Orang Muhammadiyah Tak Suka Membaca?
Website dan akun-akun media sosial Muhammadiyah kalah dengan NU untuk tingkat kunjungan dan followers.
Tapi website dan akun medsos Muhammadiyah mulai mengalahkan dari sisi engagement (interaksi), demikian tutur Arif Nurkhalis setelah baca realease Alexa Rank.
Republika dan nu.or.id juara 1 dan 2. Muhammadiyah.or.id rangking 22. NU bukan saja juara dalam tingkat baca dan kunjungan, tapi juga banyak dan mendominasi, saya melanjutkan. Hasil ini tak harus disikapi reaktif, ambil sebagai bahan muhasabah untuk mengolah ‘pola hidup’ dari copas dan share menjadi membaca dan menulis.
Bukankah peradaban dibentuk oleh tradisi membaca dan menulis ? Dan itu pula menjadi ciri masyarakat berkemajuan yang kita banggakan.
Orang NU Rajin Baca
NU yang ditabalkan organisasi tradisional itu, ternyata punya budaya baca tinggi. Ada puluhan website NU yang rajin dikunjungi dan dibaca para followersnya. Jamaah yang dicap kolot dan tradisional ini, ternyata punya tradisi literasi yang baik.
Mereka rajin membaca dan memberi apresiasi (like atau subscribe) pada setiap karya tulis. Demikian release yang diberitakan Alexa Rank pekan ini.
Kabar ini terasa menyentak, tak seindah yang dibayangkan. Bagaimana mungkin glamour perguruan tinggi dan anggapan dihuni orang-orang terpelajar terdidik, tak cukup bukti. Nyatanya orang Muhammadiyah tak suka baca apalagi beli buku, majalah atau jurnal. Kabar tak sedap di awal tahun. Berkunjung ke Bookstore saja sudah tak pernah.
Mungkin bisa berkilah bahwa, Alexa Rank tak cukup akurat menggambarkan kondisi real jamaah persyarikatan. Tapi sayangnya, kita juga tak punya data pembanding yang akurat, jadi terima saja sembari tawakal setelah ikhitiar.
Klasifikasi yang Sudah Tak Relevan
Walhasil, klasifikasi modernis dan tradisionalis benar-benar sudah nggak relevan tutur Mas Hajriyanto Thohari, Ketua PP Muhammadiyah yang juga Dubes Lebanon. Ini lebih serem lagi, dikotomi modern dan tradisional sudah tak cukup relevan. Hampir semua indikator modernis telah saling melampaui, varian berbagai indikator modern tak lagi absolut, apapun yang ada dalam Muhammadiyah, NU juga sudah punya.
Tradisi baca kitab dan turats barangkali menjadi penyokong warga NU suka baca dan punya tradisi literasi yang baik dengan tidak bermaksud mengatakan bahwa daya literasi Mahasiswa di PTM rendah atau kalah kuat dibanding pesantren.
Meski sebenarnya demikian adanya. Ini perbandingan yang sangat tidak enak. Mengingat NU adalah pesaing dalam ber-fastabiqul khairat. Tapi saya harus berlapang menerima.
Pergeseran prilaku Muhammadiyah dan NU ini memang menarik disimak. Meski terlihat tenang, keduanya juga bersaing keras. Stigma sebagai Islam tradisional dan modernis, perlahan menipis dan boleh jadi saling bergantian tempat. NU menjadi modern dan Muhammadiyah menjadi tradisional meski ini kesimpulan gegabah atau mungkin lebih sopan bila dikatakan keduanya sudah sama-sama modern dengan sedikit catatan.
Salah seorang teman dalam diskusi tadi malam mengatakan bahwa, “membaca itu penting, karena akan mempengaruhi pemikiran dan perilaku. Termasuk memperluas cakrawala atau perspektif. Kekuatan berpikir, imajinasi, analisis , dan kelapangan hati ketika berbeda pendapat. Literasi yang rendah sangat berhubungan erat dengan sikap eksklusifitas, sensi, dan mudah tersinggung alias gampang kemrungsung atau kagetan”.
Prof Nakamura mungkin harus merevisi ulang tesisnya tentang matahari terbit di atas pohon beringin. Mungkin pula harus dikonstruksi kembali untuk mengetahui secara lebih sahih. Atau bisa saja sudah tak lagi diperlukan karena telah ada migrasi idelogi di antara kedua ormas itu. Di mana Muhammadiyah menjadi lebih puritan dibanding tajdidnya. Wallahu taala a’lam.