Tanggal 23 Februari, 86 tahun yang silam (1923), Kiai Ahmad Dahlan menghembuskan nafas terakhir, menutup catatan perjalanan hidupnya yang teramat berat. Setelah merintis, membina, dan menyebarkan paham keislaman modernis di Indonesia, pendiri Muhammadiyah ini menyerahkan warisan perjuangannya kepada umat Islam.
Sebagai generasi penerus, kita memang layak bertanya, seperti apakah paham keislaman modernis ala Kiai Ahmad Dahlan yang mampu memecah kejumudan pemikiran Islam di Indonesia pada awal abad XX? Bertanya secara langsung kepada beliau adalah mustahil karena telah wafat, tetapi berdialog dengan teks-teks peninggalan murid-muridnya dapat mengantarkan kita kepada pemahaman alam pikiran cemerlang sang Kiai. Maka ikutilah wawancara imajiner bersama Kiai Ahmad Dahlan berikut ini.
Wawancara dengan Kiai Ahmad Dahlan
Seperti halnya pemahaman keagamaan dan kondisi pada awal abad XX, bagaimana seharusnya umat Islam saat ini dalam memahami agama Islam?
“Mula-mula agama Islam itu cemerlang, kemudian makin suram. Tetapi sesungguhnya yang suram itu adalah manusianya, bukan agamanya. Dalam agamaku terang-benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu merajalela di mana-mana, kemudian menyebabkan akal manusia menjadi buta” (Hadjid: 25-26).
Kebenaran Islam sering diperdebatkan sehingga melahirkan perbedaan pendapat yang mencolok, bagaimana menurut Kiai Ahmad Dahlan seharusnya sikap umat Islam memahami perbedaan?
“Manusia tidak menuruti, tidak memperdulikan sesuatu yang sudah terang benar bagi dirinya. Artinya, dirinya sendiri, pikirannya sendiri, sudah dapat mengatakan itu benar. Tetapi ia tidak menuruti kebenaran itu karena takut mendapat kesukaran, takut berat, dan bermacam-macam yang dikhawatirkan. Karena nafsu dan hatinya sudah terlanjur rusak, berpenyakit akhlak, hanyut, dan tertarik oleh kebiasaan buruk” (Hadjid: 25).
“Kebanyakan di antara para manusia berwatak angkuh dan takabbur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri” (Hadjid: 13).
“Manusia satu sama lain selalu melemparkan pisau cukur, mempunyai anggapan pasti paling tepat, dia melemparkan celaka kepada orang lain” (Hadjid: 14).
Bagaimanakah jalan mencari kebenaran menurut Kiai Ahmad Dahlan?
“Kita bermusyawarah mencari kebenaran, dengan hati yang sabar. Tidak boleh jemu dan putus asa, sehingga berhasil mendapatkan kebenaran, dapat bersatu paham dalam persatuan yang hakiki dan perdamaian yang abadi” (Hadjid: 111-112).
“Orang yang mencari barang yang hak kebenaran itu perumpamaannya demikian: seumpama ada pertemuan antara orang Islam dan orang Kristen, yang beragama Islam membawa Kitab Suci al-Qur’an dan yang beragama Kristen membawa Kitab Bybel, kemudian kedua kitab suci itu diletakkan di atas meja. Kemudian, kedua orang tadi mengosongkan hatinya kembali kosong sebagaimana asal manusia tidak berkeyakinan apapun. Seterunya bersama-sama mencari kebenaran. Lagi pula pembicaraannya dengan baik-baik, tidak ada kata kalah dan menang. Begitu seterusnya. Demikian kalau memang semua itu membutuhkan kebenaran. Akan tetapi, sebagian besar dari manusia hanya menurut anggap-anggapan saja, diputuskan sendiri. Mana kebiasaan yang dimilikinya dianggap benar dan menolak mentah-mentah terhadap lainnya yang bertentangan dengan miliknya” (Hadjid: 19-20).
Umat Islam adalah mayoritas di negeri ini, tetapi selalu terbelakang dibanding umat lain, bagaimana cara memajukan umat Islam?
“Agama Islam itu kami misalkan laksana gayung yang sudah rusak pegangannya dan rusak pula kalengnya, sudah sama bocor dimakan karat, sehingga tidak dapat digunakan pula sebagai gayung. Oleh karena itu, kita, umat Islam, perlu menggunakan gayung tersebut, tetapi tidak dapat karena gayung itu sudah sangat rusaknya. Sedang kami tidak mempunyai alat untuk memperbaikinya, tetapi tetangga dan kawan di sekitarku itu hanya yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak mengetahui dan tidak menggunakan untuk memperbaiki gayung yang kami butuhkan itu. Maka, perlulah kami mesti berani meminjam untuk memperbaikinya.
Siapakah tetangga dan kawan-kawan yang ada di sekitar kami itu? Ialah mereka kaum cerdik pandai dan mereka orang-orang terpelajar yang mereka itu tidak memahami agama Islam. Padahal, mereka itu pada dasarnya merasa dan mengakui bahwa pribadinya itu muslim juga. Karena banyak mereka itu memang daripada keturunan kaum muslimin, malah ada yang keturunan Pengulu dan Kyai terkemuka. Tetapi, karena mereka melihat keadaan umat Islam pada umumnya dalam keadaan krisis dalam segala-galanya, mereka tidak ingin menjadi umat yang bobrok.
Oleh karena itu, dekatilah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga mereka mengenal kita dan kita mengenal mereka. Sehingga, perkenalan kita bertimbal balik sama-sama memberi dan sama-sama menerima” (Syoedja’: 178-179).
Islam itu Cemerlang
Petikan wawancara imajiner dengan pendiri Muhammadiyah ini merujuk pada rekaman historis yang ditulis oleh dua orang murid Kiai Dahlan: Hadjid dan Syuja.’ Kita pun mafhum bahwa Mohammad Darwis—nama kecil Kiai Ahmad Dahlan—seorang rasionalis. Beliau memahami Islam sebagai “agama cemerlang” (pencerahan). Jika agama ini menjadi suram, maka itu hanya ulah umatnya sendiri yang bebal. Di mata Kiai, akal dan ajaran Islam tidak pernah dipertentangkan.
Menurut Kiai Ahmad Dahlan, jalan mencapai kebenaran Islam melewati musyawarah (dialog) dengan prinsip keterbukaan (inklusif) dan kejernihan hati. Tetapi, kebanyakan manusia berwatak angkuh dan takabur. Prinsip keterbukaan dan kejernihan hati sudah ditinggalkan. Kebenaran akhirnya dimonopoli oleh segelintir orang yang bertindak sebagai “pemborong kebenaran,” karena merasa paling benar sendiri.
Umat Islam akan selalu berada di barisan terbelakang manakala mereka tidak mampu bekerjasama dengan pihak lain. Ibarat “gayung yang rusak dan berkarat,” maka harus diperbaiki agar bisa digunakan kembali. Tetapi, umat Islam sendiri tidak bisa memperbaikinya tanpa bekerjasama dengan kaum cerdik pandai.
Sayangnya, orang-orang yang mendapat amanah melanjutkan paham keislaman modernis warisan Kiai Ahmad Dahlan sudah lupa pada inti ajaran ini. Sekarang, mereka cenderung menutup pintu dialog, mengunci rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga rona ajaran Islam tidak lagi cemerlang. Akibatnya, pola pikir menjadi semakin jumud, normatif-literal, dan jalan mencapai kebenaran telah diborong oleh segelintir orang. Budaya berpikir kritis dan dialog sudah hilang.
Begitulah keadaannya dengan Muhammadiyah saat ini. Terkapling-kapling secara ideologis-politis di tengah situasi ekstrim. Masing-masing saling mengklaim paling benar sendiri. Pola pikir normatif-literal dan semangat eksklusifisme telah menyumbat jalan menuju dialog pencerahan. Akibatnya, Muhammadiyah seolah-olah mengalami kekosongan otoritas. Wajar jika kemudian kelompok berhaluan salafi berhasil menyelinap masuk, lalu “memborong kebenaran” atas nama paham keislaman modernis di Muhammadiyah.
(Catatan: kalimat yang diucapkan oleh Kiai Ahmad Dahlan murni berdasarkan catatan dua orang muridnya, KRH. Hadjid dan H. Mohammad Syoedja’. Adapun pertanyaan dalam wawancara ini adalah rekayasa penulis).
Editor: Yahya FR