Oleh Fahd Pahdepie*
“Tweet ini saya dedikasikan untuk Bu Titiek, guru BK yang bilang saya gak bakal masuk PTN. Maaf saya cum laude.” — @palingmahir
Beberapa waktu lalu cuitan tersebut sempat viral di Twitter, disukai puluhan ribu kali dan memancing ribuan komentar. Rupanya banyak orang merasa berada di situasi yang sama atau membayangkan sebuah ‘balas dendam manis’ yang sama.
Ratusan orang lantas mengunggah cuitan dengan nada serupa, dilengkapi berbagi foto yang bercerita tentang kesukseskan, berusaha memberi pesan kepada para guru yang dulu pernah memaki atau meremehkan mereka: bahwa selama ini para guru itu salah.
Benarkah para guru itu salah menilai murid-muridnya? Benarkah perlakuan atau kata-kata buruk mereka di masa lalu adalah luka yang layak dijadikan dendam sehingga berhak dibalaskan? Di hari guru ini, izinkan saya memberi sudut pandang lainnya.
Guru Juga Manusia
Guru adalah manusia dengan segala keterbatasannya. Interaksinya sebagai manusia dengan murid-muridnya tentu memiliki kompleksitas tersendiri. Apalagi jika ia harus berhadapan dengan puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan orang setiap hari. Kadang ia kelelahan, kadang ia berjuang dengan berbagai masalah pribadinya, kadang ia tak bisa mengendalikan emosi, tetapi bagaimanapun ia seorang guru.
Di tengah segala hal manusiawi yang harus ia hadapi, seorang guru di hadapan murid-mudridnya selalu diharapkan menjadi sosok yang sempurna. Atau sekurang-kurangnya bisa menjadi panutan. Padahal setiap murid memiliki ekspektasi yang berbeda-beda tentang apa definisi guru yang baik di mata mereka.
Ada guru yang disukai karena sering mendiskon waktu pelajaran, ada guru yang dikagumi karena kerap berbagi cerita atau bahkan melucu di dalam kelas, ada guru yang diidolakan karena tak pernah sulit memberi soal ujian, ada guru yang selalu tersenyum dan menyapa. Guru-guru semacam ini biasanya menjadi ‘pahlawan’ bagi murid-muridnya. Tanpa mereka tahu sebenarnya para guru ini juga memendam kegelisahannya masing-masing.
Kemudian ada guru-guru lainnya, yang ‘killer’ dan tidak favorit. Guru BK yang terkenal tukang marah, guru sejarah yang doyan menghukum, guru yang pelit memberi kisi-kisi soal ujian, guru yang selalu tepat waktu dan tak pernah memberi kelonggaran, guru yang nggak asik karena nggak bisa nongkrong bareng murid-muridnya. Apakah para guru ini memang seburuk itu? Bukankah mereka berusaha menjalankan tugasnya demi kebaikan murid-muridnya?
Ada sebuah ungkapan menarik tentang film-film superhero. Konon, anak kecil memang akan menyukai para pahlawan super yang baik hati. Tetapi orang dewasa akan mengerti mengapa para penjahat ingin menjaga keseimbangan dunia. Semakin kita bertambah dewasa, kita akan memahami bahwa segala hal tak bisa hanya kita nilai dari apa yang kita lihat di permukaannya saja.
Saya kira tidak ada guru yang menginginkan muridnya gagal. Bahkan guru yang pernah memaki hingga meremehkan murid-muridnya, sebenarnya hanya ingin mengeluarkan potensi terbaik yang dimiliki murid tersebut. Meski dengan cara yang kadang sulit diterima. Dengan konsekuensi untuk menjadi tidak disukai.
Refleksi Hari Guru
Dalam teori pendidikan nilai, ada dua cara untuk menanamkan satu bentuk pendidikan moral kepada seorang individu. Memetika menyebutnya sebagai ‘resonansi’ dan ‘disonansi’ (Richard Brodie, Virus of the Mind, 1996).
Resonansi adalah pendekatan yang berusaha menggemakan nilai-nilai positif yang ada pada diri seseorang. Termasuk dengan memberi contoh. Bila kita ingin mengajak anak kita membuang sampah pada tempatnya, misalnya, kita menunjukkan caranya, kemudian memuji anak itu jika ia mengikuti hal yang kita lakukan. Di waktu yang lain, resonansi juga berbentuk motivasi, pemberian hadiah, dan seterusnya.
Sebaliknya disonansi. Ini adalah cara untuk menurunkan gema nilai-nilai negatif pada diri seseorang. Cara ini dipakai dalam bentuk menghukum, menegur, menakut-nakuti dan seterusnya. “Mau jadi apa kamu nanti kalau malas belajar? Nanti kamu nggak akan bisa sukses!” Gertakan ini tentu bukan sedang menginginkan si anak menjadi gagal, tetapi bertujuan mengurangi ‘gema’ rasa malas belajar dalam diri anak didik tersebut.
Dalam dunia pendidikan Islam, kedua metode ini desebut ‘targhib’ dan ‘tarhib’. ‘Targhib’ berasal dari akar kata ‘raghiba’ yang berarti bergembira. Mendidik dengan cara ini adalah dengan memberi anak kegembiraan-kegembiraan. Sementara ‘tarhib’ berarti menakut-nakuti, mencegah anak agar tidak melakukan sesuatu yang salah dengan cara memberinya rasa takut.
Jika kita berhasil memahami dua pendekatan ini, masihkah kita mendendam kepada para guru yang dulu memarahi bahkan menghardik kita? Bahkan jika hari ini kita berhasil menjadi individu yang luar biasa, barangkali memang kita tidak akan bisa mencapainya tanpa dimarahi atau ditegur dengan cara yang luar biasa pula, bukan?
Seandainya kita memahami peran para guru, rasanya kita akan tumbuh menjadi masyarakat yang lebih baik. Yang lebih bisa menghargai satu sama lain, yang sanggup mengejar berbagai ketertinggalan peradaban. Tanpa para guru di masa lalu, akan jadi apa kita hari ini? Betapapun sederhananya itu.
Tanpa guru pertama yang mengajari kita A-B-C-D, kita tak akan bisa membaca dan menulis. Lalu bertransformasi menjadi diri kita hari ini dengan segala kehebatannya di bidang apapun. Tanpa ustadz yang mengajari kita alif-ba-ta dengan sabar atau dengan penuh ‘anacaman’ sekalipun, barangkali hari ini kita juga tak bisa mengaji—apalagi sampai menjadi ahli ilmu agama, penceramah, atau lainnya.
Ada guru-guru yang memberi kita pujian dan hadiah. Ada guru-guru yang memarahi dan menghukum kita. Tetapi merekalah yang mengeluarkan segala hal baik dari diri kita, merekalah yang memecahkan ego dan kepala kita yang batu.
Merekah guru kita semua, yang begitu mulia dan berjasa. Amal jariyah mereka tak akan pernah putus selama kita terus membaca, selama kita terus menulis, selama kita terus menjadi diri kita dengan segala nilai dan ajaran yang pernah mereka tinggalkan di beberapa episode kehidupan kita di masa lalu.
Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku.
Selamat hari guru!
*) Tulisan ini didedikasikan untuk Pak Usep, guru sejarah yang bilang, “Jangan kayak Bapak. Kalian bisa 1000 kali lipat lebih hebat dari Bapak. Biar sejarah yang membuktikannya.”