Perspektif

Betapa Tidak Manusiawinya Pembelajaran Online!

2 Mins read

Covid-19 telah membawa dampak begitu signifikan dalam kehidupan manusia. Memaksa untuk membongkar kebiasaan lama menjadi sesuatu yang lebih baru walau terasa tabu bagi kebanyakan orang. Shalat di masjid misalnya, kini tak lagi dihiasi penampakan jamaah dikarenakan adanya himbauan dari Majelis Ulama Indonesia maupun Pemerintah agar melaksanakan ibadah dan aktivitas di rumah saja.

Kini tak ada lagi desak-desakan macet di jalan raya akibat dampak physical distancing antar sesama. Begitu pula bagi mereka para pedagang kaki lima maupun pengusaha tingkat menengah semakin terpuruk akibat laju perekonomian tak lagi seperti biasa.

Begitu pula bagi mereka yang tahun ini akan menutup usia di “penjara intelektual” (kampus) harus sabar dan tabah. Dikarenakan jadwal atau pelaksanaan wisuda tertunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Semuanya itu mendapat dampak yang sangat besar dari adanya Covid-19 ini.

Dampak ini juga tentunya berakibat besar bagi mahasiswa/mahasiswi serta pelajar di seluruh Indonesia. Dengan adanya himbauan dari pemerintah membuat proses pembelajaran dilaksanakan secara online (daring). Namun ternyata dari metode pembelajaran online ini banyak memberikan dampak yang kurang baik bagi mahasiswa maupun pelajar.

Pasalnya, tingkat perekonomian dari masing-masing mereka berbeda. Ini tentunya menjadi hambatan karena tidak semua dapat membeli kuota paket data, ataupun memiliki handphone yang canggih untuk melaksanakan kuliah online. Metodenya juga cukup berbeda dari beberapa dosen yang memberi pelajaran. Ada yang menggunakan google class room, Whatsapp, Aplikasi Zoom Meeting, Youtube, dan lain sebagainya sebagai media untuk melaksanakan daring.

Ketika perkuliahan secara daring, mahasiswa bagai bebek yang dituntun rapi agar masuk ke dalam kandang. Semua kompak menjawab salam, iya pak , iya bu. Namun, di belakang layar ternyata, iya iye yang tadi dilontarkan ke grup class room ataupun Whatsapp misalnya, malah berbuah hujatan, bahkan makian. Atau dengan istilah yang diperlembut menjadi sebuah “kelah-keluhan.”

Baca Juga  Untuk Para Mufassir, Jadilah Penafsir Al-Qur'an yang Inklusif

Di tambah lagi kuota yang akan dihemat selama waktu yang tidak ditentukan. Mereka harus memutar otak untuk itu. Apalagi bagi mereka yang orang tuanya tak dapat bekerja di tengah-tengah Covid-19 ini. Maka betul kata bapak pendidikan Brazil, Puolo Freire, bahwa sejatinya pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, bukan malah membinasakan manusia demi menggugurkan kewajibannya.

Nah, seharusnya baik dosen maupun mahasiswa/pelajar, memikirkan bagaimana kemudian dalam proses pembelajaran agar efektif dan efisien tanpa harus memberikan tugas yang berlebihan. Sehingga tidak memaksa untuk mencari di google ataupun mencari sumber literatur di berbagai tempat, karena situasi dan kondisi yang masih rentan penyebaran virus Covid-19.

Namun, proses pembelajaran secara daring telah membisukan nalar kritis mahasiswa. Mereka lebih banyak yang bungkam dan menurut bagai bebek yang masuk dalam kandang ketimbang menyampaikan keluh-kesahnya secara langsung.

Akhirnya, proses pembelajaran menjadi kurang efektif. Absensi maupun pemberian tugas mata kuliah tak berjalan dengan baik. Implikasinya hanya sebatas menggugurkan kewajiban semata.

Editor: Arif

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah Semsester VI UIN Alauddin Makassar
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *