Perspektif

Jawaban Hamka tentang Siapa Musuh Pancasila

4 Mins read

Beberapa waktu belakangan, publik kembali mendapat kejutan. Kejutan itu lahir dari mulut Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi PhD. Sepanjang saya mengikuti, ada dua pernyataan yang kemudian dikutip banyak media massa dan berbuah kontoversi di tengah-tengah percakapan public kita. Pertama adalah pernyataannya terkait “agama sebagai musuh terbesar Pancasila” dan yang kedua adalah “mengganti assalamualaikum dengan salam Pancasila”.

Perkara kontroversial yang pertama sudah beberapa kali Prof Yudian klarifikasi. Misalnya, dalam Dialog Jumat Republika edisi 21 Februari 2020 dalam kolom wawancara. Dalam keterangannya, Yudian kembali menegaskan bahwa sebetulnya yang dia maksud “agama” dalam pernyataan itu adalah kelompok orang atau oknum yang mengatasnamakan agama, dalam hal ini Islam, yang mencoba mempertentangkan ajaran agama dengan Pancasila. Sekali lagi “oknum” agama.

Dalam wawancara tersebut Yudian sendiri mengaku bahwa poin-poin Pancasila terdapat dalam ajaran agama-agama resmi yang ada di Indonesia, termasuk Islam. “Hubungan Pancasila dengan agama itu harus dikelola dengan baik, sehingga rahmat Negara sebesar ini jangan menjadi laknat,” ujarnya ketika memberikan pandangannya perihal hubungan Pancasila dengan agama.

***

Pernyataan kontoversial kedua perihal “salam Pancasila” itu berasal dari kutipan wawancara Prof Yudian dalam unggahan video Detik.com, “Blak-blakan Kepala BPIP Jihad Pertahankan NKRI”. Video itu diunggah pada 12 Februari 2020 oleh Detik.com di kanal Youtube-nya. Pada menit ke 29.00 video tersebut, ketika host-nya menanyakan tentang salam, Prof Yudian pun menjabarkan dan memberikan contoh.

Sampai muncul ungkapan, “Di dalam public service, cukup dengan kesepakatan nasional. Misalnya, salam Pancasila, umpama,” katanya. Ungkapan ini yang dikutip banyak media dengan judul kontoversial yang seolah-olah ini menjadi usulan kelembagaan. Tim CekFakta Tempo, menyimpulkan pemberitaan “mengganti assalamualaikum dengan salam Pancasila” sebagai klaim yang menyesatkan. (Untuk lebih lengkap silakan tonton kanal Youtube Detik.com sebagai sumber awal informasi tersebut).

Baca Juga  Libur Dua Hari karena Berbeda Idul Adha: Wujud Moderasi Beragama

Bagaimanapun, pernyataan kontroversial ini telah membawa kita yang sebelumnya tidak tahu dan tidak pula kenal menjadi lebih tahu siapa itu Prof Yudian Wahyudi yang menggantikan Yudi Latief sebagai kepala BPIP.

Sudahlah, terlepas dari kedua pernyataan Kepala BPIP yang kontroversial tersebut, ada baiknya kita menyimak bagaimana pandangan Buya Hamka terkait Pancasila dan agama. Lebih-lebih, pandangannya tentang siapa sebenarnya musuh Pancasila itu, sehingga kita hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian dan kekhawatiran seperti sekarang ini.

Agama Bukan Musuh Pancasila

Dalam gelaran shalat Idul Fitri tahun 1968 yang digelar di Istana Negara, Buya Hamka menjabarkan sebuah ceramah kebangsaan yang hampir mirip dengan perdebatan publik kita beberapa waktu belakangan. Dalam Dari Hati ke Hati (Pustaka Panjimas 2002), khutbah Idul Fitri itu diberi judul “Pancasila akan Hampa Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam ceramah yang cukup panjang itu, Buya Hamka menyebutkan, “La ilaha ilallah, wahdahu; tidak ada Tuhan melainkan Allah, Dia Esa berdiri sendiri. Shadaqa wa’dahu; Yang benar segala janjinya. Wa nashara ‘abdahu; Dia-lah yang membela hambanya. Wa a’aza wahdahu; Dan Dia-lah yang memorak-porandakan partai-partai penentang-Nya sendirian.”

Sebagai saya katakan tadi, ungkap Buya Hamka, kalimat ini telah tumbuh dalam jiwa kita sebagai pusaka dari nenek moyang kita, sejak Islam masuk kemari dengan jalan damai, telah mengendap dalam jiwa kita. Ungkapan Buya Hamka ini mengungkapkan asal mula sila pertama.

Buya Hamka melanjutkan, “Oleh sebab itu, tidaklah kita heran seketika pemimpin-pemimpin kita menyusun dasar filsafat dari Negara kita ini, pusaka jiwa turun-trmueun inilah yang kita jadikan dasar pertama. Itulah Ketuhanan Yang Maha Esa.” Betul sekali, Ketuhanan Yang Maha Esa itulah perwujudan dari nilai tauhid dalam agama Islam.

Baca Juga  Membela Islam Artinya Membela Kemanusiaan

Di sini, ulama dan sastrawan bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu menekankan bahwa sejatinya ajaran dan nilai-nilai agamalah yang telah memberi jiwa pada dasar Negara Pancasila. Pandangan Buya Hamka ini sama dengan pandangan Moh Hatta yang menyebutkan bahwa sila pertama sebagai dasar yang menjiwai sila-sila berikutnya. “Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pokok pangkal dari keempat sila berikutnya, Allahu Akbar!” sebutnya, yang dalam bayangan saya tervisualisasi Buya Hamka tengah mengacungkan tangannya yang mengepal.

Namun, menjadi catatan Buya Hamka adalah ketika ada pihak-pihak yang menggunakan Pancasila sebagai pemanis ucapan saat orasi dan kampanye. Buya mengingatkan agar Pancasila menjadi jiwa bagi setiap insan Indonesia dalam bertindak, tidak hanya dalam kata. Hal senada seperti yang kerap diungkapkan Buya Ahmad Syafii Maarif ketika berbicara tentang Pancasila. “Dan janganlah Pancasila itu hanya jadi buah mulut, melainkan jadikanlah dia buah hati,” pesan Hamka kepada jamaah.

Buya Hamka juga berpandangan bahwa apabila setiap Muslim mampu mengamalkan ajaran agamanya dengan baik, secara otomatis juga tengah mengamalkan Pancasila. Hal ini tergambar dalam doanya di pengujung khutbahnya: “Saya ingin menambahkannya dengan doa; Jadilah kita semua umat Muslimin ini taat beragama, dengan ketaatan beragama, dengan sendirinya Pancasila terjamuin keselamatannya. Dan orang yang mengaku dirinya Pancasila sejati, padahal tidak terang apa agama yang dipeluknya, sungguh tidaklah akan dapat mengamalkan dan mengamankan Pancasila.”

Jadi, bukan agama yang menjadi musuh Pancasila, melainkan agamalah yang menjiwai dan menghidupkan Pancasila.

Siapakah Musuh Pancasila?

Pertanyaan yang kemudian bergelayut di kepala kita adalah, apakah Pancasila punya musuh? Jika iya, siapa sebenarnya musuh Pancasila? Jika agama, agama mana yang menjadi musuh Pancasila? Dan sederet pertanyaan yang mungkin saja muncul.

Baca Juga  Kemerdekaan Mengelola Perguruan Tinggi

Terkait pertanyaan ini, Buya Hamka memberikan gambaran ketika ada tokoh Orde Lama yang mengaku sangat Pancasilais, tapi kemudian menjadi pengkhianat dan penjahat yang merugikan rakyat dan bangsa. Dialah Dr Soebandrio dan Yusuf Muda Dalam. “Kita namai orang-orang ini Pancasilais munafik,” kata Hamka.

Apa yang membuat mereka yang mengaku Pancasilais dicap munafik? Di antaranya adalah beda antara apa yang diucapkan dan apa yang dikerjakan. Lain di mulut lain di hati, lain lagi di tindakan. Ya, Pancasila itu telah dikhianati dalam tataran perbuatan. “Menyebut Pancasila, padahal tidak lain daripada pencak silat. Merekalah yang sebenarnya menghancurleburkan Pancasila dalam tingkah laku, dalam tindak tanduk, di dalam sepak terjang hidup sepanjang hari, dengan memakai kekuasaan yang ada dalam tangan mereka,” kata Buya Hamka.

Kelima sila itu, Buya melanjutkan, dilanggar satu demi satu dengan tidak mengenal lagi hari esok, karena masing-masing percaya bahwa mereka akan berkuasa buat selamanya. Jika kita memahami pernyataan Hamka ini, bisa dikatakan Pancasilais munafik inilah yang sebenarnya menjadi musuh bagi Pancasila. Sebab, mereka yang munafik ini bisa dengan mudah bicara Pancasila dan mendaku merasa paling Pancasilais, bahkan sambil menuduh orang lain anti-Pancasila. Namun, dalam tindak dan perbuatannya tidak mampu mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

***

Sampai di titik ini, saya beranggapan bahwa kehadiran BPIP sejatinya bukanlah untuk menjadi lembaga resmi negara yang mencoba memerangi kelompok yang ‘dianggap’ anti-Pancasila dengan cara yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila; misalnya mempertentangkan agama dan Pancasila itu sendiri. Maka, BPIP harus hadir menjadi wadah dialogis yang bisa mempertemukan ajaran dan keyakinan pemeluk agama-agama dengan semangat Pancasila. Jikapun mesti demikian, bagaimana BPIP harus mampu jua memerangi dan memberantas kaum Pancasilais munafik, sehingga bangsa kita terbebas dari rongrongan oknum jahat.

Lebih mendasar lagi, BPIP sendiri dengan segenap jajaran di dalamnya mesti mampu memberikan contoh konkret perihal bagaimana menerapkan Pancasila itu sendiri. Bagaimana bisa menempatkan spirit ajaran agama dan Pancasila dalam satu tarikan napas kebangsaan. Ini pekerjaan rumah yang mesti segera dikumpulkan.

5 posts

About author
Sekretaris DPP IMM 2018-2021 & Penulis Buku IMM Autentik
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds