Menguatnya politik identitas belakangan ini membawa ingatan kita pada narasi politik seorang tokoh politik Islam Indonesia, M. Natsir.
Tulisan ini merupakan catatan kecil ketika M. Natsir bersentuhan dengan nasionalisme pada era awal kemerdekaan.
Kiprah Natsir
Natsir adalah individu yang sangat kuat dalam politik kontemporer indonesia di awal kemerdekaannya, sebagai salah satu representasi Umat Islam. Indentitasnya sebagai tokoh politik Islam menjadi rujukan hingga saat ini. Banyak kalangan Islam mengaitkan dirinya dengan segenap aktivitas politiknya dengan pemikiran Natsir.
Posisi Natsir sering distereotipkan dengan aktivitasnya yang anti Soekarno. Salah satunya adalah perdebatan soal kebangsaan, Islam, dan Nasionalisme di tahun 30-an. Beberapa tahun sebelum proklamasi kemerdekaan.
Soekarno memang banyak berdebat dengan Natsir. Perdebatan Soekarno dalam bentuk tulisan ini menarik untuk memahami kaitan dan titik perdebatan antara kaum Islam dan kaum nasionalis hingga saat ini. Soekarno begitu terpesona dengan nasionalis kebangsaan sekuler ala Turki. Di posisi berbeda, Natsir menyandingkan dengan kebangsaan muslimin, Pan Islamisme.
“Permusuhan” Soekarno dengan Natsir ini memuncak dengan penangkapan dan pemenjaraan tanpa melalui pengadilan atas sejumlah aktivis politik Islam yang tergabung dalam Pemerintahan Revolusionar Republik Indonesia (PRRI) termasuk M. Natsir.
Namun, sejarah sebenarnya juga mencatat kedekatan Soekarno, sang tokoh nasionalisme Indonesia, dengan M. Natsir dalam beberapa babak.
Misalnya saja, di masa awal kemerdekaan, di saat Natsir bergabung dalam kabinet. Soekarno tidak pernah meninggalkan Natsir untuk selalu mengonsep dan mengedit naskah pidato Soekarno.
Sejarawan Cornel University, George McTurnan Kahin, menulis kedekatan antara Soekarno dan Natsir tersebut. Dalam banyak kesempatan, Soekarno selalu memanggil Natsir untuk berdiskusi tentang apa yang harus disampaikan dalam pidatonya.
Di awal berdirinya Partai Nasionalis Indonesia, Natsir begitu terkesima dengan gagasan yang diusung oleh Soekarno yang melawan kolonialisme.
Natsir bahkan banyak mendatangi pertemuan-pertemuan dan menyimak dengan baik orasi pemimpin pemimpin PNI pada waktu itu.
Meskipun pada akhirnya Natsir kecewa dengan tokoh tokoh nasionalis yang tergabung dalam PNI pada waktu itu. Kahin menyebutkan, bahwa Natsir pada akhirnya begitu kecewa pada pidato tokoh tokoh kaum nasionalis, menurut Natsir, banyak menyudutkan Islam dan menjadikan ajaran Islam sebagai bahan cemoohan.
Kekecewaan Natsir kepada Nasionalisme dan Soekarno
Natsir yang pada waktu itu tergabung dalam Partai Syarikat Islam, yang mana adalah saudara tua PNI dalam perlawanannya dengan kolonialisme, mulai banyak menuliskan kritik kepada kaum nasionalis.
Pertarungan gagasan antara Soekarno dan Natsir begitu kuat pada tahun 30-an. Perdebatan yang sangat sengit tersebut dimuat dalam majalah Pembela Islam. Sebuah majalah yang terbit di Bandung oleh Komite Pembela Islam.
Kekecewaan Natsir terhadap Soekarno dan nasionalisme ini pulalah yang membawa Natsir akhirnya bergabung dengan PRRI. Dalam literatur sejarah, PRRI sering dipahami sebagai sebuah gerakan saparatis. Meskipun soal ini banyak ahli sejarah yang masih menyangsikan menilik keterlibatan Natsir adalah karena unsur kekecewaan Natsir.
Menurut Kahin, alasan bahwa Soekarno lebih memprioritaskan PKI-lah yang menambah dalam kekecewaan Natsir hingga bergabung dengan PRRI.
Bagi Natsir, komunisme bukan sesuatu yang tepat untuk menjadi pilihan bernegara. Karena pada saat itu, begitu keras reaksi PKI terhadap ulama dan kaum beragama.
Sementara Natsir adalah pejuang politik yang selalu memikirkan di mana posisi agama didalam bernegara. Bagi Natsir, agamalah yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme yang kemudian menggerakkan bangsa ini untuk melakukan aksi perlawanan terhadap penjajahan dan segala macam bentuk kolonialisme.
Dalam teks Yudi Latief ia menyebut, Natsir adalah sosok yang memiliki integritas yang kuat secara keislaman, namun Natsir juga sosok yang memiliki komitmen terhadap nasionalisme dan kebangsaan.