Perspektif

Kita Semua Diuji: Tanggapan untuk Ariq Ahnafalah Syakban

2 Mins read

Tulisan Ariq Ahnafalah Syakban, siswa tingkat akhir Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, di bawah judul Cerita Covid-19: UN Dihapus dan Lulus di Tengah Ketidakpastian ditulis dalam suasana batin yang kalut marut. Kelulusan dan masa depan yang telah dipersiapkan dengan berpeluh-peluh itu menjadi kegamangan belaka. Tentu ini tidak hanya dialami oleh siswa Mu’allimin-Mu’allimaat saja karena hari ini dampak wabah covid-19 dirasakan sebagian besar umat manusia di seluruh dunia.

Namun apa yang dialami oleh Ariq dan kawan-kawannya seangkatan, menjadi berbeda karena peristiwa ini sekaligus memisahkan mereka setelah hidup bersama 24 jam selama hampir enam tahun. Sebagai alumni, mantan musyrif, dan guru di madrasah ini, saya sendiri bisa merasakan momen berat ini.

Jika ditanya, mungkin sebagian besar dari mereka akan mengatakan tidak ingin lulus dulu karena beratnya perpisahan. Sekarang justru situasi memaksa mereka untuk berpisah lebih cepat.

Kita Semua Diuji

Dalam konteks yang berbeda, situasi berat pernah kami alami juga, dulu, saat gempa Jogja tanggal 27 Mei 2006. Saat itu kami masih kelas 5 (kelas XI). Gedung Mu’alimin rusak berat dan harus dirobohkan. Di mana lagi kami harus belajar? Siswa ramai-ramai pulang kampung meninggalkan Jogja padahal belum lagi ada pengumuman resmi dari madrasah. Situasi tidak menentu. Kami yang masih bertahan di asrama dikirim ke sudut-sudut desa di Bantul untuk menjadi relawan.

Situasi mulai agak pulih setelah beberapa bulan kemudian. Tapi sebagian siswa harus rela belajar di bawah tenda. Gedung induk yang baru sedang dibangun oleh panitia pembangunan yang diketuai Buya Syafii Maarif dan diresmikan pada tahun 2008. Sedangkan hasil kelulusan, angkatan kami menerima ijazah Mu’allimin tanpa rincian nilai satu pun karena dokumen terserak akibat kantor yang berpindah-pindah.

Baca Juga  Al-Qur’an adalah Wahyu Allah: Tanggapan atas Tulisan Mun’im Sirry

Berapa nilai ujian khutbah Jum’at saya? Entahlah. Akhirnya saya bertanya langsung kepada penguji saya, ustaz Setyadi Rahman. Seingat beliau nilainya A.

Kembali pada Covid-19, Ariq dan kawan-kawan seangkatan pun masih patut bersyukur karena kegiatan belajar mengajar telah dianggap usai. Mereka yang masih punya kewajiban belajar via online, adik kelas Ariq dan para mahasiswa, mengalami kendala yang tidak sederhana. Selain tugas yang menumpuk dari para pengajar, sebagian lagi terkendala dengan kuota, sinyal, sebagian lagi tidak punya HP dan menggunakan HP orang tuanya. Saat ini kita semua dalam dilema. Kita semua sedang diuji dan kita harus kuat.

Bapisah Bukannyo Bacarai

Dalam situasi covid-19 ini, kita mengurus diri kita sendiri saja kadang masih jauh dari ideal, sebagian lagi masih ngeyel. Sedangkan pemerintah harus mengurus ratusan juta jiwa. Di saat bersamaan Presiden kehilangan ibunda tercintanya.

Saya jadi teringat ketika dalam sebuah perjalanan ke Negeri Kedah, salah satu negara bagian di Malaysia, pada bulan Ramadhan 2017 yang silam, ada dinding di sebuah rumah anak yatim yang bertuliskan: Saya meminta kekuatan dan Dia beri saya kesulitan untuk membuatkan saya kuat.

Ariq yang termasuk siswa Mu’allimin terbaik ini mengakhiri tulisannya dengan sangat bijak dan dewasa bahwa hidup tak selalunya indah. Mengeluh atas keadaan, di saat-saat tertentu mungkin normal, tapi harus segera bangkit dan melangkah. Di SKM (Sinar Kaum Muhammadiyah) Mu’allimin diajarkan tentang semangat hidup dan berjuang dengan gembira. Lulus Mu’allimin bukanlah akhir, ada tugas menanti di luar sana. Tugas sebagai kader kemanusiaan, bangsa, umat, dan persyarikatan.

Tentang perpisahan setelah enam tahun lamanya hidup bersama, ada sebuah lagu Minang yang berjudul Bapisah Bukannyo Bacarai (berpisah bukannya bercerai). Lagu ini maknanya sungguh dalam. Yang terbaru dinyanyikan ulang oleh Kintani feat Ilham ZED.

Baca Juga  Membangkitkan GBHN: Rencana Perubahan ke-5 UUD 1945

Meskipun beda konteks, setidaknya cukup mewakili suara hati mereka yang dipisahkan oleh keadaan. Keadaan yang akan mengantarkan seseorang menjadi sukses di kemudian hari, lalu beberapa tahun kemudian mereka akan berkumpul lagi dalam momentum reuni dengan keberhasilannya masing-masing, InsyaAllah.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds