Perspektif

Yang Kita Butuhkan adalah Sikap Inklusif, Bukan Eksklusif

2 Mins read

Inklusif Vs Eksklusif

Pluralisme ataukah pluralitas? Sejak lama orang memperdebatkan tentang dua istilah ini, seakan dua istilah ini sebegitu pentingnya dalam menentukan iman tidaknya seseorang. Dalam perdebatan ini terasa adanya ketakutan bahwa pilihan yang salah akan berkonsekuensi pada akidah.

Istilah “pluralitas” biasanya digunakan oleh orang-orang yang phobia (ketakutan tak beralasan) terhadap istilah “pluralisme agama”. Ketakutan ini berangkat dari pemahaman bahwa pluralisme agama adalah paham yang menyamakan dan mencampuradukkan semua agama. Padahal, pluralisme agama adalah keterlibatan dan juga semangat akan keragaman, termasuk saling belajar untuk saling memahami, tanpa kehilangan komitmen atas keyakinannya sendiri.

Jadi, pluralisme sepenuhnya berbeda dengan relativisme yang memandang bahwa setiap agama memiliki kebenaran yang sama; atau bahkan sinkretisme yang mencampuradukkan semua keyakinan agama menjadi satu sehingga melahirkan bentuk keyakinan yang baru.

Ada sebagian orang yang menyamakan antara toleransi dan pluralisme. Sebetulnya dua istilah ini memiliki sedikit perbedaan. Toleransi lebih merujuk pada sikap pasif untuk sekedar tidak mengganggu dan membiarkan keyakinan orang lain yang berbeda. Sementara, pluralisme lebih berkarakter aktif, di mana diri kita terlibat di dalam keragaman.

Orang toleran akan membiarkan apapun yang terjadi dengan keyakinan orang lain, asalkan dia tidak mengganggunya. Sementara, seorang pluralis setidaknya akan merasa terusik jika ada keyakinan orang lain yang didiskriminasi, sekalipun dia tidak terlibat melakukan tindakan itu.

Istilah “pluralitas agama” sendiri berarti hanya sekedar merujuk pada fakta bahwa ada bermacam-macam agama. Karena memang tidak dapat dimungkiri bahwa di Indonesia saja, misalnya, ada ratusan keyakinan dan agama termasuk enam agama besar (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu).

Jika pluralisme agama dipahami hanya sebatas sebagai pluralitas agama, maka sebenarnya hal tersebut hanya merujuk pada data statistik tentang adanya banyak agama di Indonesia, termasuk berapa banyaknya pengikut setiap aliran agama, dan banyaknya aliran dalam satu agama.

Baca Juga  Universitas Ormas Islam: Mencerdaskan Umat!
***

Pengertian pluralitas ini tidak sungguh-sungguh dapat menunjukkan pada kita sikap yang seharusnya terhadap keragaman agama, tetapi semata-mata hanya tentang keberadaan berbagai macam agama yang berbeda-beda.

Ada sikap yang perlu ditekankan dalam menyikapi keberadaan agama. Sikap ini disebut ekumenisme. Ekumenisme merupakan suatu sikap yang menekankan pada persatuan dan kerjasama antarsesama manusia tanpa memandang agama dan keyakinannya.

Sikap tersebut menekankan pada tindakan orang-orang beragama yang berbeda keyakinan untuk dapat saling berdialog dan bekerja sama. Sikap tersebut sangat penting dalam konteks keindonesiaan kita. Semangat ini sesungguhnya dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia sehingga sila ke-3 Pancasila berbunyi “Persatuan Indonesia”. Ini berarti masyarakat Indonesia harus saling bersatu dan bekerjasama.

Jika kita ingin membangun masyarakat yang bersatu dan bekerja sama dengan baik tidak peduli keyakinan dan agamanya apa, langkah pertama yang harus ditanamkan adalah sikap inklusif. Inklusivisme dalam beragama berarti meyakini kebenaran agama yang dipeluknya sambil tetap membuka diri untuk mendengarkan kebenaran dari orang lain.

Sikap ini seperti yang biasa diambil oleh para imam mazhab yang meyakini pendapatnya adalah benar, namun mungkin saja ada kesalahan di sana; Pendapat mazhab lain adalah salah, namun mungkin saja ada kebenaran di dalamnya.

Orang yang memiliki sikap inklusif cenderung menjadi pendengar dan pembelajar yang baik sekalipun ia tetap teguh dengan keyakinan yang peluknya. Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh al-Ghazali, jika ada seorang Nasrani menyatakan bahwa Yesus adalah Rasulullah, maka kalimat itu benar sekalipun dinyatakan oleh orang Nasrani.

Justru kalau ada orang Islam yang tidak mengakui kebenaran pernyataan itu, maka sikap itu tidak benar. Lalu, apakah al-Ghazali pindah ke agama Kristen? Tidak! Tak perlu masuk Kristen untuk mengakui kebenaran ajararan cinta kasih meski itu adalah bagian dari ajaran agama Kristen.

Baca Juga  Kisruhnya PAN dan Hilangnya Partai Reformis
***

Sikap al-Ghazali inilah yang disebut dengan sikap inklusif dalam beragama. Lawan dari inklusivisme adalah eksklusivisme, yaitu satu sikap lebih memilih untuk menutup diri dan tidak mau menerima kebenaran selain kebenaran yang telah didekapnya.

Sikap inklusif dan terbuka ini penting dimiliki oleh kita semua, apalagi dalam kehidupan masyarakat yang sangat beragam. Sikap tertutup dan membatu pada diri sendiri tidak jarang melahirkan permusuhan yang lahir dari ketidaktahuan. Di tengah masyarakat yang sangat mudah tersulut api kebencian, inklusivisme bisa jadi adalah jalan keluar yang bisa mengurai berbagai konflik dan permusuhan yang menggejala di Indonesia saat ini.

Editor: Yahya FR
Kenneth Sulthon Alafi Al-Hallaj
2 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Studi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds