Jauh sebelum 1 Juni 1945, di era kolonial Belanda, terjadi sistem perbudakan dengan kerja paksa yang membekas dalam catatan sejarah maupun mental bangsa Indonesia. Tentu keadaan seperti itu tidaklah dibiarkan begitu saja, terjadi perlawanan dimana-mana mulai dari barat (Sumatera) sampai Timur (Papua). Keberadaan mereka mengisi ruang-ruang perjuangan mulai dari mengokang senjata dibarisan terdepan sampai penyumbang pemikiran besar untuk cita-cita kemerdekaan.
Awal-awal abad ke-20 lahir para pejuang yang kemudian hari menjadi pengisi garda terdepan dalam perjuangan akhir menuju kemerdekaan. Soekarno dan Hatta menjadi nama yang paling kita kenal sebagai pemimpin tertinggi Republik Indonesia; Soekarno sebagai Presiden dan hatta sebagai wakilnya. Bukan hanya dua orang itu saja, banyak nama lain yang patut menjadi memori ingatan kita sebagai pejuang.
Akhir-akhir ini dalam kemudahan mengakses informasi sesunguhnya membuat kita merasa terbantu, namun pada kenyataan kemudahan itu nampaknya tak dimanfaatkan dengan baik, seperti mengakses informasi-informasi mengenai sejarah.
1 Juni dan Pancasila
Pada permulaan September 1944 tersiarlah ucapan PM Koiso, yang menggantikan Tojo sebagai Perdana Menteri, bahwa Indonesia akan dimerdekakan “kelak kemudian hari”. Ucapan itu sangat menggembirakan, bisa dikatakan diseluruh Indonesia.
Sejalan dengan pengumuman Perdana Menteri Koiso itu, di jawa terdapat banyak perubahan. Lagu “Indonesia Raya” boleh dinyanyikan kembali. Bendera Merah Putih boleh dikibarkan bersamaan dengan Hino-maru.
Pada bulan Mei 1945 dibentuk suatu panitia dengan nama Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, diketuai oleh dr. Radjiman Wediodiningrat, yang diangkat oleh Gunseikan selaku pimpinan Jawa Hokokai. 29 Mei sidang panitia itu mulai dibuka oleh dr. Radjiman Wediodiningrat dengan pidato ringkas. Dalam pidato ditanyakannya, “Negara yang akan kita bentuk itu apa dasarnya?”
Raut muka antara bingung atau ragu menghiasi para anggota rapat hari itu. Berbagai spekualasi muncul dalam kepala tentang jawaban dari pertanyaan itu, berbagai kalangan lebih memilih diam karena khawatir pertanyaan itu akan membawa pertikaan filosofis yang akan mengambil waktu panjang. Ada yang mengemukakan, mana yang baik saja bagi Indonesia pada masa peralihan: demokrasi parlementer atau demokrasi presidensiil.
Keadaan semakin kalut dengan belum ditemukannya titik temu atas bentuk negara yang diharapkan mampu menaungi segala golongan. Pertentangan terjadi antara golongan yang mengemukaakan negara Islam dan golongan yang mempertahankan negara bebas dari pengaruh agama.
Di tengah perdebatan yang tak kunjung menemui titik terang, disambut dengan tepuk tangan riuh setelah pidato disampaikan oleh Soekarno. Hanya Soekarno yang menjawab pertanyaan ketua dr. Radjiman Wediodiningrat. Pada hari ke-empat 1 juni 1945, ia berpidato panjang-lebar yang lamanya kira-kira 1 jam yang berpokok Panca Sila, lima dasar.
“Menurut soekarno, kelima kelima sila itu urutannya ialah; Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sebelum sidang berakhir hari itu, Radjiman Wediodiningrat mengangkat suatu panitia kecil (Panitia Sembilan) untuk merumuskan pokok-pokok pidato Soekarno. Yang kemudian hasilnya; Pancasila seperti yang kita kenal saat ini.
Ketegangan dan Penculikan
Ketegangan terjadi antara golongan muda dengan Soekarno selaku Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, golongan pemuda menginginkan Proklamasi Kemerdekaan segera dilakukan karena jepang dikabarkan telah takluk oleh sekutu. Namun Bung Karno tetap kekeh mempertahankan pendapat bahwa Jepang sudah mengambil keputusan untuk memerdekaan Indonesia dan besok 16 Agustus 1945 PPKI dan Jepang akan bersidang.
Para pemuda memandang semua itu tidak perlu, “Karena akan menggambarkan Indonesia merdeka buatan Jepang”. Ketegangan semakin menjadi, Wikana mengatakan, “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan malam mini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah.”
Mendengar ancaman itu, Soekarno naik darah, menuju ke Wikana sambil menunjuk lehernya dan berkata, “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, tak usah menunggu besok”.
Wikana terperanjat melihat sambutan Soekarno yang tidak disangkanya. Dan menjelaskan maksudnya, “Bukan membunuh Bung, tapi membunuh orang-orang yang dicurigai”. Penculikan, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok, penculikan ini dilakukan agar rapat PPKI dengan Jepang membahas tentang kemerdekaan tidak terjadi.
Perundingan terjadi, dengan tujuan supaya rapat bisa dilakukan malam itu, karena paginya Bung Karno dan Bung Hata masih di Rengasdengklok dalam pengasingan. Menanggapi hal itu, Mayor Jenderal Nishimura menjawab, sekarang sudah lain keadaannya. “Kalau tadi pagi bisa dilangsungkan, mulai pukul 13.00 tadi siang, sejak kami tentara Jepang di Jawa menerima perintah dari atasan tidak boleh lagi mengubah status quo”. Artinya Jepang tidak dapat lagi menolong apa yang telah dijanjikan Jepang tentang kemerdekaan.
Proklamasi Kemerdekaan
Sayup angin berhembus, kembang-katup jendela. Malam itu semangat menyala-nyala, Proklamasi Kemerdekaan sudah di depan mata. Rapat dilaksanakan larut malam sampai pukul tiga pagi dan teks Proklamasi telah ditulis oleh Bung Karno melalui kalimat yang disusun lisan Hatta. Awalnya Hatta dipilih bung Karno untuk menulisnya karena dipercaya memiliki kalimat yang paling baik, namun Hatta menjawab, “Kenapa tidak anda saja yang menulis saya medektekan”.
Waktu itu bulan puasa. Mantari pagi cerah menerangi bumi, pelbagai kalangan mulai dari pemuda sampai yang tua berkumpul disatu titik, Pegangsaan Timur No. 56. Tepat pukul 10.00 pagi teks suci yang menyimpan secerca harapan Dibacakan Bung Karno.
“Proklamasi; kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Jakarta, 17 Agustus 1954. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.
Pengibaran sang saka Merah Putih dengan lantunan lagu Indonesia Raya menyusul kegembiraan berakhirnya penjajahan Jepang. Kabar baik dalam bulan baik itu menjadi titik akhir penjajahan dan titik awal perjuangan pasca kemerdekaan.
Selayaknya sebagai anak bangsa, sejarah tidaklah boleh kita lupakan walau sekecil apapun, selain sebagai pelajaran juga sebagai cara pandang menatap masa depan kemajuan. Catatan kecil ini hanya mengulas sedikit dari sejarah.
Momentum 1 Juni ini, sebagai hari lahirnya Pancasila; sebagai sebuah pemikiran besar yang dihasilkan oleh buah pikiran bapak bangsa. Menjadi keharusan untuk kita mendalami dan mengamalkannya baik dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai cara pandang negara Indonesia.
Editor: Nabhan