Akhir-akhir ini, ketegangan para pemeluk Islam di Indonesia mencuat lagi di rumpun media sosial. Seperti Humor “Ada berapakah rukun Islam? Jawabnya, Islam tidak pernah rukun.” Ketegangan demi ketegangan terus saja muncul, seolah tidak ada habisnya. Lalu bisakah Islam disebut sebagai Islam yang ramah lingkungan? Tentu saja tidak, jika ketidakharmonisan ini dilanggengkan.
Pada 11 Februari 2022 lalu, kabar tersiar pasca beredarnya unggahan YouTube terkait Ustaz Khalid Basalamah yang menanggapi soal wayang oleh salah satu penanya. Dalam unggahan tersebut, tampak Ustaz Khalid Basalamah menegaskan untuk memusnahkan atau menghilangkan wayang dan para dalang diminta untuk bertaubat, yakni dengan taubat nasuha.
Tak disangka-sangka, unggahan tersebut menuai polemik dan geram oleh warganet, bahkan sampai melaporkannya ke pihak kepolisian. Menanggapi hal tersebut, Budayawan Sujiwo Tedjo yang masyhur dikenal sebagai Presiden Jancukers itu, justru mengecam para pembela wayang.
Yang menganggap bahwa mereka hanya sok-sok-an membela wayang yang padahal mungkin saja dihatinya bukanlah pecinta wayang, tetapi pecinta Drakor (Drama Korea). Sambungnya, bahkan mungkin saja tidak pernah nonton wayang, apalagi nanggap (lihat akun Twitter @sudjiwotedjo).
Seusai menuai berbagai kecaman publik, Ustaz Khalid Basalamah mengklarifikasi dan meminta maaf secara resmi dalam akun Instagramnnya (@khalidbasalamahofficial).
Namun nyatanya, perkara ini tidak berhenti di pintu permaafan saja. Gus Miftah yang dikenal sebagai pendakwah kaum marjinal itu, justru menggelar pewayangan di Pesantrennya, Pondok Ora Aji, dan mengumpulkan para seniman dan dalang.
Dalam pagelaran ini, sebenarnya Gus Miftah sudah mewanti-wanti apa yang akan terjadi pasca acara. Dan benar saja, hujatan demi hujatan membanjiri rumpun media sosial dan menyerang Gus Miftah. Alhasil, Gus Miftah diminta untuk meminta maaf, karena dianggap telah kelewatan menghina secara badani melalui wayang kulit mirip Ustaz Khalid Basalamah.
Wayang: Media Dakwah Wali Songo
Memang lucu, isu-isu yang berpautan soal agama mudah sekali tersulut. Seolah-olah hanya ada lembar hitam-putih; pasal halal-haram di dalamnya. Jauh sebelum polemik ini, Gus Baha’ yang merupakan ulama NU ahli tafsir, sebenarnya sudah pernah membahas soal hukum pewayangan yang ada di Nusantara.
Gus Baha’ menjelaskan bahwa sebenarnya polemik pewayangan ini sudah ada sejak zaman dulu, yakni ketika datangnya para Walisongo ke bumi nusantara.
Yang pada akhirnya, polemik ini dapat dicarikan jalan tengahnya. Karena memang sudah jelas hukumnya, bahwa bagi siapapun yang membuat patung, maka kelak akan dimintai pertanggungjawaban untuk meniupkan ruh kepadanya.
Kata Gus Baha’, karena yang lebih mengetahui hukum tersebut adalah Sunan Giri, maka ia menentang rencana dakwah Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang tenghul sebagai media dakwah ajaran Islam.
Walhasil, rencana ini malah menjadi perdebatan diantara para wali. Pada akhirnya, perdebatan tersebut diserahkan kepada Sunan Kudus yang dinilai lebih bijaksana dan saleh.
Dengan kecerdikannya dalam mengakali (merekayasa) hukum fikih, agar tidak jadi dibebani pertanggungjawaban tersebut, Sunan Kudus mempeokkan (menipiskan) wayang tenghul yang berbentuk patung dan jadilah wayang kulit. Dengan begitu, tidak lagi serupa dengan makhluk hidup yang layak untuk diberi nyawa.
***
Maknanya, bentuk-bentuk pewayangan sampai hari ini bentuknya gepeng, akibat akulturasi budaya setempat dan nilai-nilai keislaman. Dan ini justru menjadi media dakwah Islam yang sukses pada waktu itu.
Letak kejeniusan Walisongo dulu yaitu tanpa menghilangkan budaya, akan tetapi turut memelihara budaya dengan cara memasukkan ruh-ruh Islam kedalam pori-pori budaya. Hasilnya, ruhnya Islam bertubuhkan budaya.
Dan satu hal lagi, Walisongo dulu menyadari bahwa apapun yang berbau budaya pasti berjangka panjang dan konsekuensi logisnya nilai-nilai Islam juga akan terbawa apabila berhasil merasukinya. Inilah yang disebut sebagai strategi dakwah (preaching strategy).
Tanpa harus membenturkan ajaran Islam ke kebudayaan, tetapi melalui penyatuan. Strategi ini juga disebut sebagai soft aproach (pendekatan lembut); bukan hard aproach (pedekatan kasar).
Pendekatan lembut atau lunak ini juga dinilai strategi yang cukup efektif, dibandingkan pendekatan kasar atau keras, misalnya pendekatan dengan cara ekspansi militer.
Contoh besarnya, seperti ekspansi militer yang digencarkan pada era Sahabat dahulu, guna memperluas wilayah dan penaklukan oleh pemerintahan Islam, yang ditandai dengan kata “Jihad”.
Namun pada konteks hari ini, jihad yang demikian tidaklah aktual, bahkan dinilai udik (baca: kampungan). Apalagi semenjak datangnya dua gerbong kereta api cepat dari arah Jombang, yakni Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pemikiran Cak Nur dan Gus Dur
Cak Nur dan Gus Dur sama-sama berasal dari Jombang, hanya saja beda kecamatan. Pun sama-sama kental akan kultural pesantrennya. Keduanya juga terbilang terpaut tidak terlalu jauh usianya. Jika Cak Nur, lahir pada 17 Maret 1939 Masehi, sedangkan Gus Dur lahir pada 7 September 1940 Masehi. Jadi hanya selisih kurang lebih 1 tahun 5 bulan 20 hari saja, lebih tua Cak Nur.
Corak pemikiran Cak Nur, tak lepas dari ketiga tema besar, yakni keislaman, keindonesiaan, dan kemordernan. Dari trilogi ini melahirkan salah satu formula yang apik dan kontroversial. Banyak menuai kritik sekaligus pujian mulai dari kalangan Intelektual hingga agamawan.
Begitu juga pemikiran Gus Dur yang banyak orang menganggap bahwa pemikirannya malampaui zamannya, sehingga bangsanya sendiri tidak mampu untuk menapaki jejak pemikirannya. Gagasan Gus Dur yang paling terkenal adalah pribumisasi Islam atau Islam pribumi. Sementara Cak Nur, concern mengembangkan gagasannya tentang sekulerisasi.
Bersambung…
Editor: Yahya FR