Dalam tradisi Islam telah berkembang beberapa definisi agama. Di antaranya ada dua yang populer, yaitu definisi Islam adalah agama dan negara (din wa daulah) dan Islam adalah akidah dan syari’ah (aqidah wa syari’ah). Kedua definisi ini, sebagaimana telah umum diketahui, diikuti dengan perumusan ideologi dan hukum-hukum yang digali dari Islam yang membentuk keberagamaan ideologis dan formalistik di kalangan umat.
Terlepas dari popularitas dua definisi itu, dalam S. al-Maidah, 5: 3 ada firman yang menunjukkan definisi Islam yang seharusnya menjadi pegangan dalam pengembangan doktrin dan penghayatannya di kalangan umat sehingga terbentuk keberagamaan yang sesuai dengan paradigma Islam agama rahmat bagi seluruh alam. Definisi Islam yang dipahami dari ayat itu adalah din wa ni’mah.
Din: Beragama Mengembangkan Spiritualitas
Batasan pertama dari definisi Islam dalam al-Maidah, 5 (3) adalah din, agama, yang ditegaskan telah disempurnakan oleh Allah.
Di kalangan generasi salaf, ada perbedaan pandangan tentang maksud kata itu. Ibn Abas, sepupu Nabi, menjelaskan bahwa maksudnya adalah iman. Adapun al-Hakam, seorang sahabat Nabi yang lain, dan dua ulama tafsir dari kalangan Tabi’in (Qatadah dan Sa’id ibn Jubair) berpandangan bahwa maksudnya adalah ibadah haji yang dilakukan umat Islam di Masjidil Haram secara eksklusif tidak bebarengan dengan kaum paganis Arab yang, sebelum ayat itu turun, juga melaksanakan “haji” di masjid tersebut.
Dalam Alquran, terdapat surat yang menunjukkan bahwa makna agama (din) yang disempurnakan dalam al-Maidah, 5 (3) adalah makna riwayat Ibn Abbas dan makna riwayat al-Hakam dengan pengembangan tertentu. Surat itu adalah al-Kafirun yang berdasarkan asbabun nuzul dan munasabah antara bagian akhir dengan bagian sebelumnya menunjukkan makna din yang tepat untuk memaknai kata din dalam ayat tersebut.
Asbabun nuzul mikro surat al-Kafirun adalah usulan orang-orang Quraisy kepada Nabi untuk melakukan kompromi dalam memeluk agama. Mereka mengajak untuk menyembah Tuhan sesembahan dalam Islam dan paganisme Arab secara bergantian. Dalam satu tahun, mereka mau menyembah Allah bersama Nabi, kemudian dalam satu tahun berikutnya mereka meminta Nabi bersedia menyembah berhala bersama mereka.
Surat al-Kafirun turun menolak tawaran mereka dengan meminta Nabi untuk mengatakan bahwa dia tidak menyembah berhala yang mereka sembah dan mereka tidak menyembah Allah yang dia sembah. Perkataan ini diakhiri dengan pernyataan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pengertian din yang dimaksudkan dalam surat itu adalah peribadatan kepada Wujud Adikodrati yang dipercayai sebagai Tuhan yang harus disembah sehingga meliputi sistem kepercayaan dan sistem peribadatan.
Kemudian mengenai pemahaman berdasarkan munasabah, surat al-Kafirun menyebutkan kata din dalam ayat terakhir (lakum dinukum wa liya din). Pengertian kata ini sudah barangtentu tidak dapat terlepas dari pembicaraan ayat-ayat sebelumnya. Dalam bagian sebelumnya bisa dikatakan ada penegasan tentang toleransi beragama dengan menghormati peribadatan yang ada pada tiap-tiap agama tanpa mempedulikan apa pun yang dijadikan sesembahan (la a’budu ma ta’budun wa la antum ‘abiduna ma a’bud).
Penegasan sikap toleran terhadap peribadatan itu menunjukkan bahwa pengertian agama di akhir surat tersebut adalah juga sistem kepercayaan dan peribadatan.
Ni’mah: Beragama Membangun Peradaban
Batasan kedua dari definisi Islam dalam al-Maidah, 5 (3) adalah anugerah, ni’mah, yang juga ditegaskan telah disempurnakan oleh Allah. Dalam bahasa, ni’mah berarti al-halah al-hasanah (keadaan yang baik).
Kemudian mengenai maksud penyempurnaan ni’mah dalam ayat tersebut, menurut asy-Sy’abi dan ‘Amir, dua ulama tabi’in, adalah pelaksanaan haji oleh umat Islam secara eksklusif, kehancuran sistem Jahiliah dan meredupnya paham kemusyrikan. Berdasarkan pandangan ini, at-Thabari menyimpulkan bahwa maksud penyempurnaan ni’mah dalam al-Maidah, 5 (3) adalah kemenangan kaum Muslimin di zaman Nabi atas kaum Musyrikin Arab.
Berdasarkan arti ni’mah adalah al-halah al-hasanah dapat diyakini bahwa makna penyempurnaan “anugerah” dalam al-Maidah, 5 (3) adalah pemberian kemenangan kepada kaum Muslimin di zaman Nabi. Kemenangan yang mereka peroleh pasti berpangkal pada keunggulan yang mereka miliki. Dengan keunggulan itu mereka menjadi pribadi dan masyarakat yang berkualitas tinggi.
Dalam Ali Imran, 3 (139) dan Muhammad, 47 (35), Alquran menyebutkan tiga kualitas keunggulan mereka: kuat (tidak merasa lemah), gembira (optimis, tidak merasa sedih), dan tangguh (tidak menyerah). Mereka dapat memiliki keunggulan dengan kualitas itu karena mereka mempunyai unsur-unsur yang tinggi dari kebudayaaan: ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan sistem sosial yang kompleks.
Dari sejarah zaman Nabi, diketahui bahwa kaum Anshar dan Muhajirin masing-masing menguasai pertanian dan perdagangan di Madinah. Dengan penguasaan dua sektor ekonomi itu, mereka mampu membeli peralatan-peralatan, termasuk peralatan militer yang produksinya dikuasai oleh kaum Yahudi. Diketahui pula mereka mengembangkan kesenian, khususnya seni suara, dan sistem sosial berkeadaban seperti sistem kemasyarakatan egaliter, hukum berkeadilan (penegakan hukum tanpa pandang bulu), politik kesejahteraan (perlindungan hak-hak warga negara), pendidikan inklusif (pendidikan bagi perempuan).
Sejarah ini menunjukkan adanya unsur-unsur kebudayaan tinggi itu dalam praktek hidup mereka.
Dengan demikian, jika pemahaman al-Maidah, 5: 3 dihubungkan dengan dua ayat yang menegaskan keunggulan kaum Muslimin pada zaman Nabi, pengertian penyempurnaan “anugerah” menjadi penyempurnaan unsur-unsur tinggi dari kebudayaan bagi mereka. Unsur-unsur kebudayaan tinggi dalam antropologi disebut peradaban.
Karena itu maksud ni’mah dalam ayat tersebut adalah peradaban, sehingga pengertian din wa ni’mah sebagai definisi Islam adalah agama dan peradaban.
Islam: Din wa Ni’mah
Definisi agama berdasarkan al-Maidah, 5 (3) yang menjelaskan ruang lingkup Islam meliputi din wa ni’mah sesuai dengan Islam Rahmatan (rahmah) lil ‘Alamin yang ditegaskan dalam al-Anbiya’ 21 (107).
Rahmah ialah riiqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, perasaan lembut (cinta) yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi. Kebaikan nyata dalam pengertian yang paling luas adalah hidup baik yang dalam an-Nahl, 16: 97 disebut hayah thayyibah.
Indikator hidup baik yang disebutkan dalam beberapa ayat Alquran adalah: lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-sejahteranya), wa la khaufun ‘alaihim (damai sedamai-damainya), dan wa la hum yahzanun (bahagia sebahagia-bahagianya) di dunia dan di akhirat.
Dengan definisi tersebut, umat dapat membangun keberagamaan yang diajarkan Al-Qur’an, yakni keberagamaan etis, dan penerapannya dalam penyelenggaraan negara dengan peradaban tinggi. Secara teologis, dapat menjamin tercapainya tujuan risalah Islam Rahmatan lil ‘Alamin.
Bagaimana dengan definisi yang lain? Saya yakin para pembaca sudah mengetahui jawabannya.
Peradaban Tinggi dalam Bernegara
Karena definisi Islam seperti di atas, maka dalam kehidupan bernegara Al-Qur’an mengajarkan negara ideal dan asas-asas penyelenggaraannya yang berperadaban tinggi. Ketinggian peradaban bernegara terlihat dengan jelas dalam ajaran tentang negara ideal dalam ayat-ayat berikut:
Pertama, al-Baqarah, 2 (126): negara yang aman dan damai serta kemakmuran untuk seluruh warga negara, baik yang beriman maupun tidak beriman.
Kedua, Ibrahim, 14 (35): negara yang aman dan damai dengan warga negara yang tidak menganut kepercayaan yang mendegradasikan kehidupan dan sistem politik tiranik (an- na’budal ashnam).
Ketiga, Saba’, 34 (15): baldatun thayyibatun (negara yang adil, makmur, berwawasan lingkungan hidup [dalam tafsir digambarkan dengan negara tanpa lalat dan nyamuk]) wa rabbun ghafur (negara yang ada kejatahannya, tapi mampu dikendalikan).
Keempat, at-Tin, 95: 3: negara yang amanah dalam pengertian mampu melindungi hak-hak warga negara.
Ketinggian peradaban dalam bernegara juga terlihat dengan jelas dalam asas-asas penyelenggaraan negara yang dijelaskan dalam an-Nisa’, 4 (58-59) yang memuat 6 asas: an tuaddul amanati ila ahliha: asas amanah, perlindungan hak-hak warga negara; an tahkumu bil ‘adl: asas keadilan dalam penyelenggaraan seluruh urusan yang menjadi tanggungjawab negara; athi’u Allah: asas ketuhanan, dalam pengertian konstitusionalisme dan negara kesejahteraan; athi’ur Rasul: asas kerasulan, dalam pengertian persatuan dan rule of law; ulil Amri: asas penyelenggaraan negara oleh orang-orang yang ahli; dan fa rudduhu ila Allah war rasul: asas legalitas.