Perspektif

Di Balik “Musuh Terbesar Pancasila itu Agama”

3 Mins read

Kurang lebih seminggu yang lalu publik dikejutkan sebuah pernyataan kontroversial oleh Kepala Badan Pengkajian Ideologi Pancasila (BPIP), yakni Profesor Yudian Wahyudi, yang mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila itu agama. Pernyataan tersebut sontak menimbulkan pergejolakan di masyarakat.

Tidak sedikit golongan masyarakat mulai dari akademisi, tokoh masyarakat, pemuka agama, hingga pejabat elit sekalipun, yang menyayangkan bahkan mengecam keras pernyataan yang dilontarkan oleh Kepala BPIP tersebut terlepas dalam berbagai kesempatan juga telah diluruskan atas maksud dari pernyataan tersebut.

Jika kita menyimak secara menyeluruh video wawancara yang ditayangkan oleh detik.com, maka sebenarnya pernyataan yang diucapkan oleh Kepala BPIP tersebut bukanlah hal yang dangkal. Ada berbagai konteks dan rasionalisasi yang coba dibangun dalam perspektif sejarah, dinamika sosial-politik, serta perkembangan sosial-kultural, yang dijelaskan secara runtut dan sedikit menggebu dalam wawancara tersebut.

Artinya, ada semacam keterkaitan dari sebuah pernyataan Kepala BPIP pada suatu fenomena sosial yang sedang berlangsung akhir-akhir ini. Namun yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah, mengapa kalimat “musuh terbesar Pancasila itu agama” yang digunakan oleh Kepala BPIP? Dalam kesempatan ini, saya mencoba mengkaji pernyaatan tersebut dengan menggunkan tinjauan Critical Discourses Analysis (CDA) atau biasa disebut dengan Analisis Wacana Kritis. 

Tinjauan CDA

Sebelum membahas apa itu CDA, maka kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu wacana (discourses). Dalam ilmu linguistik, wacana merupakan kesatuan makna antar bagian pada suatu bangunan bahasa, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Roger Fowler (1977) mengatakan bahwa wacana merupakan pernyataan yang dapat dilihat dari titik kepercayaan, cara pandang, serta nilai empiris yang terkandung di dalamnya. Sehingga sebuah pernyataan ditinjau dari konteksnya seperti munculnya bahasa yang digunakan merupakan suatu representasi dari tujuan dan praktik tertentu.   

Baca Juga  Refleksi Nilai-Nilai Pancasila dalam Al-Qur’an

CDA memerlukan semantik sebagai bahan kajian dalam menelaah makna pada sebuah kata maupun kalimat, serta pragmatik sebagai kajian telaah makna pada suatu konteks tertentu.  Menurut Fairclought (1997) CDA mencoba untuk menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing berdasarkan sudut pandang tindakan, konteks, historis, kekuasaan, maupun ideologi.

Misal ada sebuah pernyataan yang berbunyi, “Negara hanya mementingkan korporat dan rakyat kecil telah tertindas!”. Pernyataan tersebut tentu memiliki asal usul konteks ideologi kekuasaan yang dimana negara dipandang berpihak pada korporat (borjuis) yang mengakibatkan ketidaksejahteraan pada rakyat kecil (proletar), sehingga pernyataan tersebut secara kemungkinan mengandung wacana sosialisme yang tegas sebagai suatu perlawanan terhadap fenomena kapitalisme yang terjadi.    

Lalu bagaimana dengan pernyataan “musuh terbesar Pancasila itu agama”?  Pernyataan tersebut merupakan bagian dari representasi wacana negara karena diucapkan oleh seorang pejabat negara. Kita dapat melihat wacana negara yang sedang digulirkan saat ini adalah memperkuat basis ideologi Pancasia dari segala betuk ancaman radikalisme, ekstrimisme, maupun tindakan terorisme.

Dalam rangka itu pula negara juga membentuk lembaga sebagai alat untuk memperkuat ideologi Pancasila, yakni BPIP. Uniknya yang mengucapkan pernyataan tersebut adalah seorang petinggi BPIP. Dalam hal ini saya meyakini bahwa pernyataan tersebut muncul bukan saja karena kebetulan, melainkan ada keterkaitan kekuasaan wacana yang sedang digulirkan oleh negara.

Yang menjadi polemik yang krusial bagi saya adalah penyematan kata “agama” sebagai musuh terbesar Pancasila. Profesor Yudian telah menjelaskan bahwa agama yang dimaksud adalah golongan masyarakat minoritas yang mengaku sebagai golongan mayoritas, yakni golongan Islam ekstrimis. Maka dalam kajian semantik kata “agama” merupakan simbol pengganti dari golongan Islam ekstrimis.

Baca Juga  Menunggu Fatwa Haram Plastik Sekali Pakai

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Profesor Yudian lebih memilih menggunakan kata “agama” ketimbang menggunakan kata yang lebih rigid seperti “golongan ekstrimisme” sebagai musuh terbesar Pancasila yang secara konteks sebenarnya memenuhi keterkaitan wacana kekuasaan yang sedang digulirkan oleh negara.

Skeptis saya merujuk pada suatu upaya untuk membangun kembali romantisme sejarah yang sedang digulirkan hari ini. Romantisme ini menyangkut pada kepentingan golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang sifatnya hegemonik. Hal ini tidak lepas dari sejarah perdebatan dasar negara yang dilakukan oleh kedua golongan terkait.

Dialektika tersebut pada akhirnya memunculkan barbagai momentum seperti adanya Kebijakan Soekarno tentang Nasakom, tragedi G30SPKI, lahrinya Orde Baru, hingga Rerformasi yang dapat dijadikan sebagai sebuah wacana. Implikasi sejarah inilah yang kita alami saat ini terlepas dari kedua golongan tersebut telah bias namun tidak hilang secara wacananya.

Jika ditelisik lebih dalam lagi (dalam berbagai media massa) maka yang sedang berkuasa di negara kita saat ini adalah golongan nasionalis sekuler yang ditinjau dari segi wacananya. Dengan segala infrastruktur politik negara yang dikuasai, maka wacana yang digulirkan dengan mudah mampu mempengaruhi khalayak publik mengingat konsep kekuasaan adalah salah satu kunci krusial hubungan antara wacana dengan masyarakat.

Melalui kekuasaan, diskursus publik dapat dikontrol oleh wacana yang sedang berkuasa. Maka dalam segi pragmatik, wajar saja Kepala BPIP dengan percaya diri mengatakan bahwa “musuh terbesar Pancasila itu agama” karena ucapan tersebut berangkat dari wacana yang sedang berkuasa di negara kita saat ini.

Sikap Kritis dan Skeptisme

Dominasi wacana oleh suatu elemen tertentu secara otomatis memiliki pengaruh kuat terhadap kehidupan masyarakat. Wacana yang dikontrol oleh kekuasaan secara tidak langsung akan menyebabkan diskursus publik menjadi terbatas. Terlebihnya lagi dengan adanya dominasi wacana, maka kekuasaan akan semakin terlegitimasi.

Baca Juga  Bencana Alam dan Salah Kaprah Narasi Religius

Oleh sebab itu perlu untuk dimunculkannya sikap kritis dan skeptisme terhadap segala pengetahuan, wawasan, serta informasi yang ada sebagai bagian dari perluasan diskursus yang dialektis dan dinamis. Sehingga dalam hal ini, kita tidak mudah dijadikan sebagai objek wacana tertentu yang sarat akan kepentingan. Kalau perlu, jadikan saja skeptisme sebagai bagian dari iman. 

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds