Dalam catatan perjalanan hidup Nabi SAW terdapat sebuah kisah menarik yang menjadi asbabun-nuzul Surat Abasa. Kisah ini relevan dijadikan sebagai bahan refleksi bersama berkaitan dengan kasus perundungan yang terjadi di sebuah sekolah swasta di Jawa Tengah. Apalagi, korban diketahui perempuan dengan status berkebutuhan khusus.
Kisah Abdullah bin Ummi Maktum
Pada suatu ketika, Nabi SAW sedang berdakwah kepada para bangsawan Quraisy supaya mereka memeluk ajaran Islam. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, datanglah seorang hamba tunanetra (difabel) bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Karena Nabi saw sedang menjaga prestise di hadapan para bangsawan Quraisy, maka beliau bersikap acuh tak acuh kepada Abdullah bin Ummi Maktum.
Pada saat itulah, Tuhan menegur nabi-Nya (Qs. Abasa: 1-5). Tuhan langsung menegur Nabi-Nya ketika bersikap acuh tak acuh melihat kedatangan seorang hamba tunanetra. Lewat perintah ini, Tuhan menegaskan bahwa mengabaikan, menyinggung, bahkan sampai menghina dan mencaci-maki kaum difabel sangat dilarang (dosa).
Dalam pengandaian penulis, seandainya Nabi SAW tetap “bermuka masam” (‘abasa) dan “acuh” (tawalla) melihat kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum, tentu tidak akan menyakiti perasaannya, karena dia seorang tunanetra. Akan tetapi, Tuhan jauh lebih memahami dan menghargai kondisi hamba-Nya yang tunanetra. Jelas tidak etis bagi seorang Nabi SAW bersikap demikian. Apalagi jika sampai Abdullah bin Ummi Maktum tahu kalau sang Nabi yang dia datangi bersikap acuh tak acuh. Tentu sikap Nabi SAW yang demikian akan menyakiti perasaannya (psikologis).
Atas dasar inilah, penulis menyadari bahwa keberadaan kaum difabel, bagaimanapun bentuk dan kemampuannya, tetap harus dihormati dan tidak boleh diabaikan. Bagaimanapun kondisi seseorang adalah suatu kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan untuk menjalaninya. Lewat kisah asbabun-nuzul surat Abasa ayat 1-5 ini, tersirat bahwa kondisi batin seorang difabel harus dihormati. Jangan sampai menindas mereka dengan sikap dan perlakuan yang dapat menyinggung perasaan, apalagi sampai melukai secara fisik. Tuhan pasti akan melaknat perbuatan yang demikian.
Problem Difabel
Siapakah sebenarnya kaum difabel? Merujuk kamus Longman Advance American Dictionary (2000), pengertian different ability people (difabel) dirumuskan sebagai sebuah kondisi fisik dan mental yang dapat membuat seseorang kesulitan dalam mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah.
Sesungguhnya, problem yang dihadapi kaum difabel bukan hanya pada akses pelayanan publik, tetapi masalah stigmatisasi yang tidak layak. Karena dianggap sebagai manusia ”tidak normal”, dalam beberapa kasus, mereka justru dihina, dilecehkan, bahkan disakiti seperti dalam kasus perundungan di sebuah sekolah di Jawa Tengah.
Memang kita tidak dapat menutup mata terhadap fenomena yang satu ini. Sampai saat ini, keberadaan kaum difabel masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Di mata masyarakat umum, kaum difabel masih dianggap sebagai representasi manusia yang “tak sempurna.” Padahal, lewat kisah Abdullah bin Ummi Maktum, sikap mengabaikan atau acuh tak acuh, apalagi sampai menghina sangat dilarang dalam ajaran Islam. Sebab, mengabaikan atau menghina difabel sama artinya sedang mengabaikan atau menghina Sang Penciptanya. Kisah Abdullah bin Ummi Maktum menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua dalam menyikapi keberadaan kaum difabel.
Editor: Yahya FR