Setiap agama pasti mempunyai ajaran teologi. Bahkan dalam Islam sendiri istilah teologi disebut sebagai ilmu kalam yang mana istilah itu bertujuan untuk membedakan antara teologi Barat dengan teologi Islam. Jika berbicara tentang rasional, agama Islam lebih berpegang pada wahyu Allah Swt, yaitu Kalamullah (kalam Allah Swt yaitu Al-Qur’an) dan Sunnatunnabi (Hadits) yang dipegang sebagai sumber ilmu pengetahuan. Tetapi berbeda dengan Wasil bin Atha’. Ia adalah salah satu tokoh teolog Islam yang dikenal dengan pemikiran rasionalisnya yang lebih mengedepankan antara akal dan wahyu.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai pemikiran Wasil bin Atha’, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang siapakah sosok ini, apa saja karya-karya dan bagaimana pemikirannya dalam teologi.
Wasil bin Atha’
Wasil bin Atha’ merupakan salah satu tokoh aliran Mu’tazilah yang mempunyai nama lengkap Abu Huzaifah Wasil Ibn Atha’ Al-Ghazzal. Beliau lahir pada 80 Hijriah yang bertempat di Madinah al-Munawarah dan meninggal pada tahun 131 Hijriyah. Beliau merupakan seorang pemimpin tertua sekaligus pendiri dari aliran Mu’tazilah yang sebelumnya sudah mendapat gelar Al-ghazzal yang berarti “penenun” dan diberinya gelar tersebut karena beliau senang berkeliling dalam kilang-kilang tenun (Ris’an Rusli, 2019:61).
Mempunyai beberapa karya tulis yang kemudian dijadikan sebuah kitab. Karya-karya tersebut ialah Ashnaf Al-Murji’ah, A-Taubah, Al-Manzilah baina al-Manzilatain, Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar-Ra’yu, Ma’ani Al-Qur’an, Al-Kitab fi at-Tauhid wa al-‘Adl, Ma Jara Bainahu wa Baina Amr Bin Ubaid, As-Sabil ila Ma’rifati al-Haqq, Fi ad-Dakwah, dan Thabaqat Ahl Al-‘Ilm wa wa al-Jahl(Al-Syatibi, 2007:30).
Terdapat tiga pemikiran Wasil bin Atha, pertama yaitu peniadaan sifat Tuhan bahwa Tuhan berbeda dengan makhluknya. Kedua, Al-Qadariyah dan ketiga Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain salah satu pemikiran yang digunakan dalam teologi Mu’tazilah.
Munculnya aliran Mu’tazilah ini berawal dari adanya perbedaan pendapat tentang status kemukminan seseorang. Perbedaan pendapat ini terjadi antara kedua pihak yaitu Wasil bin Atha’ seorang murid yang mengkritik Hasan Al-Basri yang merupakan gurunya sendiri. Wasil bin Atha’ menolak tentang pendapat gurunya yang mengatakan bahwa seseorang tetap dianggap mukmin meskipun telah melakukan dosa besar. Beliau mempunyai pendapat sendiri bahwa orang yang telah melakukan dosa besar itu ada diantara keduanya, mereka tidak dianggap mukmin dan tidak sampai pada tingkatan kafir, melainkan fasik (Yunan Yusuf, 2014:76)
Setelah kejadian tersebut Wasil bin Atha’ berdiri untuk memisahkan dirinya dari majelis itu. Gurunya berkata i’tazala ‘anna Washil yang berarti Washil sudah memisahkan dirinya dari kita. Sejak itu, Washil dan pengikutnya disebut sebagai Mu’tazilah yang berarti memisahkan diri. Tidak sedikit pengikutnya, mereka selalu berkembang dan menghasilkan banyak sekte. Para ulama Mu’tazilah mendalami ilmu-ilmu filsafat yang akhirnya pemikiran mereka lebih mengedepankan pada akal atau rasio.
Pemikir Rasional dan Filosofis
Sebagai seorang pelopor aliran Mu’tazilah yang pemikirannya dianggap rasionalis, Wasil bin Atha’ menggunakan cara berpikirnya dengan pemikiran yang rasional dan filosofis dalam berteologi. Dengan demikian, cara pendekatannya kepada Allah Swt dilakukan tidak melalui hal-hal yang mistik, melainkan melakukannya dengan menggunakan argumen rasional yang berpegang kepada akal, wahyu dan consensus.
Teologi yang diangkat oleh Wasil bin Atha’ berisi tentang teori akidah keislaman yang diperolah dengan menggunakan rasio, berpikir berdasarkan logika dan ilmu filsafat yang sudah dipelajari secara mendalam. Awal kemunculannya menjadi disiplin ilmu teologi Islam yang sederhana dan tidak sistematis. Kemudian berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang sistematis, metodologis, logis, dialektis dan filosofis yang didapatkan secara rasional dari akal pikiran dan tetap diimbangi serta berpijak kepada wahyu (Mawardi, 2010:12)
Teori tentang akidah keislaman diawali dengan berpijak kepada wahyu yang sudah diiyakini kebenarannya. Akan tetapi, apabila terdapat ayat yang didalamnya mengandung makna implisit dan mengarah ke faham antropomorphisme, maka yang dilakukan adalah dengan melakukan takwil terhadap ayat tersebut. Karena dalam teologi ini, penggunaan akal menjadi prioritas.
Oleh sebab itu, Wasil bin Atha mempunyai pendapat tersendiri terhadap ayat Al-Qur’an surah An-Nisa:93 yang menjelaskan tentang neraka jahannam yang akan menjadi balasan bagi seseorang yang melakukan dosa besar seperti membunuh mukmin dengan sengaja, sehingga akan kekal didalamnya dan mendapatkan azab yang besar pula.
Dari ayat tersebut, gurunya mengungkapkan bahwa seseorang tetap dianggap mukmin meskipun telah melakukan dosa besar. Tetapi, Wasil bin Atha’ menolaknya dan pendapatnya yang kemudian dijadikan sebagai teologi dalam Mu’tazilah tentang pelaku dosa besar adalah Al-manzilah Baina Al-Manzilatain yang artinya mereka berada pada dua posisi yang dikatakan sebagai orang yang tidak dikatakan mukmin dan tidak pula berada pada tingkatan kafir. Dengan tidak menduduki antara keduanya, maka orang tersebut dikatakan sebagai orang yang fasik (Nunu Baharuddin, 2017:99).
***
Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain yang menduduki dua posisi dan dikatakan sebagai orang yang fasik berarti tidak berkedudukan sebagai seorang mukmin secara mutlak, tidak pula dikatakan kafir karena mereka berkedudukan diatas orang kafir. Begitu juga dengan akhirat yang hanya ada surga dan neraka. Orang fasik masih bisa masuk surga apabila sebelum meninggal ia bertaubat. Tetapi berbeda dengan orang kafir, mereka tidak akan masuk surga namun akan kekal di neraka. Apabila orang fasik meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke neraka dengan siksaan yang lebih ringan daripada orang kafir.
Editor: Nabhan