Tajdida

Hisab Rukyat (1): dari Pertentangan Menuju Perpaduan

3 Mins read

Relasi hisab dan rukyat tak ubahknya seperti relasi antara sains dan agama. Ian Barbour dalam bukunya yang berjudul “When Science meet Religion: Enemies, Strangers, or Partners (2000)” membedakan empat pola hubungan sains dan agama.

Keempat pola hubungan itu dalam bahasa Indonesia dapat diistilahkan “4P” (meminjam istilah Liek Wilardjo), yaitu Pertentangan (Conflict), Perpisahan (Independent), Perbincangan (Dialogue), dan Perpaduan (Integration).

Pertentangan ialah hubungan yang bertelingkah (conflicting) dan dalam kasus yang ekstrem barangkali bahkan bermusuhan (hostile). Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau memperdulikan satu sama lain.

Perbincangan ialah hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami persamaan dan perbedaan mereka.

Perpaduan ialah hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa, pada dasarnya kawasan telaah, ancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan menyatu. Dalam sejarah kesadaran umat Islam Indonesia, hubungan hisab dan rukyat pun pernah mengalami ketegangan dan menuju ke arah perpaduan.

Pertentangan: Metodologi menjadi Ideologi

Setelah metodologi berubah menjadi ideologi perbedaan-perbedaan dan konflik mulai terjadi. Dalam konteks ini Hamka menyatakan: “Perselisihan dan sentimen antara pendukung hisab dan rukyat berjalan lama dan menimbulkan pertikaian.

Suatu ketika hilal dilaporkan berhasil dilihat di Belawan dan dilaporkan ke Qadli Kerajaan Deli, lalu dicari dalil agar menolak kesaksian tersebut. Sebab kalau diakui maka lebaran akan sama dengan pengguna hisab”.

Sejalan dengan Hamka, Novel Ali menyatakan bahwa perbedaan antara hisab dan rukyat merupakan sumber konflik yang menimbulkan ketegangan dalam lembaga keluarga, karena salat Id dan merayakan lebaran tidak dilakukan pada hari yang sama.

Baca Juga  Kedudukan Ilmu Hisab dalam Islam

Menurutnya pula, akibat perbedaan antara hisab dan rukyat juga menimbulkan ketegangan antar berbagai kelompok masyarakat, dan antara masyarakat dengan pemerintahannya. Dari pengalaman beberapa tahun yang lalu di berbagai daerah di negeri ini; diketahui tumbuh dan berkembang suasana panas antar pendukung hisab dan rukyat karena perbedaan awal Ramadan dan Syawal.

***

Perbedaan antara pengguna hisab dan rukyat dalam memulai dan mengakhiri Ramadan juga menimbulkan “Pertentangan Terselubung”. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh André Muller bahwa pada saat terjadi perbedaan antara hisab dan rukyat dalam menetapkan awal bulan kamariah (Ramadan, Syawal, dan Zulhijah), ketika pengguna hisab dan rukyat berkumpul bersama, mereka cenderung menahan emosinya dan tidak mengeluarkan perkataan yang dapat menyakiti orang lain; keadaannya tetap cukup tenang.

Akan tetapi, ketika pengguna rukyat saja atau pengguna hisab saja berkumpul, nada-nada mereka umumnya lebih tajam. Pengguna hisab dapat mempertanyakan “kekolotan” pengguna rukyat, sedangkan pengguna rukyat dapat mempermasalahkan cara pengguna hisab menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadis.

Lebih jelasnya, pengguna hisab bertanya-tanya bagaimana pengguna rukyat dapat menolak ilmu pengetahuan modern, sedangkan pengguna rukyat bertanya-tanya bagaimana pengguna hisab dapat menolak dan menyimpang dari kata-kata al-Qur’an dan al-Hadis.

Bahkan tak jarang pemerintah bersikap “otoriter” melarang masyarakat bertakbiran keliling kota, karena menurut pemerintah keesokan harinya masih termasuk bulan Ramadan. Begitu pula larangan menyelenggarakan salat Id di lapangan atau tempat terbuka, pada hari yang belum diputuskan pemerintah sebagai hari Raya Idul Fitri.

Akibatnya, pemerintah di mata kalangan pengguna rukyat dianggap identik dengan pengguna hisab karena dalam menetapkan Idul Fitri selalu bersamaan dengan pengguna hisab dan ketika mengambil keputusan pihak pengguna rukyat tidak dilibatkan.

Baca Juga  Muhammadiyah Bermanhaj Salaf, Tapi Bukan Salafi!

Perpisahan: Lakum Ru’yatukum waliy Hisabiy

Salah satu cara untuk menghindari konflik antara hisab dan rukyat adalah memisahkan dua bidang itu dalam dua kawasan yang berbeda, khususnya dalam penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang tidak perlu tetapi juga keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap area kehidupan dan pemikiran.

Dalam konteks ini, para pendukung hisab dan rukyat mengajak agar hubungan hisab dan rukyat lebih bersifat independen, dan berjalan sesuai keyakinan masing-masing, kemudian muncul istilah “lakum ru’yatukum wa liya hisabiy”, bagimu rukyatmu dan bagiku hisabku. Hal ini, didukung oleh Masdar Faried Mas’udi dan Bahtiar Effendy.

Bagi Masdar setiap individu memiliki keyakinan dan tidak mudah dipaksakan oleh pihak lain. Dalam persoalan hisab dan rukyat pun juga demikian. Masdar juga meyakini baik pendukung hisab maupun pendukung rukyat punya dasar-dasar perhitungan yang mereka yakini sendiri-sendiri, Mereka tidak mungkin asal-asalan menentukan hari raya, sebab mengandung unsur ibadah dan hukum syar’i.

Itu pula sebabnya, ia meminta agar dalam menyikapi persoalan hisab rukyat dilihat sebagai hikmah. Artinya, dengan adanya perbedaan metodologi ini umat Islam hendaknya berlomba-lomba dalam menentukan awal bulan, entah melalui hisab atau rukyat. Ini yang namanya fastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan. Dan yang tak kalah penting adalah saling menghormati.

***

Sejalan dengan Masdar, Bahtiar Effendy menganggap bahwa perbedaan hisab dan rukyat sesuatu yang wajar dan hendaknya diterima dengan penuh toleransi. Baik hisab maupun rukyat merupakan cara-cara yang diajarkan Islam untuk menentukan awal bulan kamariah, seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.

Sementara itu, A. Mustafa Bisri menganggap bahwa hisab dan rukyat merupakan dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya memiliki epistemologi dan metodologi yang berbeda. Karena itu, biarkan keduanya berjalan sesuai epistemologi dan metodologi yang diyakini.

Baca Juga  Ilmu Hisab dan Sunnah Rasul

Pengguna hisab tidak mungkin mengubah model yang dikembangkan  berdasarkan manhaj yang dimiliki. Begitu pula pengguna rukyat tidak mudah memalingkan nas yang telah diyakini. Ia kemudian berkeyakinan bahwa sampai kiamat perbedaan antara hisab dan rukyat tidak akan dapat dipertemukan.

Editor: Yahya FR
Avatar
47 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds