Falsafah

Apakah Kecerdasan Menjamin Kualitas Keagamaan?

3 Mins read

Oleh: KH. Mas Mansur

Zaman berputar masa beredar. Tingkatan penghidupan manusia sudah mulai naik ke puncak menara kemajuan. Dari jauh kita lihat, dari dekat lebih lagi tampaknya di kelopak mata kita akan beberapa model perhiasan dan santapan jasmani yang modern, baikpun yang datangnya dari Barat ataupun yang datangnya dari Timur. Semua itu tak lain dari bekas tangan dan kepandaian manusia jua, pemberian dari Allah SWT.

Memang manusia ini suatu makhluk yang pandai, berlainan dari makhluk yang lain, berbeda di atas segala-galanya karena terbawa oleh kecerdasan otaknya yang senantiasa diasah dengan pelbagai ragam ilmu pengetahuan. Segenap dunia telah sama mengakui bahwa zaman ini adalah zaman kemajuan, zaman naiknya peil (Belanda: level—ed.) kemajuan manusia, atau sebagai kata orang kini: zaman modern.

Memang kita pun mengakui juga, ya mau tak mau mesti terpaksa tunduk, mengaku terus terang bahasa sebenarnya zaman ini adalah zaman kemajuan.

Kecerdasan dan Kemajuan Agama

Tetapi di samping pengakuan yang kita ucapkan itu masih ada terselip di hati sanubari kita suatu pertanyaan yang terpaksa kita lahirkan, ialah: “apakah kepandaian manusia yang menakjubkan itu dapat menjadi ukuran untuk menetapkan bahwa mereka juga turut tergolong dalam kalangan umat yang sopan dan berkemajuan ditentang agamanya? Apakah ketinggian kecerdasan otak manusia itu dapat dijadikan bukti bagi menciptakan suatu masyarakat yang hidup dan penuh keadilan?”

Belum tentu. Sukar hati akan memastikan, ya, memang sukar tidak mudah. Kita tidak dapat memastikan hal itu bilamana belum menampakkan bukti, bilamana di hadapan kita belum terbentang suatu feiten (Belanda: fakta—ed.) yang menggambarkan hal itu. Apalagi setelah kita saksikan sendiri setiap hari dan petang, kita tilik dengan kacamata penyelidikan yang teliti, bagaimanakah kemunduran, kemerosotan, dan terjepit keadaan agama Islam dewasa ini, bertambah lagi hati kita merasa segan akan mengakuinya, ya tak berani kita menetapkan bahwa ketinggian kecerdasan manusia itu tidak bisa dijadikan bukti atas ketinggian kemajuan agama yang dipeluknya itu.

Baca Juga  Wahdat al-Adyan: Gagasan Sufi atau Pemikiran Barat?

Di dalam kita memperkatakan hal ini, tentu agaknya ada salah suatu pihak yang berkata: “Tuan tidak usah memperingati kita supaya kembali kepada wet (Belanda: hukum—ed) alam dan rujuk kepada tuntunan agama. Kita toh cukup maklum. Kita sudah beberapa tahun memeluk sesuatu agama, pengalaman kita tentang agama cukup menjadi garansi bagi kita guna memperbedakan sesuatu hal yang berkenaan dengan masyarakat dan kemaslahatan umatnya. Sudah sekian lama kita bertekun di hadapan mihrab berdoa dan mengharapkan kepada Allah agar mendapat keselamatan. Bila telah datang waktu sembahyang kita pun pergi ke masjid, dan bila telah tiba bulan Ramadhan, kita pun berpuasa pula. Pendeknya, tentang itu jangan tuan memperingati kita lagi. Kita cukup paham.

Tetapi tuan jangan merasa kecewa. Tuan jangan merasa heran, kalau kita katakan kepada tuan, bahasa saya sudah murtad dari agama yang saya peluk itu (Islam), walaupun sudah beberapa tahun saya mengerjakan undang-undangnya, tetapi oleh karena ada suatu hal yang mendorong kita, maka kita pun murtadlah dari agama itu. Kita tidak akan masuk lagi ke dalam kungkungannya, kita sudah kapok. Kita senang tiada beragama saja, kita senang netral, zonder (Belanda: tanpa—ed.) agama. Karena kalau saya langsung memeluk agama Islam itu, saya tak ubahnya laksana seorang yang bekerja zonder gaji, tunduk tengkuk saja setiap hari dan petang, tetapi tidak mendapat keuntungan bagi peri kehidupan saya di atas dunia sebagai kata pepatah: Disangka bahaya akan datang kiranya berakhir menggigit jari.

Bertambah lagi keras hati saya meninggalkan agama tadi ialah tatkala saya melihat kepada keadaan pemeluknya yang bernasib hina, miskin, dan papa. Suka bercekcokan satu dengan yang lainnya. Cobalah lihat kepada ulama-ulama Islam dan menganut Islam itu. Mereka senantiasa hidup bermusuh-musuhan. Partai yang satu bercekcok dengan partai yang satu lagi, sehingga hidup mereka tak karuan ujung pangkalnya. Padahal, mereka mengaku sendiri bahwa agama mereka adalah agama tauhid, agama persatuan, tetapi kenapakah mereka demikian rupa hidup bernafsi-nafsi? Maka dari itu, saya tak mau lagi masuk ke dalamnya, saya sudah kapok…

Baca Juga  Benarkah Al-Ghazali adalah Sosok di Balik Kemunduran Sains Islam?

Dakwaan yang Salah

Dari bayangan yang kita gambarkan di atas ini dapatlah kita mengambil kesimpulannya, dapatlah kita memastikan apakah sebabnya, maka mereka berkata demikian dan apakah sebab yang mendorong me­reka undur dan murtad dari agama yang dipeluknya itu. Dari kandungan kalimat yang kita cantumkan di atas ini pula agaknya para pembaca telah maklum. Bahasa yang menjadi sebabnya maka mereka undur dari agamanya itu ialah karena mereka memilih dan mengukur dengan keadaan pemeluknya, mereka tidak melihat dari sudut yang sebenarnya, jalan mata air agama itu sendiri.

Oleh karenanya, lalu mereka berani membusungkan dadanya dengan melagak mengatakan: “Agama Islam itu agama yang salah. Agama yang menghalang kemajuan. Agama yang tidak mengindahkan kepada sunnah alam, agama yang menganjurkan kepada pemeluknya agar benci dunia, terbukti dengan keadaan mereka yang hidup sebagai hewan, melarat, dan bernasib hina, hidup bernafsi-nafsi, maka begitu pula keadaan agama yang dipeluknya itu turut terseret ke lembah kehinaan sebagai nasib yang ditanggung oleh pemeluknya. Menjadi agama yang hina karena sebab timbulnya keadaan itu tak lain karena terbawa dari tuntunan agamanya.”

Tetapi, dapatkah kita membenarkan dakwaan yang demikian? Apakah benar bahwa ukuran kebenaran sesuatu itu terikat dari keadaan pemeluknya?

Tidak, sekali lagi tidak. Dakwaan yang demikian itu salah. Itu dakwaan kita tidak sanggup membuatnya sebagai pedoman guna memastikan benar dan tidaknya sesuatu agama. Itu dakwaan sesat. Dan memangnya sesat. (Bersambung)

Disusun oleh A.M. Ampanany

Sumber: Adil, nomor 40 VIII/6 Juli 1940 dengan penyuntingan

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds