Inspiring

Yulianti Muthmainnah: Kuliah di Muhammadiyah, yang Kristen Semakin Kristen

3 Mins read

Apakah kalau mahasiswa non muslim kuliah di kampus Muhammadiyah akan menjadi target Islamisasi? Tidak sama sekali. Tidak bahkan sejak dalam pikiran.

Mereka yang Kristen, sekolah di kampus Muhammadiyah, malah jadi semakin Kristen. Mereka yang Katolik, sekolah di kampus Muhammadiyah, jadi semakin Katolik. Demikian pula yang Hindu atau Budha.

Kisah seperti ini jamak terjadi. Baik di bagian Timur Indonesia, ketika kampus Muhammadiyah didominasi oleh mahasiswa/i non-Muslim, maupun di daerah lain yang non-Muslim menjadi minoritas. Contohnya adalah ITB AD (Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan) Jakarta.

Di kampus itu, Yulianti Muthmainnah, dosen ITB AD, beberapa kali mendapat “surat cinta” dari orang tua mahasiswa. Anaknya –non muslim– yang sebelumnya jarang ke gereja, tiba-tiba rajin ke gereja, setelah mengikuti rumpun mata kuliah AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan). Yuli memang mengampu makul tersebut.

Mata kuliah yang masuk rumpun tersebut ada lima, yaitu Akidah Akhlak, Ibadah, Praktikum Alquran, Kemuhammadiyah, serta Kajian Islam dan Muamalah. Semua wajib diambil oleh seluruh mahasiswa/i, pun non-Muslim.

Di makul Praktikum Alquran, tidak ada kewajiban menghafalkan surat atau ayat-ayat al-Qur’an tertentu bagi non-Muslim. Sebagai gantinya, mahasiswi/a non-Muslim (Kristen atau Katolik) ditugaskan untuk mencatat ceramah di gereja pada hari Ahad (Minggu). Mahasiswi/a nya yang sebelumnya tidak pernah ke gereja, sekarang malah rajin pergi ke gereja tiap akhir pekan. Orang Kristen mengenal Tuhannya melalui jalur kampus Muhammadiyah.

“Terima kasih, Ibu. Anak saya yang sebelumnya tidak ke gereja, sekarang malah ke gereja. Saya tidak punya ekspektasi kalau di kampus Islam dia malah rajin ibadah. Padahal dulu ia beberapa kali sekolah di lembaga pendidikan Kristen,” ujar surat cinta itu kepada Yuli. Sampai beberapa kali, semua dari orang tua yang berbeda.

Baca Juga  Ketika Al-Fatih Menaklukan Balkan dan Kepulauan Yunani

Di makul Ibadah, mahasiswa non-Muslim diminta presentasi tentang praktik keagamaannya yang mirip dengan ibadah-ibadah dalam Islam atau yang beririsan dengan ibadah mereka. Misalnya bila di Islam ada zakat, maka pada Kristen atau Katolik ada sepersepuluh. Demikian pula dalam Islam ada puasa wajib Ramadhan, maka dalam agama mereka juga mengenal puasa. Maka, umumnya mereka akan memilih isu puasa atau derma sepersepuluh itu dan mempresentasikannya di depan kelas.

Suatu ketika, ada mahasiswi dan mahasiswa Kristen, mereka memilih judul puasa dan mempresentasikan puasa dalam perspektif Kristiani. Di akhir presentasi, salah satu dari mereka bercerita, ia terisak. Tak kuasa menahan tangis. Dengan mata sembab, ia menjelaskan, bahwa itulah pertama kalinya ia bicara tentang agamanya secara bebas, tanpa rasa takut terhadap apapun, dihadapan orang-orang non-Kristen. Karena, sejak TK sampai SMA, ia tidak pernah punya kesempatan untuk menceritakan apapun tentang agamanya.

Toleransi tak hanya ada dalam materi, namun mengakar dalam tindakan.

Lalu, kenapa sebagian orang non Muslim ini memilih kampus Muhammadiyah? Tentu ada pertimbangan-pertimbangan normatif. Seperti urusan ketersediaan jurusan dan besaran biaya. Yang menarik, sebagian dari mereka mengaku bahwa Muhammadiyah itu moderat. Dari mana mereka melihatnya? Sederhana saja. Muhammadiyah tidak pernah membubarkan pengajian orang lain, tidak pula membakar masjid Islam lainnya.

Muhammadiyah jarang punya riwayat gesekan di bawah. Paramiliter di tubuh Muhammadiyah hanya digunakan untuk pengamanan tokoh publik. Tidak untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis sama sekali.

Selain karena alasan-alasan tersebut, dalam Muhammadiyah tidak ada Islamisasi. Tidak ada paksaan. Termasuk soal jilbab. Malah, yang Kristen semakin Kristen. Semakin teguh imannya.

Hal sederhana ini yang justru dilihat oleh orang-orang di luar Islam.

Baca Juga  Muhammadiyah: Covid-19 itu Nyata, Bukan Konspirasi!

Kenapa AIK harus diwajibkan kepada seluruh mahasiswa, apapun agamanya? Yuli menyebut beberapa alasan. Pertama, AIK adalah ciri khas kampus Muhammadiyah. Tidak ada rumpun mata kuliah AIK di kampus lain. AIK menjadi pondasi, basis dalam kehidupan mereka, jadi kompas, dan jadi penerang jalan. Kelak, para lulusan ITB-AD Jakarta, mereka yang menjadi akuntan publik, para arsitek, dan pilihan pekerjaan lainnya tidak hanya ahli dalam ilmu kesarjanaannya tetapi juga ada bekal agama seperti amanah, tidak korupsi, penghormatan pada hak-hak perempuan, moderat, dan agama menjadi lentera kehidupan. 

Kedua, mahasiswa non-Muslim yang mengambil AIK diharapkan menjadi peace builders. Mereka melihat wacana keislaman dari dekat. Tidak dari kacamata orang luar yang lekat dengan nuansa islamophobic atau tuduhan Islam sebagai teroris. Merekalah yang akan menjadi penyampai pesan-pesan perdamaian. Orang-orang yang menjadi saksi bahwa Islam adalah agama yang damai. Orang-orang yang menjadi saksi bahwa di kelas tidak ada materi yang mengajarkan kebencian agama lain, memusuhi agama atau kepercayaan yang berbeda.

Ketiga, mahasiswa juga bisa menjadi agen dialog lintas agama. Karena pernah belajar hal-hal di luar agamanya.

Toh, di dalam kelas, termasuk yang diampu oleh Yuli, semua kepercayaan dihormati secara setara. Semua diberi ruang untuk bicara. Sama sekali tidak ada paksaan untuk meyakini ini atau itu. Tidak ada Islamisasi sebagaimana tidak ada juga Kristenisasi.

Bahkan, alih-alih menghakimi, lebih jauh Yuli menawarkan beberapa solusi pada permasalahan yang ada di agama-agama lain. Tak lupa, Yuli sering kali menyelipkan isu termutakhirkan seperti SDGs, Climate Change, Resolusi PBB, dan berbagai macam Deklarasi HAM dari masing-masing organisasi seperti PBB, OKI/OIC, ataupun ASEAN dalam setiap matkul AIK.

Baca Juga  Lazismu Raih Penghargaan Fundraising Kemanusiaan Terbaik

Pada mata kuliah Akidah Akhlak, dalam dialog di kelas Sarjana Desa, ada dialog hangat di kelas antar mahasiswi/a menaggapi presentasi mahasiswa Hindu yang meyakini wajibnya sedekah laut. Ada pertanyaan dari mahasiswa lainnya seperti ‘bagaimana agar sedekah laut itu tidak mencemari lautan?’ Mahasiswi Hindu tersebut terlihat berpikir keras dan bingung menjelaskan.

“Bagaimana kalau nampan yang digunakan itu dibuat dari daun pisang atau daun kelapa? Karena kalau nampannya dari plastik, akan mencemari lingkungan. Kalau dimakan ikan, ikan bisa mati. Kalau daun kan aman,” ujar Yuli ketika mengajar mahasiswinya. Dan mahasiswipun menyetujui. Diakhir perkuliahan, ketika membuat tugas video kreatif, mahasiswi tersebut mengup-load cara membuat tampah dengan daun pisang dan dauk kelapa sebagai wadah/tempat dan ia gunakan untuk upacara keagaamaan Hindu sesajen laut di Bali. Demikianlah Matkul AIK diajarkan di kampus ITB-AD Jakarta. Semua menjadi happy, semua belajar keragaman dan penghormatan.

*)Artikel ini merupakan hasil kerjasama antara IBTimes dengan INFID

Avatar
114 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds