Zidan dan Tri Suaka I Kehadiran platform digital seperti YouTube, Instagram, dan Tiktok mendefinisikan dan membentuk kembali apa yang disebut selebriti, begitu juga terkait dengan dunia tarik suara. Berbekal kemampuan suara yang bagus dan memilih lagu-lagu hits untuk dinyanyikan menarik audiens untuk bernostalgia sekaligus memperbaharui referensi musik yang sedang tenar.
Di sisi lain, lagu-lagu covering tersebut bisa jadi latarbelakang sebuah video yang bisa dibuat oleh siapapun. Hal ini memungkinkan untuk mengamfilikasi tingkat ketenaran seorang penyanyi yang bahkan bisa melebihi penyanyi aslinya.
Potong kompas menuju ketenaran menjadi selebriti ini sangat memungkinkan saat ini. Hal ini karena, struktur digital tersebut memberikan peluang lebih maksimal bagi siapapun untuk meniti karir sebagai selebriti/musisi. Sementara itu, dalam industri kapitalisme media lama, seorang selebriti/musisi sangat bergantung dengan kepemilikan media televisi, rating iklan, dan sejumlah prasyarat agar bisa diterima oleh pasar dengan intervensi dari pemilik modal.
Zidan dan Tri Suaka yang Berujung Makian
Dalam konteks ini, kehadiran Zidan dan Tri Suaka, musisi yang melakukan covering lagu-lagu Indonesia yang hits pada masanya dan sedang kekinian mendapatkan tempat oleh publik digital Indonesia. Dengan suara yang bagus dan mengartikulasikan musik yang sesuai dalam langgam digital, mereka menjadi mikro selebriti yang memiliki ceruk pasarnya sendiri bagi anak-anak muda Indonesia.
Berbeda dengan Industri media kapitalisme lama, di bawah rezim industri kapitalisme media sosial, mereka bisa melakukan kreasi tanpa ada intervensi pemilik modal.
Namun, independensi berkarya dengan ceruk ekonomi digital ini menjadi persoalan ketika mereka menganggu ekosistem industri musik yang saat ini sedang berada dalam tarikan digital dan non digital. Disertai dengan adanya migrasi besar-besaran penggemar musik; memiliki rasa suka terhadap penyanyi band lama, tetapi juga menggunakan media platform digital yang sama. Akibatnya, adalah gelombang makian yang tidak pernah diduga-duga.
Hal ini dialami oleh Zidan dan Tri Suaka, penyanyi cover yang tenar di platform digital dan membikin ceruk pasar sendiri bagi anak-anak muda. Keduanya memparodikan cara bernyanyi Andika Kangen Band yang justru bagi warganet itu dianggap sebagai bentuk ejekan. Alih-alih meminta maaf, karena merasa cukup independen, Zidan justru dengan congkak melawan resistensi audiens yang dilakukan kepadanya; “ya aku memang penyanyi cover, tapi aku kan punya karya. Kalau kamu punya karya juga engga? “. Itu ia jelaskan saat siaran langsung di akun media sosialnya saat ada yang mengkritiknya.
***
Sebagai konsumen dan sekaligus produsen, audiens justru membalas parodi tersebut dengan ejekan balik. Video ejekan tersebut yang menjadi viral di tiktok. Hal ini karena, mereka merasa tidak terima idolanya diparodikan dengan cara seperti itu. Sementara, Zidan dan Tri Suaka juga hidup dari menyanyikan lagu-lagu Andika Kangen Band.
Di sisi lain, ini yang tidak diduga oleh mereka berdua, Kangen Band memiliki ceruk massa yang sangat fanatik. Tidak hanya merasa beririsan dengan kehidupan sosok Andika yang berasal bukan dari masyarakat urban seperti Jakarta, melainkan mereka sangat menyukai lagu-lagu Kangen Band; enak didengar, pas dihati, dan sangat ngepop dengan keseharian dunia percintaan sebagian besar orang.
Karena dihujat bertubi-tubi di tiktok. Dimana Zidan dan Tri Suaka juga tumbuh dan populer di platform itu, mereka berdua meminta maaf. Ini karena sikap konyolnya itu bakal berbuntut panjang di tengah pendapatan mereka sekali manggung seharga 50 Juta. Namun, luka telah tertorehkan, rasa maafnya tidak cukup menutupi luka para penggemar Kangen Band.
Bahkan, komunitas pecinta melayu, karena merasa terhina dengan parodi tersebut, mereka membuat pledoi memaksa Zidan dan Tri Suaka tidak hanya meminta maaf melainkan juga meminta ganti rugi sejumlah 1 miliar. Meskipun bagi Andika Kangen Band, yang sudah kebal dengan hujatan, parodi yang dilakukan oleh mereka berdua justru sebenarnya sedang menenggelamkan karir musik mereka sendiri.
Masukan
Di sini, independensi digital sangat mungkin bagi siapapun untuk membangun mikro selebriti yang berbeda dengan cara-cara lama dalam memenangkan popularitas, yang bisa berimplikasi dalam pendapatan ekonomi. Namun, rumus universal etika tetap berlaku di manapun; jaga sikap!.
Persoalan jaga sikap ini yang kerapkali luput oleh para mikro selebriti, yang merasa diri mereka sedang menuju tingkat popularitasnya. Padahal, di balik popularitas bermusiknya ada rangkaian hak-hak royalti yang kerapkali terabaikan dengan menyanyikan ulang lagu-lagu tersebut.
Sementara bagi mikro selebriti seperti Zidan dan Tri Suaka, menyanyikan ulang dan kemudian mendapatkan panggung-panggung musik di acara hajatan, itu seolah-olah hal yang diterima karena kemampuannya sendiri.
Editor: Soleh