Feature

Ibu adalah Pahlawanku, Bukan Kartini

7 Mins read

Kartini adalah pahlawan nasional. Meskipun aku tidak pernah merasakan kehebatannya. Hidup dari keluarga ningrat, serba tercukupi, pendidikan terjamin, berkenalan dengan orang-orang hebat. Sangat pantas dia mampu menyuarakan kebenaran. 

Kartini mampu menangkap penderitaan perempuan-perempuan pada waktu itu. Kemudian  menyuarakannya. Hingga banyak didengar orang. Habis gelap terbitlah terang, sebuah spirit positif menyikapi permasalahan hidup.  Dibalik keterpurukan pasti ada jalan keluar. 

Namun, perjuangan Kartini hanya sebatas teriakan. Hingga akhir hayatnya belum mampu menciptakan sebuah perubahan. Bahkan teriakannya tidak sampai ke daerah terpencil, tempat aku dilahirkan. Kalimantan Timur, kota Balikpapan.

Masa Kecil Menderita

Semua orang boleh menganggap Kartini sebagai pahlawan, tapi tidak bagiku. Sosok pahlawan yang kukenal adalah Ibu. Yah, ibuku sendiri.

Wanita malang, yang punya tekad dan mimpi. Sekarang ia sedang menikmati mimpinya itu. 

Pada saat usia kandungan tiga bulan, berangkatlah seorang Wanita ke Kalimantan Selatan untuk menemui suaminya. Sesampainya di sana, pecah perang Jepang. Akhirnya dia tidak dapat kembali ke tanah Jawa. 

Bertahanlah wanita tersebut di Barabai, daerah kecil yang sampai sekarang tidak maju-maju. Dia menetap di sana sampai bayi yang dalam kandungan lahir. Sayangnya kebahagiaan  tidak bertahan lama. Suami penopang hidup sakit dan meninggal. 

Wanita tersebut harus hidup sebatang kara bersama anak perempuan yang masih kecil. Kembali ke Jawa tidak memungkinkan. Keadaan negara tidak jelas. Dengan modal fisik, ia terpaksa bertahan hidup. Dagang sayur di pasar. Sembari menggendong si kecil. Dialah Ibuku.

Di umur yang masih belia (12 tahun), ia dinikahkan dengan seorang pemuda. Jarak umur kurang lebih 13 tahun. Kalau KPAI ada, pemuda tersebut pasti dicekal. Dia pasti dianggap pedofil. Bahkan dianggap seperti Syeikh Pudji. Pasti dicemooh. 

Dalam sejarah diceritakan, ketika Rasulullah saw pulang ke rumah, dia masih melihat Aisyah ra bermain boneka dengan teman sebayaa. Beliau tidak memanggilnya. Beliau masuk ke rumah dan membiarkan istrinya menikmati bermain. 

Sama seperti Bapak. Ketika pulang terkadang ibu tidak di rumah. Masih asyik bermain dengan teman-teman sebaya. Bahkan ngumpet di rumah tetangga. Tidak mau pulang. Ibu selalu cerita, Bapakmu itu orangnya sabar. 

Aku sangat paham. Bapak sangat sabar. Tidak pernah sekalipun memukul anaknya. Mencubit juga tidak pernah. Justru Ibuku yang galak. Mencubit adalah salah satu cara membuat aku dan kakakku rajin shalat. Cara itu efektif membuat anaknya taat ibadah. 

“Sebelum Ibu dan kamu disiksa di akhirat, mending kamu kucubit di dunia”, kalimat ini selalu terngiang di otak. Memar di paha dan biru di lengan adalah hari-hari indah semasa kecil belajar membaca Al-Qur’an

Ibu tidak sempat menikmati masa kanak-kanak sebagaimana anak-anak saat ini. Ibu harus mengorbankan dirinya sendiri dengan laki-laki yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Bahagia atau tidak, aku tidak berani bertanya tentang itu. Namun yang jelas Bapak penopang keluarga. 

Baca Juga  Mamak: Kasih Ibu Melintas Batas

Petaka itu Terjadi

Bapak, termasuk laki-laki yang beruntung. Kerja di perusahaan minyak. Duit bejibun. Mungkin salah satu alasan kenapa Ibu dinikahkan dengan Bapak adalah faktor ini, duit. Kehadiran Bapak merubah bandul ekonomi keluarga. Sedikit lebih baik. 

Ketika aku masih kecil, kelas satu SD, Bapak dipecat dari perusahaan. Soktak kehidupan keluarga berubah total. Guncangan ekonomi mulai dirasakan. Ibu mengambil alih roda ekonomi keluarga. 

Aku anak terakhir dari enam bersaudara. Kakak pertama baru masuk S1. Ibu tidak pernah lulus Sekolah Rakyat. Syukur bisa menghitung dan membaca. Dua modal itulah yang digunakan untuk berjuang menghidupi keluarga. 

Semasa hidup Bapak tidak pernah mau makan kalau Ibu tidak masak sendiri. Sikap Bapak yang dianggap patriarki tersebut akhirnya menyelamatkan hidup keluarga kami. Ibu jadi pintar memasak. 

Bapak hanya bisa mengetik, menulis, dan membaca. Tidak paham dapur. Untung peduli. 

Ibu tanpa pikir panjang membuka warung sayur. Setiap pagi berdagang ke pasar. Mirisnya Bapak tidak bisa naik motor. Akhirnya ibu harus berjuang ke pasar sendiri. Pulang dengan dagangan seabrek. Bapak hanya di rumah, menunggu dagangan datang. 

Pendapatan dari warung tidak cukup. Akhirnya buka warung makan kecil-kecilan. Ibu masak, bapak hanya sekedar membantu. Begitulah cara Ibu berjuang menghidupi rumah tangga, hingga keenam anaknya lulus kuliah S1. 

“Meskipun tidak lulus sekolah, tapi anak-anak harus lulus semua”, itulah pesan Ibu. Tekad dan mimpi inilah yang menyemangati Ibu. Bapak, yang diam melihat keadaan, tidak menjadi rintihan batin Ibu. Mungkin Bapak depresi. 

Ibu sempat ingin jadi TKI. Untung diurungkan niatnya. Bapak sempat mendaftar transmigrasi ke Sumatera. Namun dibatalkan. Sudah terbiasa pegang pena, pegang cangkul tidak bisa. Dagang sayur dan buka warung pilihan realistis. Memilih yang pasti, mungkin lebih baik. Meninggalkan keraguan adalah pilihan tepat, daripada mengkhayalkan kesuksesan, tapi tidak jelas. 

Pengorbanan Ibu untuk pendidikan tidak terhitung. Dijual tanah satu petak untuk biaya kuliah. Rumah juga ludes. Sampai kuliah anak terakhir, harus merelakan sebuah rumah.

“Harta habis gak papa le, asal anaknya pintar dan sholeh. Lebih baik meninggalkan anak yang cerdas dan sholeh, daripada meninggalkan banyak harta. Dengan ilmu kamu bisa hidup. Dengan harta kamu belum tentu hidup”, itulah pesan Ibu. 

Belajar Tidak Pernah Pupus

Coba bayangkan, di tengah kesibukan berdagang, Ibu selalu menyempatkan mengajar ngaji. Setiap sore mengundang ibu-ibu di kampung untuk mengaji. Ibu-ibu malas yang tidak hadir dijemput. Hal itu dilakukan tanpa pamrih, bahkan harus mengeluarkan uang sendiri. 

Memberantas buta aksara Al-Qur’an dilakukan dilakukan dengan senang hati. 

Ibu tidak paham Muhammadiyah atau NU. Hal penting baginya hanyalah mengajak orang berbuat baik. Di sela-sela ngaji baru disisipkan prinsip-prinsip berkeluarga. Diajarkan peran seorang ibu dalam menghadapi badai. Seorang ibu harus kuat, harus sabar. Jangan hanya menuntut. Begitulah cara Ibu berjuang di kampung. 

Baca Juga  KH Ahmad Dahlan itu Penganut Salafi Modernis

Di tengah kehidupan ekonomi yang tidak begitu beruntung, Ibu masih sempat ngopeni anak orang. Kalau dihitung ada enam anak yang diasuh, selain enam orang anaknya sendiri. Mulai dari kecil sampai menikah. Anaknya jadi banyak. Semua rukun. Sekarang Ibu menikmati hasilnya. 

Di Sulawesi Selatan ada anak. Di Semarang ada anak. Mau ke Blitar ada anak. Mau ke Jakarta ada anak. Mau ke Jogja ada anak. Di Sumatera yang belum ada anak. Ibu cuma sms di grup keluarga, tiba-tiba tiket sudah terbeli. Uang saku  sudah ditransfer. Betapa nikmatnya kehidupan Ibu di hari tuanya. 

Bahkan di umur yang sudah mendekati 60 tahun masih ikut belajar di AMM. Ikut lomba qira’ah antar guru TPA. Dapat juara III. Lumayan untuk ukuran seorang nenek yang telah memiliki  20 orang cucu.

The Real Hero

Pada saat lulus SMA, aku memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Karena tidak ada biaya. Ibu marah besar mendengar keputusanku. “Setiap anak ada rezekinya” tegas Ibu. “Kalau kamu mau kuliah, jangan pikirkan biaya. Kalau memang rezekimu jadi dokter, insya Allah ada rezeki yang mengalir ke tangan Ibu.” 

Meskipun pilihan kuliah di kedokteran tidak berhasil, tapi ungkapan Ibu menjadi kenyataan. Ketika aku kuliah, rezeki Ibu bertambah. Sebelumnya cuma punya satu rombong keripik, meningkat menjadi tiga. Bukan hanya itu, berhasil membeli kantin di Pangdam. 

Ajaibnya, setelah aku menikah semua bisnis itu bangkrut. Dagang kaki lima anjlok drastis. Digusur Satpol PP. Kantin di sekolah dan Pangdam tidak laku. Terpaksa dijual semua. 

“Le, semua bisnis Ibu tidak ada. Sekarang kamu sudah menikah. Berarti rezeki bergeser ke tanganmu. Sekarang cari rezeki itu, jangan malas.” Inilah pesan Ibu ketika aku menikah. 

Ketika jamaah pengajian Ibu bertambah jumlahnya, ada saja ustadz yang takut eksistensinya terganggu. Hasutan, tuduhan, dan ancaman ditujukan kepada Ibu. “Ibu tidak pernah takut dengan ancaman. Kalau benar, tidak ada kata munur. Ibu hanya takut kepada Allah”. Belakangan ustadz tersebut menderita sendiri. 

Sampai sekarang aku tidak diperkenankan berkunjung ke kampung halaman Ibu di Cepu. “Sebaiknya kamu tidak usah kesana” ungkap Ibu. 

Aku semakin penasaran. Kutanya kakak yang pernah menemani Ibu ke sana. Ternyata tidak ada satupun keluarga tersisa. Hanya bekas sejarah tertinggal. Rumah besar tua yang kini jadi milik orang. 

Di dalam rumah tersebut ada bekas petilasan kakek buyut. Pada malam-malam tertentu di kampung tersebut masih terdengar sayup suara orang mengaji dan berzikir. Konon, kata orang, dulu pernah ada pesantren kecil di sini. Ibu adalah salah satu keturunan pendiri pesantren tersebut. 

“Memang sebaiknya tidak perlu mengenang masa lalu, yang terpenting siapa kita saat ini”, pesan Ibu padaku. 

Ibu memang pahlawan bagi keluarga. Di mata anak-anak, Ibu bukan hanya sekedar Ibu, tapi seperti wali. Orang suci. Suatu ketika salah seorang kakak perempuan pernah masuk ruang operasi. Bayi yang dikandung terlalu besar. “Tidak bisa lahir dengan normal”, prediksi seorang dokter. 

Baca Juga  Melampaui Kartini (2): Siti Walidah, Perintis Gerakan Perempuan Islam Indonesia

Diberi pil pemacu kelahiran, tapi gagal. Cara vacuum juga dilakukan, tapi sia-sia. Kakak sudah tidak kuat. Merintih kesakitan. Sementara suami tidak berani berada di ruang bersalin. 

Ketuban sudah pecah. Suasana semakin genting. Dokter memutuskan harus segera diambil tindakan, caesar. 

Mendengar itu Ibu tidak tega. Segelas air putih diletakkan di depan sajadah. Shalat dua rakaat dipanjatkan kepada Allah. Setelah itu, disautnya gelas tadi sembari membaca Al-Fatihah. Kemudian Ibu lari ke ruang operasi. 

“Dok, saya minta waktu dua menit. Saya mau meminumkan air ini,” teriak Ibu. 

Masuklah Ibu ke ruang operasi. Diminumkan air tersebut. Setengahnya diusap ke perut dan jalan keluar bayi. Tidak sampai dua menit, bayi tersebut keluar dengan sendirinya. Selamat. Disaksikan bidan dan dokter kandungan. Ibu hanya bisa sujud syukur, dan menangis. 

Kehebohan terjadi di rumah sakit. Semua orang bertanya resep apa itu. “Boleh minta. Kasih donk Bu resepnya,” gemuruh para bidan terheran-heran. Ibu tidak bisa berkata-kata. Semua orang menganggap Ibu orang sakti. Sementara Ibu heran mengapa hal itu bisa terjadi. 

Akhirnya jadi tradisi. Setiap ada anak dan cucu, yang mau melahirkan pasti minta air segelas dari Ibu. Padahal cuma air biasa. Padahal cuma Al-Fatihah. Tidak ada amalan lainnya. 

Suatu ketika datang seorang wanita sahabat pedagang kaki lima ke rumah. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Kondisinya sangat memprihatinkan. Kurus, tidak terawat, lemah, tidak berdaya. Ternyata dia sakit keras. Bertahun-tahun berobat tidak sembuh. 

Kata dokter tipes. Kata lainnya maag akut. Rumah dijual, harta ludes semua untuk berobat. Dia datang cuma ingin diurut Ibu. Dia mendengar dari orang Ibu bisa mengurut. 

Sambil mengaji, dipeganglah pundak wanita sakit tersebut. Tiba-tiba dia teriak kesakitan. Menjerit histeris. “Jangan pegang aku…” teriak meronta kesakitan dan kepanasan. Ternyata dia diguna-guna. 

Ibu semakin keras membaca Al-Fatihah, ayat kursi, dan ayat-ayat lainnya. Dipegang kuat, diremas, sambil ditusuk-tusuk dengan jari. “Keluar kamu, keluar…” teriak Ibu. Akhirnya lemes lah si jin. Dia mengaku disuruh seseorang untuk menghabiskan harta si sakit tadi. 

Sebulan si sakit tadi di rumah. Belajar ngaji, shalat, dan agama. Akhirnya sembuh. Ibu dianggap orang sakti di kampung. Akhirnya banyak orang ke rumah, berobat. Minta diruqyah. Mulai dari orang dayak sampai guru ngaji yang kesurupan. Semua takluk di tangan Ibu. 

“Ibu takut dianggap dukun,” ungkapnya padaku dan anak-anaknya. Akhirnya Ibu pindah dari kampung tersebut. Dia tinggalkan kemuliaan, memilih jalan wanita normal pada umumnya. 

Demikian kisah Ibu. Dialah pahlawan yang kukenal. Dia idolaku. Inspirasi kehidupan keluargaku. Bukan Kartini. Siapa pahlawanmu?

Editor: Yahya FR
Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Feature

SHARIF 1446/2024 dan Masa Depan Kalender Islam Global

4 Mins read
Pada hari Rabu-Jum’at tanggal 18-20 Jumadil Awal 1446 bertepatan dengan tanggal 20-22 November 2024 diselenggarakan Sharia International Forum (SHARIF) 1446/2024 di Hotel…
Feature

Basra, Mutiara Peradaban Islam di Irak Tenggara

2 Mins read
Pernahkah kamu mendengar tentang kota di Irak yang terkenal dengan kanal-kanalnya yang indah, mirip seperti Venesia di Italia dan dijuluki dengan Venesia…
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds