Paham kapitalisme, merupakan paham yang sangat rentan mengalami kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Bila sudah terjadi kesenjangan dalam ekonomi, maka akan adanya pertentangan kelas, seperti yang dijelaskan oleh teori Marxisme.
Memang terlihat dari luar suatu negara yang menganut paham kapitalisme akan cenderung terlihat makmur. Tetapi perbedaan pendapat dan mobilitas sosial dalam masyarakatnya sebenarnya sangatlah jauh. Dengan ditandai beredarnya hoax di media adanya indikasi ulah para kapital (kapitalisasi) yang menyebabkan keresahan sosial bagi masyarakat.
Maka, kapitalisasi media adalah suatu proses mengubah data menjadi informasi yang dimanfaatkan oleh kepentingan kelas pemodal. Tujuannya untuk memanipulasi informasi sesuai dengan ideologi berkepentingan.
Kepentingan-kepentingan inilah yang mengarah pada pembelokan informasi. Kebanyakan dipengaruhi oleh ideologi yang mengarah pada manipulasi data informasi. Hal ini untuk dijadikan alat media untuk mengarahkan informasi atas dasar tujuan yang tidak objektif lagi.
Media Pencitraan Pemilik Modal
Televisi terbukti dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkonstruksi image atau citra bahkan menjatuhkan lawan politik tertentu. Televisi juga dapat digunakan dengan strategi penguasaan media oleh pemilik modal sehingga terjadinya informasi yang semu.
 Senada menurut Dwita, (2015) bahwa media televisi memiliki posisi paling strategis. Bahkan di antara elemen negara yang lain seperti eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan partai politik. Ini disebabkan karena media televisi memiliki senjata yang ampuh. Televisi dapat memengaruhi opini publik dan menggiring persepsi masyarakat untuk mencapai tujuannya.
Di era milenial ini, masyarakat bebas menyampaikan pendapat atau opininya, baik melalui lisan, media cetak, maupun media elektronik/online. Namun, hal yang perlu diingat bahwa kebebasan kalau tidak berbudaya dan beretika akan membawa konsekuensi hukum, untuk itu harus berhati-hati.
Adanya kebebasan berpendapat bagi setiap orang di negeri ini untuk berekspresi dan bereksperimen di depan publik. Urusan benar atau salah, jujur atau bohong menjadi hal yang kurang perhatikan oleh si penyebar berita. Mereka hanya berpikir yang penting dapat dibaca dan diketahui publik secara cepat dan luas.
Kapitalisme Media dengan Hoax di Era Post-Truth
Di sisi lain, kapitalisasi media sebagai penyedia berita dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat tanpa adanya filter. Di era milenial ini, sisi negative beriringan dan berlangsung yang dikenal dengan post-truth atau pasca kebenaran.
Salah satu virus utama yang ditimbulkan dari kapitalisasi media yang indikasinya menyembunyikan fakta. Hal tersebut adalah fenomena hoax yang populer di era post-truth ini. Media seharusnya dapat memberikan sumbangsih terhadap literatur yang bisa menjadi wejangan informasi yang bermanfaat.
Tetapi, hal tersebut bertolakan dengan yang terjadi di era post-truth yang berimbas pada anjloknya kualitas media karena hilangnya objektivitas informasi. Permasalah timbul dari penggunaan media sosial adalah kapitalisasi media berkedok hoax. Bahkan orang terpelajar pun tidak bisa bedakan mana berita yang benar, advertorial dan hoax.
Salah satu mahakarya kapitalisasi media yang membelokan fakta adalah berupa berita hoax. Era post-truth ini membawa kebenaran dalam dilema sehingga kebenaran subjektif cenderung dikedepankan. Hal tersebut sangat memperhatiankan sehingga perlu upaya yang konkrit untuk menanggulangi hal tersebut.
Penyebaran tanpa mengoreksi maupun memilah, pada akhirnya akan berdampak pada hukum dan informasi hoax pun telah memecah belah publik. Informasi yang diterima oleh masyarakat berdampak pada banjir informasi terindikasi adanya berita yang bercampur dengan hoax yang mendompleng literasi.
Banjirnya Informasi Menyebabkan Lemahnya Analisi di Masyarakat
Dengan hadirnya media digital menjadikan perilaku instan dan konsumtif berbarengan dengan hoax yang merajalela. Banjirnya informasi juga mengarah pada lemahnya analisis masyarakat. Terkait setiap informasi yang hadir mereka telan tanpa dicerna dan langsung dikonsumsi tanpa adanya filter.
Kasus hoax perusahaan teh botol Sosro tahun 2009 yang dikabarkan menggunakan campuran zat berbahaya jenis hidroxylid acid dalam produknya. Ternyata setelah ditelusuri ternyata zat tersebut adalah nama ilmiah dari air, perusahaan teh botol sosro telah melakukan klarifikasi terhadap pemberitaan tersebut.
Kasus lain, hoax berupa beredarnya surat pada tanggal 18 Juni 2020, tentang seleksi sekolah prioritas berkop Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam rangka program merdeka belajardan guru penggerak. Pihak Kemendikbud memastikan bahwa surat tersebut merupakan surat palsu.
Kapitalisasi media dapat kita lacak jejaknya karena pemberitaan di media tertentu yang kurang relevan, berimbang, objektive, dan cenderung mengarah pada berita-berita yang dibuat-buat atau memelintir fakta. Tentu ini menyalahi UU ITE No.19/2016 tentang kejahatan hoax merupakan kategori cybercrime.
Dalam era post-truth atau pasca kebenaran kapitalisasi media berkedok hoax membawa kita harus selektif dan bijaksana dalam menyikapi  hoax yang menyesatkan. Bahkan menjadikan indikasi-indikasi kepentingan paham maupun politik kepentingan yang berdampak pada informasi yang tidak relevan lagi.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah seharusnya sebagai pioner gerakan agen of change. Untuk menyangkal fenomena-fenomena hoax yang dapat menjerumuskan masyarakat. Masyarakat diharapkan juga lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial.
Tips ampuh menangkal hoax secara sederhana dengan menerapkan C S2 yaitu cek, saring, dan share sehingga terhidar dari berita yang menyesatkan. Misalnya, memastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya.