjangkit Covid-19. Pemerintah pusat dalam jumpa pers menyatakan bahwa pasien tersebut meninggal karena serangan jantung. Namun beberapa hari kemudian, pemda Jawa barat mengatakan bahwa pasien tersebut meninggal karena positif Covid-19. 

Baca Juga  Dekonstruksi Islam Arkoun: Kritik Keras Atas Ortodoksi Islam

Hal ini mengakibatkan masyarakat tergiring opini bahwa pemerintah menutup-nutupi informasi sehingga menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah pusat.

Kemudian perdebatan tentang pembatasan sosial antara lockdown dan PSBB, termasuk pembatasan transportasi umum yang malah membuat penumpukan penumpang di beberapa stasiun atau terminal. Contohnya, ada yang mau membatasi jumlah penumpang di salah satu moda transportasi umum di Jakarta dengan mengurangi  jumlah kendaraan yang beroperasi, akibatnya terjadi penumpukan penumpang. Sementara moda transportasi umum yang dikelola BUMN pusat tidak melakukan hal yang sama. Sehingga kepala daerah bersangkutan habis kena bully Netizen.

Pemblokiran  jalan di beberapa wilayah juga justru membawa dampak kemacetan dan pengguna jalan malah jadi berkerumun dan berdesak-desakan. Begitu juga masyarakat yang masih ngeyel untuk tetap beribadah berjamaah seolah menantang kebijakan pemerintah.

Belum lagi diksi antara mudik dan pulang kampung yang tidak jelas. Perintahnya dianggap tidak operasional karena memberikan perintah yang ambigu. Hal ini mengakibatkan terjadi kesulitan eksekusi peraturan di lapangan.

Banyak meme di medsos yang mengejek kebijakan tersebut. Masyarakat menjadi tidak tahu aturan yang mana yang harus diikuti dan mana yang harus dipercaya. Akhirnya mereka jadi mengambil jalan sendiri-sendiri karena semua aturan yang sudah ada terlihat longgar, contohnya kasus di bandara yang baru-baru ini dibuka kembali, penumpukan penumpang dan protokol social distancing tidak jalan sama sekali. Bahkan ada yang nekad menjual surat keterangan sehat palsu. Data menunjukan bahwa pergerakan masyarakat sejak pemberlakuan PSBB masih sangat tinggi yang berakibat pada naiknya jumlah kasus positif Corona di daerah-daerah.

***

Demikian pula tuduhan dana dan operasional pembagian bansos yang mengalami kekacauan dalam pendataan dan distribusi hingga alokasi anggarannya. Kesimpangsiuran data ini terlihat karena pemerintah daerah dituduh tidak memperbaharui data rakyat miskin di daerahnya, misalnya data bansos masih dipakai data rakyat miskin tahun 2017. Seharusnya mereka memperbaharui data itu setiap tahunnya, jadi saat kasus pandemi ini merebak, tak ada lagi data yang simpang siur karena pemda sudah siap dengan data terbaru. 

Baca Juga  Enam Fakta Manusia di Balik Peringatan Tuhan yang Bernama Corona!

Tuduhan cari panggung untuk kontestasi politik di masa mendatang tampak kental mewarnai proses pemerintah pusat dan daerah dalam merespon pandemi Covid-19 ini. Adanya kesempatan kepala daerah yang mencari muka dengan melakukan jumpa pers tetapi  tidak berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Hal ini dianggap telah mengakibatkan terjadinya panic buying, hingga kelangkaan barang di pasaran, sebut saja masker, hand-sanitizer hingga kebutuhan pokok.

Pernyataan Menko Polhukan Mahmud MD mengungkapkan bahwa pemerintah daerah mendapat keleluasaan dalam menangani pencegahan penyebaran Covid-19. Jadi kebijakan pusat selama ini selaras dengan daerah dalam penanganan Civid-19, atau jangan-jangan sebenarnya memang tidak kompak. Meski ada kepala daerah yang bisa melakukan improvisasi dan lebih kreatif memaksimalkan dana APBDnya dalam penanganan Covid-19, sehingga tidak membebani pemerintah pusat.

Benarkah kita masih berjuang sendiri-sendiri untuk menurunkan kurva kematian Covid-19? Mengapa masyarakat masih tidak mau mengikuti anjuran pemerintah, seperti untuk tidak mudik, agar menjaga jarak sosial, dan tinggal di rumah? Sementara informasi sudah banyak tersebar di mana-mana dan mudah diakses. Mengapa? Ini artinya informasi yang  diterima oleh masyarakat tidak efektif.

Lalu bagaimana kita bisa menyatukan tujuan dan menciptakan kesolidan di masa pandemi ini?

***

Benar bahwa penanganan Covid-19 tidak bisa berjalan dalam koridor- koridor sendiri. Untuk menaikkan kurva kesembuhan Covid-19, kita harus membuka akses kerja sama yang seluas-luasnya, baik dari partai politik, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha, organisasi-organisasi baik yang berdasarkan kebudayaan, pendidikan, perempuan, media informasi, kesenian dan terutama para alim ulama di semua agama. Mereka harus berada pada koridor yang sama, satu komando satu tujuan; penurunan tingkat penyebaran, penularan dan kematian karena Covid-19.

Membangun koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dengan daerah untuk menciptakan praktek baik, misalnya membentuk solidaritas swadaya masyarakat dalam penyemprotan disinfektan di wilayah warga. Jika ada seorang warga yang diisolasi karena terjangkit Covid-19, maka warga sekitar diharapkan dapat  membantu memenuhi kebutuhan pangannya dengan mengantar bahan makanan ke kediamannya. Selain itu, mengedukasi warga untuk tidak membuat stigma buruk tentang pasien yang terjangkit covid-19 juga hal yang penting.

Baca Juga  Dua Faktor Penyebab Matinya Kepakaran di Era Modern

Agar tidak terjadi rebutan bansos, pemda harus mendata secara transparan serta memverifikasi data penerima bansos, seperti misalnya yang dilakukan pemda Banyuwangi, di mana data seluruh penerima bansos dipajang dan dapat dilihat oleh seluruh warga sehingga tidak terjadi kekacauan dalam pendistribusian bansos.

Jika ketidakpedulian masyarakat masih besar serta pemerintah pusat yang masih tidak tegas, saya takut tidak hanya perpecahan yang akan mengancam bangsa ini, tapi juga meningkatnya kasus terjangkit Corona yang mengakibatkan kematian, apalagi jika kapasitas rumah sakit sudah tidak mampu menampung pasien Corona.

Jangan sampai para tenaga medis angkat tangan melihat masyarakat tidak mau sadar akan ancaman bahaya corona ini. Sebuah  meme satir bertuliskan ‘Indonesia? Terserah!!’ yang diunggah oleh seorang tenaga medis beredar di group whatsApp. Ini mengindikasikan bahwa petugas kesehatan sudah mulai menyerah dengan kelakuan kita.

Seharusnya, pandemi ini bisa menjadi momentum kelahiran kembali persatuan dan kesatuan anak bangsa dengan kesadaran bahwa kita adalah bangsa yang besar yang mampu menghadapi dan melewati pandemi Covid-19 bersama-sama.

***

Machtspolitik yang pernah digaungkan oleh Presiden Soekarno bisa lahir kembali jika perayaan Kebangkitan Nasional kali ini berpijak pada kewajiban negara, kesadaran bersama, serta persatuan anak bangsa dalam memerangi Covid-19.

Yang paling penting, tidak ada lagi pemimpin yang sibuk mencari panggung demi posisi di pilkada atau perebutan kekuasaan di 2024.

Editor: Yahya FR
Avatar
2 posts

About author
Lovie Lenny Gunansyah , Penulis Novel 'Lelaki dan Kabut' , tinggal di Bekasi IG: @lovielennygunansyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds