Perspektif

Salahkah Mualaf yang Menjadi Ustaz?

3 Mins read

Beredar sebuah poster kegiatan pengajian dengan penceramah Ustaz Bangun Samudra. Yang membuat viral, sang penceramah adalah mantan pastor alumni S3 Vatikan. Seorang warganet membantah poster tersebut, dia menyatakan bahwa sang penceramah bukanlah alumni S3 Vatikan melainkan tidak lulus Seminari.

Menanggapi hal tersebut, UBS melakukan klarifikasi bahwa keterangan dalam poster itu diberikan oleh panitia kegiatan. Menurut UBS dirinya adalah S2 Vatikan, bukan S3. Beliau menyatakan mempunyai bukti-bukti dokumen namun hilang karena sesuatu yang tak bisa diceritakan. Beliau juga menyatakan pernah diancam dibunuh dan viralnya beliau saat ini merupakan upaya pembunuhan karakter.

Jika ada mantan pastor yang menjadi ustaz, ada juga mantan ustaz yang menjadi pendeta. Misalnya Saifudin Ibrahim yang merupakan alumni salah satu perguruan tinggi Islam dan pernah menjadi guru di salah satu pondok pesantren. Saifudin getol menyampaikan ceramah menjelek-jelekan agama lamanya dan mengajak umat Islam memeluk agama barunya.

Sama seperti yang menimpa UBS, umat Islam menuduh Saifudin melakukan beberapa kebohongan. Misalnya Saifudin mengaku pandai berbahasa Arab, namun dalam beberapa tulisannya dia salah menulis dan menerjemahkan bahasa Arab. Saifudin bernasib malang karena harus menjalani masa tahanan dengan tuduhan penistaan agama.

Bangun Samudra dan Saifudin Ibrahim adalah realitas keagamaan kita, di mana mantan pastor dan mantan ustaz mempunyai nilai tambah bagi agama barunya masing-masing. Mantan pastor disebut mualaf, mantan ustaz disebut murtadin, ini versi umat Islam tentunya. Kita dapat mudah menemukan video debat antara mualaf versus murtadin, di dalamnya berisi upaya saling menyerang dan menjatuhkan mantan (agamanya) masing-masing.

Pergeseran Makna Mualaf

Ada perbedaan makna mualaf pada masa Nabi dengan masa kini. Mualaf itu artinya yang sedang dilembutkan hatinya untuk memeluk Islam. Mualaf juga merupakan sebutan bagi orang yang baru masuk Islam. Seseorang yang baru masuk Islam masih rawan untuk meninggalkan Islam, maka hatinya masih perlu dilembutkan untuk istikamah dalam agama barunya.

Baca Juga  Salat di Rumah Bukan Phobia Masjid!

Dalam Al-Qur’an mualaf merupakan salah satu kelompok yang berhak menerima zakat. Zakat menjadi instrumen untuk membuat mualaf yang belum masuk Islam lebih tertarik masuk Islam dan yang sudah masuk Islam semakin tenang dalam Islam. Terlebih pada masa Nabi Muhammad SAW banyak sahabat nabi yang menjadi mualaf adalah dari kaum dhuafa sehingga sangat perlu mendapatkan zakat.

Pada masa kini, mualaf adalah sebutan bagi seseorang masuk Islam setelah memeluk agama lain terlebih dahulu. Ustaz Adi Hidayat pernah meluruskan terkait hal ini. Menurut Ustaz Adi, seorang yang sudah masuk Islam bukan lagi mualaf, namun dia sudah menjadi muslim.

Adapun mualaf adalah sebutan bagi seorang yang masih diharapkan untuk masuk Islam. Pandangan UAH memang patut diperhatikan, namun kenyataannya istilah mualaf di Indonesia memang sudah mengalami pergeseran makna yang sulit dikembalikan ke makna asalnya.

Ada banyak orang yang memutuskan untuk melakukan konversi agama, berpindah dari satu agama ke agama lain. Seperti diuraikan di atas, dalam Islam seseorang yang memutuskan untuk berpindah dari agama lain kepada agama Islam disebut mualaf.

Mualaf Awam Versus Mualaf Agamawan

Jika di agama sebelumnya seseorang adalah seorang yang awam dalam agama, maka saat dia menjadi mualaf dia juga akan menjadi seorang mualaf yang awam. Dia akan menjadi seperti muslim pada umumnya, tak ada yang istimewa.

Yang menarik adalah fenomena perpindahan agama yang dilakukan oleh agamawan. Misalnya ada yang asalnya pastor kemudian pindah agama kepada Islam, biasanya tak lama kemudian menjadi ustaz. Sebaliknya ada yang asalnya ustaz, pindah kepada agama Kristen, biasanya tak lama kemudian mendadak menjadi pendeta. Contohnya adalah Bangun Samudra dan Saifudin Ibrahim.

Baca Juga  Memahami Kerusakan Alam Indonesia dari Novel Dunia Anna

Menurut penulis sah-sah saja jika ada agamawan di suatu agama, karena pindah agama lalu dia juga menjadi agamawan di agama barunya. Siapa yang boleh melarang? Namun ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan.

Pertama adalah persoalan integritas, dalam pepatah Arab dikatakan bahwa suri teladan itu lebih penting daripada perkataan, apalagi bagi seorang agamawan. Bagaimana seorang agamawan mau menceramahi jamaahnya sementara dirinya melakukan kebohongan?

Tuduhan yang dialamatkan kepada Bangun Samudra dan Saifudin Ibrahim sangatlah disayangkan. Terlebih menurut penulis klarifikasi yang diberikan belum mampu membantah tuduhan yang dilayangkan.

Kedua, dalam beberapa kasus, ada kejadian di mana mantan ustaz atau mantan pastor membongkar kesalahan-kesalahan ajaran agama lamanya guna memperkuat akidah agama barunya. Menurut penulis, menjelek-jelekan mantan itu tidak etis.

Ibarat anda punya pacar atau istri, kemudian anda putus atau cerai dengan istri anda, lalu anda sebarkan kepada tetangga anda kejelekan mantan pacar atau istri anda.

Bagi penulis memperkuat akidah agama sendiri tak harus dengan merendahkan agama lain. Lagi pula Indonesia masih mempunyai pasal pidana bagi penistaan agama (blasphemy), artinya jika ada mantan ustaz atau mantan pastor menjelek-jelekan agama lamanya, maka bisa dikenai pasal penistaan agama jika ada yang menuntut. Seperti yang menimpa Saifudin Ibrahim.

Urgensi Dialog Antar-Iman

Dialog atau debat yang dilakukan antar agama di Indonesia adalah sebuah forum yang sah untuk dilaksanakan. Forum semacam ini terkadang perlu untuk menambah wawasan keilmuan atau memperkuat keyakinan. Ada beberapa spirit yang melatarbelakangi dialog antaragama. Spirit mencari kebenaran dan spirit mencari titik temu.

Dalam spirit mencari kebenaran memang keyakinan antar agama mesti dibenturkan. Masing-masing klaim kebenaran mesti disampaikan. Bahkan serangan demi serangan mesti dilancarkan guna menguji argumen lawan. Tentu sah-sah saja hal semacam ini dilakukan dalam forum debat antaragama dengan tetap menjunjung tinggi akhlakul karimah.

Spirit kedua adalah dialog antaragama dalam kerangka mencari titik temu. Dialog semacam ini merupakan respon dari dialog jenis pertama yang dianggap tak menghasilkan apapun selain kepuasan intelektual. Sementara itu masalah-masalah kemanusiaan masih banyak yang harus diselesaikan.

Baca Juga  Menuju Indonesia Unggul: Optimalisasi Pendidikan Nonformal

Agama mempunyai tanggung jawab untuk menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang ada. Akhirnya, ada yang menginisiasi dialog antaragama namun bukan dalam spirit berdebat mencari siapa yang benar, tapi dalam rangka merumuskan agenda bersama untuk kemanusiaan.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *