IBTimes.ID – Pada hari Senin (7/9), Pusat studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta mengadakan webinar secara daring bertajuk “dari Kita untuk Mereka”. Webinar ini dilaksanakan melalui Zoom dan disiarkan secara langsung melalui YouTube.
Yulianti Muthmainnah, Ketua PSIPP ITB-AD Jakarta mengatakan dalam pengantarnya bahwa PSIPP berkedudukan di ITB Ahmad Dahlan Jakarta. ITB-AD Jakarta merupakan salah satu dari 173 Perguruan Tinggi milik Muhammadiyah.
Yulianti Muthmainnah menyebut bahwa Pusat Studi ini fokus pada isu Islam, perempuan, dan ekonomi. Kegiatannya berupa penelitian, pendidikan publik, dan pelatihan. Saat ini fokus pada SDGs terutama poin kelima tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya adalah kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan diskriminasi.
Anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Aisyiyah ini juga mengatakan bahwa Islam memberikan jawaban terhadap posisi perempuan yang sebelumnya tidak manusiawi menjadi lebih manusiawi. Mulai dari kelahiran perempuan yang dirayakan, mendapatkan hak warisan, ketika sedang menjalankan fungsi reproduksi tidak dijauhkan dari keluarga, dan sebagainya. Islam memberikan perubahan dari tradisi sebelumnya. Karena perempuan pada masa Islam mendapatkan posisi yang sangat penting di hadapan Allah.
“Muhammadiyah sebagai organisasi besar di Indonesia membuat kebijakan-kebijakan yang diturunkan dari ajaran Islam. Misalnya pada tahun 1972 Muhammadiyah mengeluarkan buku berjudul Adabul Mar’ah. Adabul Mar’ah ini sangat menarik karena didalamnya perempuan boleh menjadi hakim pengadilan agama, bahkan menjadi presiden,” jelasnya.
Ia memberikan contoh-contoh fatwa progresif Muhammadiyah. Misalnya, pada tahun 2009 ada buku yang berjudul Memecah Kebisuan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Perlindungan Muhammadiyah-Aisyiyah pada Perempuan Korban. Pada tahun 2010, Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan diskusi nasional di Malang. Yang poinnya adalah perempuan boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Pada tahun 2015, ada putusan bahwa salah satu syarat dari keluarga sakinah adalah monogami.
Pada tahun 2018, Muhammadiyah mengeluarkan fatwa fiqh perlindungan anak. Pada fiqh ini, perempuan boleh menikah sekurang-kurangnya berusia 21 tahun. “Ini adalah contoh-contoh bahwa Muhammadiyah adalah organisasi progresif yang tidak hanya senafas dengan islam dalam hal ini maqasid syariah, tetapi juga prinsip-prinsip hak asasi manusia. Seperti hak hidup, hak beribadah, hak berpindah tempat, hak tidak mendapatkan siksaan dan diskriminasi,” lanjutnya.
Meskipun, di sisi lain, kasus kekerasan terhadap perempuan masih banyak dengan angka yang sangat fantastis. Komnas Perempuan melaporkan bahwa sepanjang 12 tahun terakhir kenaikan kasus-kasus terhadap perempuan meningkat sampai 800 kali lipat. Ini sangat memprihatinkan mengingat dalam banyak kasus yang disalahkan adalah tubuh perempuan.
Menurut Yulianti Muthmainnah, ada kekosongan hukum yang sangat signifikan. Ia memberikan contoh dalam KUHP disebutkan bahwa pemerkosaan adalah bertemunya penis dan vagina. Padahal dalam banyak kasus tidak demikian. Di Tangerang Selatan terjadi kasus pemerkosaan menggunakan cangkul.
Pada Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang no 21 tahun 2007 ada kekosongan hukum. Bahwa unsur trafficking harus mengandung pemindahan tempat, penyekapan, tipu muslihat, dan lain-lain. Padahal kasus yang terjadi adalah suami menjual istrinya. Ini terjadi di Jogja dan Cianjur. Istri tidak dipindahkan dan tidak disekap.
Selain itu, ia juga mencontohkan dalam UU no 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, bahwa syarat pengadilan KDRT adalah harus ada buku nikah. Tetapi hari ini banyak orang yang menikah tetapi tidak dicatatkan dalam dokumen pemerintah karena alasan kemiskinan, akses yang jauh, dan lain-lain.
“Kejadian di lapangan adalah suami memasukkan benda-benda yang tidak pantas ke tubuh istri. Ada banyak kekosongan hukum yang harus kita lihat sebagai kejadian yang luar biasa. UU no 44 tahun 2008 tentang pornografi, pemidanaan pada korban, misalnya kasus di Karanganyar. Dia sudah dikorbankan, sudah malu, tapi masih dipidana juga,” tegasnya.
Yulianti Muthmainnah berpesan kepada seluruh peserta agar bersama-sama mengoreksi kebijakan-kebijakan yang seperti ini. Bahwa Islam memberikan kedamaian terhadap perempuan. Dan perempuan harus mendapatkan akses yang strategis dan setara.
“Saya yakin bahwa amal usaha dan produk-produk Muhammadiyah harus disebarluaskan, tapi pada saat yang sama korban berjatuhan setiap detik. Maka penting bagaimana ajaran Islam dibumikan, berorientasi kepada kemaslahatan umat. Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin,” pungkasnya.
Reporter: Yusuf