Perspektif

Obralisasi Pendidikan: Trend Pemberian Gelar Secara”Cuma-cuma”

3 Mins read

Kata “obralisasi” sekira anda buka kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) sampai mata anda minus rambut beruban pun tak akan ditemukan, sama halnya sekira kita cari kata “nyinyires” (pakai akhiran ‘es’), mirip dengan bahasa inggris untuk menunjukkan jamak.

Silakan saja menafsirkan “obralisasi” dan “nyinyires” tersebut sebagai satire, bahkan lebih dari itu pun sah-sah saja, memang saya tulis sebagai koreksi terhadap buruknya realitas pendidikan negeri kita tercinta, baik dari sisi content maupun metodologi, sistem maupun struktur, hingga relasi subjek-objek pendidikan.

Memang permasalahan pendidikan tak akan pernah berakhir sejalan dengan bertambahnya penduduk bumi, tugas kita adalah berusaha memberikan pendidikan terbaik sebagai wujud ketundukan dan kepatuhan kepada Tuhan agar lekas Tuhan balas dengan keberkahan, kemaslahatan, dan kebahagiaan. Harkat dan martabat bangsa bisa dilihat dari kemajuan pendidikannya.

Perjuangan Mahasiswa Dhuafa

Hampir 75 tahun negeri Indonesia merdeka, disitu ada andil kita semua, mulai dari pejuang pra kemerdekaan sampai dengan pejuang pasca kemerdekaan, kita salah satunya. Kualitas pendidikan kita semakin hari semakin bertaji, bertuah, dan bermarwah.

Anak bangsa di kota dan di desa dapat menikmati pendidikan dengan seksama, kesempatan mengenyam pendidikan tinggi semakin terbuka lebar. Infrastruktur, ruang publik, dan digitalisasi informasi (digital information) memudahkan kita mengakses segala yang kita butuhkan demi mewujudkan impian.

Tak jarang kita dengar dan saksikan kisah-kisah heroik di surat kabar atau media tentang perjuangan mahasiswa dhuafa demi menyelesaikan pendidikan tingginya. Ada pula orang tua yang banting tulang demi mobilitas vertikal di masa depan. Saya salah satunya, kaum dhuafa yang berjuang dan berkorban untuk mendapatkan beasiswa demi menyelesaikan studi di kampus negeri.  

Mengapa demikian? Saya berkeyakinan bahwa menjadi bagian dari kaum terdidik adalah jalan terbaik menuju kesuksesan, semuanya perlu perjuangan, pengorbanan, perlu kerja keras, kerja cerdas, perlu doa, sebab Tuhan tak akan membiarkan hambanya pulang dengan tangan kosong setelah ia berazam, berikhtiar, dan berdoa sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. Optimisme bahwa Tuhan kelak mengabulkan doa kita.

Baca Juga  KPK Dilemahkan dan Upaya Cegah Korupsi Sejak Dini

Pemberian Gelar Secara Cuma-cuma

Tapi, optimisme itu seolah pudar seiring dengan panennya pemberian gelar doktor kehormatan atau Doktor Honoris Causa (Dr. H.C.) beberapa tahun terakhir ini, uniknya rerata diberikan kepada pejabat, birokrat, pengusaha, dan politisi yang terkadang prestasi, signifikansi dan kontribusi keilmuan, dan sebagainya terbilang biasa saja.

Padahal kita tahu bahwa tak sembarang orang bisa meraih gelar akademik itu, pemberian gelar tersebut sangatlah agung, ia hanya akan diberikan kepada seseorang yang telah dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuanan demi kemaslahatan bersama.

Dengan tidak bermaksud merendahkan (underestimate) politisi, pejabat, pengusaha yang diberi gelar doctor honoris causa, publik pun bertanya, mengapa mereka yang notabene kaum berdasi, berharta, dan bertahta itu seolah mendapatkan kemudahan dalam meraih gelar kehormatan yang sakral di masanya itu?

Padahal banyak orang yang kontribusinya jauh lebih besar bagi bangsa ini dan lebih layak mendapatkannya? Apakah karena mereka bukan orang atau tokoh nasional yang tak begitu dikenal publik? Saya sepakat dengan Mbah Sudjiwo Tedjo tentang perlunya pemberian gelar doktor honoris causa kepada marbot masjid. Sebab mereka bekerja tanpa pamrih, tanpa gaji, tanpa tunjangan, yang mereka hanyalah keikhlasan.

Artinya, parameter keberhasilan apa yang digunakan dalam menilai sesuatu yang sudah pada pakemnya itu? Mengingat memang sudah semestinya politisi atau pejabat yang diberikan amanah/kuasa oleh konstitusi dengan menggunakan uang negara bekerja sungguh-sungguh itu memberikan ketenangan, keselamatan, kebahagian, keamanan, kedamaian, kerukunan, dan sebagainya terhadap masyarakat.

Negara (baca; Pejabat) tidak boleh kalah oleh siapa pun, ia memiliki semua instrumen yang bisa dipakai untuk mewujudkan impiannya, ia tak boleh kalah oleh rakyatnya yang tak punya kuasa, tak punya tahta, bahkan tak punya harta tapi mampu menjadi spiral of silent bagi masyarakat di sekitarnya. 

Baca Juga  Logika Pendidikan dan Kasus Menutup Sekolah

Banyak pihak yang berspekulasi bahwa kaum terdidik itu telah berpolitik demi imbalan tertentu, adanya intimidasi dari kekuatan politik terhadap kampus demi kepentingan tertentu, dan aneka tuduhan lainnya.

Jangan Sampai Obral Gelar Masuk dalam Sistem Pendidikan

Adalah wajar mereka mempertanyakan demikian, sebab kampus adalah mimbar akademik yang sangat menjunjung tinggi independensi, ia tak boleh tunduk oleh kekuatan apa pun, terlebih kuasa politik yang tak pernah abadi.

Tentu kita tak menginginkannya, tapi potensi itu ada, dan keberadaannya mengindikasikan bahwa kampus sebagai mimbar akademik tertinggi telah teraleniasi oleh kekuasaan.

Saya tak begitu paham, apakah ada institusi khusus yang bertugas dan bertanggung jawab mengawasi (trend) pemberian gelar tersebut. Sekira diperlukan, ke depannya perlu perhatian serius mengenai kelayakan seseorang meraih gelar doktor honoris causa. Jangan sampai masyarakat beranggapan bahwa untuk meraih gelar doktor, tak perlu susah-susah studi, riset, belajar serius, dan sebagainya, cukup menjadi pejabat saja, kelak banyak kampus yang akan menawarkan diri mengejar gelar honoris causa. Bagi yang bergelar doktor, saya yakin merasakan betul kesulitan demi kesulitan itu.

 Lazimnya, penerima gelar doktor honoris causa memang memenuhi kelayakan meraihnya, sebab publik sadar bahwa kontribusi mereka sangatlah signifikan, tapi ketika publik sanksi, membully, dan “nyinyires”, maka perlu kiranya dipertimbangkan kembali. Sebab, jika itu berulang dan tak ada usaha (perbaikan) ke arah itu, bukan tak mungkin “obralisasi” atau bahkan “nyinyires” kelak masuk dalam nomenklatur pendidikan kita.

Wallahu a’lam bi al-Shawwab

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds