Mestinya setiap anggota, apalagi pengurus, apalagi pimpinan, apalagi ulama di Persyarikatan yang masih mengkonsumsi barang yang sudah difatwa haram itu direhabilitasi, diisolasi dari jama’ah, dibebastugaskan atau dipecat dari keanggotaan, dan dilorot dari jabatan. Apa bedanya menghisap rokok dengan menenggak miras?
Saatnya membersihkan para perokok dari tubuh Persyarikatan sebelum membersihkan yang lain. Agar fatwa haram atas rokok tak menjadi bahan olok atau lelucon.
Setelah Membuat Fatwa
Sayang, yang terjadi malah sebaliknya. Para pembuat fatwa malah ‘tidur’ usai bikin fatwa haram atas rokok. Ini seakan pekerjaan selesai dan membebankan pada yang lainnya. Kemudian membebaskan para petani menaman tembakau dan cengkeh. Pabrik rokok dibiarkan tumbuh pesat. Iklan bebas ditayang tanpa filter dan ikhtiar untuk mengendalikan, apalagi mencegah para perokok dan kroninya bertumbuh, tidak dilakukan sama sekali. Ironis saya bilang.
Tegas saya nyatakan: setelah fatwa haram atas (me)rokok, maka membiarkan pabrik rokok tetap memproduksi rokok secara besar-besaran, tembakau ditanam, cengkeh dipanen, iklan rokok ditayang, adalah ‘dosa besar’. Bagaimana mungkin sesuatu yang sudah difatwa haram kemudian dibiarkan berkembang tanpa kendali? Fatwa haram macam apa ini?
Kita abaikan sejenak perang dagang antara rokok putih dan kretek dan segala macamnya. Kita kembali ke hukum asal. Jika sesuatu sudah difatwa haram, lantas apa yang harus kita lakukan sebagai Muslim beriman?
Mengapa Diskriminatif?
Mestinya, setiap anggota, apalagi pengurus, apalagi pimpinan, apalagi ulama di Persyarikatan yang masih mengkonsumsi barang yang sudah difatwa haram itu direhabilitasi, diisolasi, dibebastugaskan atau dipecat dari keanggotaan, dan dilorot dari jabatan.
Setiap fatwa hukum mengandung konsekuensi logis, bukan sekedar bahan bincang atau discourse, tapi menjadi tanggung jawab nahi munkar. Baik aqidah maupun fikih. Dan itu harus dimulai dari diri sendiri. Saatnya ‘membersihkan’ para perokok dari tubuh Persyarikatan sebelum membersihkan yang lain.
Agar Persyarikatan menjadi teladan—agar tidak hanya disebut omong doang—maka sudah seharusnya membentuk tim siber atau screening terhadap kawanan atau kerumunan penghisap barang haram itu dan segera mendapat proses hukum tetap: direhabilitasi atau dipecat. Sedapat mungkin tidak melakukan tebang pilih terhadap para pelaku atau penikmat barang haram itu—kenapa hanya tegas terhadap penenggak miras dan lunak kepada penghisap tembakau?
Bukankah keduanya jelas haram? Lantas, mengapa diskriminatif?
Editor: Nabhan