Sejak awal adanya imbauan bekerja dari rumah (Work From Home) oleh pemerintah, inisiatif forum-forum diskusi banyak bermunculan dan berseliwuran di lini masa media sosial maupun melalui WhatsApp Grup (WAG). Biasanya, forum dilakukan melalui platform Zoom.
Meskipun pembicaranya terdiri dari pelbagai latarbelakang, yang dibicarakan tetap sama; bagaimana berhadapan dengan pandemik sikap dan kebijakan apa yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia.
Zoom Saat Corona
Setelah tiga minggu lebih mengalami WFH, tema diskusi di Zoom saat masa corona ini semakin beragam. Baik itu tentang Islam, internet, ekspresi keagamaan, hingga pola pengasuhan anak di masa covid-19. Diskusi-diskusi tentu saja menarik untuk memperluas pengetahuan di tengah kondisi badan yang harus menetap di rumah.
Namun, semakin banyaknya diskusi-diskusi tersebut, memunculkan pertanyaan dalam benak saya, “Apakah tidak ada diskusi untuk sekadar tertawa atau ngobrol ngalor-ngidul?”.
Pertanyaan ini saya ajukan karena semakin mengarah kepada pembahasan yang sangat serius, padahal Indonesia sendiri sedang dalam masa krisis dan tidak baik-baik saja. Alih-alih memperkuat keyakinan kita terhadap pandemik ini, yang terjadi pembicaraan yang serius ini bisa menambah kekhawatiran di tengah bombardir informasi yang muncul di pesan telepon genggam kita.
Ujungnya tentu saja, bisa memperburuk imunitas yang harus kita jaga. Saya pribadi jarang mengikuti diskusi-diskusi tersebut. Jikalaupun mengikuti biasanya terlambat dan berada di tengah jalan. Saat mengikuti pun saya kerapkali tidak tuntas dalam mengikuti diskusi tersebut.
Jika akhirnya tuntas, saya biasanya menyelanya dengan aktivitas lain di rumah; membantu anak-anak mengerjakan tugas sekolah dan menyelesaikan aktivitas rumah tangga untuk membantu istri. Aktivitas tersebut tentu saja membantu saya memperkuat imunitas tubuh, meskipun menyimak diskusi tetaplah penting bagi saya.
Banyak Diskusi, Lupa Tertawa
Menurut saya, ada tiga hal mengapa diskusi-diskusi serius via Zoom saat pandemi corona semacam ini terus tumbuh di tengah pagebluk. Pertama, asumsi bahwa pandemik akan segera berakhir. Tidak sedikit yang berkeyakinan bahwasanya masa ini merupakan jangka pendek dan dunia akan kembali seperti sebelumnya. Memindahkan forum-forum diskusi dari offline menuju online, dengan demikian, adalah transisi pendek yang akan kembali seperti semula.
Padahal, menurut hasil riset terbaru yang diterbitkan oleh Jurnal Science, pandemik akan bertahan selama 2 tahun. Sampai tahun 2022, mau tidak mau, kita akan dipaksa untuk melakukan jaga jarak fisik, di mana bekerja dari rumah bukan perkara yang sebentar. Melainkan hal yang sangat fundamental dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang secara pahit harus kita terima (theguardian.com, 14 April 2020).
Kedua, kuatnya tradisi oral, tapi miskin kebijakan. Indonesia memiliki tradisi oral yang kuat dan senang berbicara ketimbang menulis. Kehadiran Zoom in memfasilitasi tradisi ini, memungkinkan orang untuk bertemu dan ngobrol terhadap satu tema. Meskipun harus diakui, sekencang-kencangnya ngobrol dan diskusi ya belum tentu didengarkan oleh pemegang kebijakan.
Ketiga, kehadiran wacana maskulinitas. Praktek maskulinitas ini tidak hanya urusan tubuh dan kebijakan, tetapi bisa dilihat dari pembicaraan publik yang diomongkan sehingga pembahasan diskusi dalam seminar-seminar di Zoom menjadi sangat serius. Akibatnya, perkara remeh-temeh tidak pernah menjadi bahan untuk diperbincangkan yang sebenarnya menjadi fondasi utama untuk membangun imunitas tubuh.
Belajar Hidup di Rumah
Perbincangan mengenai pengalaman orang dalam melakukan aktivitas apa yang mesti dilakukan ketika bosan selama WFH, misalnya, sangat diperlukan untuk mengetahui cara bertahan hidup di tengah situasi ini. Gosip mengenai Drama Korea (Drakor) terbaru dan yang sudah ditonton bisa menjadi berbincangan penting di tengah ketidakjelasan kapan berakhirnya situasi ini. Strategi orang yang hidup sendiri di rumah atau apartemen merupakan pengetahuan penting untuk orang lain untuk membunuh bosan dan rasa depresi.
Yang tidak kalah pentingnya juga adalah belajar dari pengalaman orang-orang untuk berdamai dengan istri/suami dan anggota keluarga lain yang berada di rumah. Ini karena, kehidupan urban menuntut orang lebih banyak di luar rumah ketimbang di rumah.
Saat harus WFH, ada banyak hal yang harus dinegosiasikan sebagai bagian dari proses adaptasi. Selama proses ini tidak sedikit yang mengalami konflik. Untuk mengatasi konflik inilah dibutuhkan cerita dan pengalaman dari orang lain yang berhadapan dengan situasi yang sama.
Dengan membicarakan hal yang remeh-temeh ini setidaknya bisa mencapai dua tujuan yang selama ini dibutuhkan: ruang tertawa dan kemampuan untuk survival. Saya sebut ruang tertawa karena kita membutuhkan tempat untuk bersosialiasi dan tertawa lepas dengan membicarakan hal yang garing dan receh. Secara personal, hal itu bisa dilakukan dengan menelepon teman dekat.
Namun, jika itu dilakukan secara kolektif melalui sebuah forum bisa menguatkan bahwasanya kita tidak mengalami itu sendirian. Pengalaman curhat orang lain dalam kehidupan sehari-hari yang abnormal di tengah situasi ini juga meningkatkan kemampuan orang bagaimana bisa bertahan hidup (survival).
Apalagi, menurut Zizek, cara bagaimana orang bercanda, tertawa, dan cara mereka melontarkan guyonan merupakan bahan diskursus yang penting bagaimana sebuah masyarakat itu dibentuk oleh modernitas akhir kapitalisme (Stuart Jeffries, 2011).
Dalam situasi ini, membaca masyarakat Indonesia dengan cara tertawa, guyonan, dan obrolan remah rengginang menyikapi pandemik adalah bagian fundamental yang membentuk tindakan keseharian mereka dalam merespon negara.
Editor: Nabhan