Kiai Haji Mas Mansur memang seorang yang bijaksana. Diajukannya usul ke Hoofdbestuur untuk mengangkat KH Hisyam, KH Syuja’ dan KH Mochtar menjadi ketua-ketua majelis. Usul itu mendapat sambutan baik dan diterima. Maka dengan demikian KH Syuja’ ditetapkan menjadi Ketua Majlis PKU, KH Mochtar Ketua Majlis Tabligh, dan KH Hisyam menjadi Ketua Majlis Pengajaran; hanya mereka tidak menjadi anggota Pengurus Besar atau Hoofdbestuur.
Kebijaksanaan KH Mas Mansur seperti itu bukanlah disebabkan karena baik hatinya. Atau bukan pula karena adanya maksud untuk mengambil hati ketiga orang tersebut dan tidak pula untuk menghibur hati. Akan tetapi, kebijaksanaan tersebut karena pertimbangan yang objektif semata-mata. Tiga orang tersebut memang mempunyai keahlian serta pengalaman dalam bidangnya masing-masing tersebut di atas.
Namun, orang-orang di sekitarnya memang mengatakan bahwa Ketua Pengurus Besar yang sekarang adalah orang yang ber-tepa slira, pandai menghormati serta menghargai kawan. Yang demikian itu menjadikan KH Mas Mansur lebih popular terhormat.
Menjabat Ketua Pengurus Besar
Bagaimana kehidupan di Yogyakarta selama menjabat Ketua Pengurus Besar? Apakah persyarikatan membiayai dia dengan memberikan honorarium tetap selaku Ketua? KH Mas Mansur memiliki istri dan putra-putra, dan karena jabatannya harus pindah sekeluarga ke Yogyakarta. Wajarkah andaikata Muhammadiyah menanggung biaya hidup mereka?
Masalah itu baru untuk pertama kalinya dialami oleh Pengurus Besar yang jalan fikirannya seratus persen bergerak dalam Muhammadiyah itu harus mutlak lillahi ta’ala, tidak pantas menerima uang kecuali ongkos jalan bagi para muballigh dan utusan. Dan pada umumnya, menurut jalan fikiran yang berkembang pada waktu itu, yang dinamakan ikhlas adalah tidak menerima biaya untuk pribadi apapun alasannya.
Dengan demikian, maka seorang muballigh atau aktivis Muhammadiyah tidak pantas menerima honorarium untuk penegak periuknya. Mereka harus berkorban sebisanya, ala kadarnya dan menurut kemampuannya. Yang wajar menerima honorarium atau gaji hanyalah tenaga kantor dan guru-guru Muhammadiyah, sebab mereka bekerja sepenuh hati dan para murid ditarik uang sekolah.
Menjadi Guru di Mu’allimin
Alhamdulilah, bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah telah berhasil mengatasi masalah itu dengan baik dan terhormat. Terhormat bagi pribadi KH Mas Mansur sendiri. Yaitu, dengan jalan beliau diberi jabatan sebagai guru Madrasah Mu’allimin dengan memperoleh honorarium sebagai guru. Selesai mengajar, kira-kira jam 10 pagi, beliau terus berangkat ke Kantor Pengurus Besar untuk berfungsi sebagai ketua.
Tetapi, nyatanya jabatan sebagai guru itu benar-benar bermanfaat terutama bagi pelajar Mu’allimin yang disiapkan untuk menjadi guru dan pemimpin Muhammadiyah. Mata pelajaran Ilmu Tauhid yang diberikannya sangat bermutu dan mampu mengungkap fikiran pelajarnya. Mereka dituntunnya berfikir rasional dan filosofis tentang mengungkap dan merumuskan sifat-sifat Ketuhanan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang perbedaan antara sifat (attribute) dan ‘aradh (accident) yang menjadi dasar bagi ungkapan tentang perbedaan antara Khaliq dan Makhluq seperti firman Allah: Laisa ka mitslihi syaiun; yang semua itu dilandasi dalil naqli dan ‘aqli. Dengan demikian beliau telah untuk pertama kalinya memberi bentuk theologi pada mata pelajaran Ilmu Tauhid yang selama itu diberikan di Madrasah Mu’allimin.
Memang KH Mas Mansur seorang guru yang ahli dan berpengalaman. Di Surabaya dia memimpin sebuah madrasah warisan ayahnya. Tetapi dia juga seorang pembicara yang cemerlang. Semua pidatonya baik dalam muktamar atau tabligh umum, selalu berisi butiran-butiran mutiara ilmu yang sangat tinggi nilainya, diuraikan dengan tertib dan gamblang.
Tentang Dua Sosok Mansur
Dalam dunia Muhammadiyah, ada dua orang Mansur yang terkenal, yaitu KH Mas Mansur dan H AR Sutan Mansur, Konsul Hoofdbestuur daerah Sumatera Barat. Keduanya ahli berpidato dan memiliki keistimewaan dalam bidangnya masing-masing, seperti dikatakan oleh Hamka dalam pidatonya dalam resepsi penutupan Konperensi Muhammadiyah Daerah Sumatera Timur di kota Binjai pada tahun 1940.
Hamka berkata: “Kalau kita mendengar pidato Sutan Mansur, jiwa kita merasa terketok dengan keras dan timbulah semangat yang menyala-nyala. Tetapi kalau saya mendengar pidato Kiai Mas Mansur, maka tidak sengaja tangan saya meraba-raba mencari pensil dan kertas untuk mencatat butiran-butiran ilmu yang keluar dari lisannya.”
Seorang pemimpin, terutama pemimpin Muhammadiyah, sedapat mungkin harus memiliki keahlian berpidato untuk menjelaskan sesuatu dengan gamblang dan menarik perhatian. Seni ini dapat diperlajari dan dilatih. Berpidato untuk menaikkan semangat dan gairah dan untuk meresapkan pengertian dan ilmu pengetahuan yang perlu dipahami dan diresapi oleh umat. Dengan demikian, gelora dan semangat umat itu dapat dituntun oleh kesadaran dan pengertian, sehingga dengan mudah dapat dibimbing dan diarahkan.
Sejarah telah membuktikan, di mana saja, pidato-pidato pemimpin rakyat selalu mampu mengubah keadaan, karena mampu menggerakkan rakyat untuk menciptakan keadaan itu. Dalam dunia Muhammadiyah, para pemimpin seperti Fachrodin, KH Mas Mansur, Sutan Mansur, dan Hamka dapat menjadi bukti.
Pribadi yang Disiplin
Sebagai seorang Ketua Pengurus Besar, KH Mas Mansur termasuk pemimpin yang ketat disiplinnya, terutama dalam menetapi waktu bersidang, sesuai dengan waktu yang tersebut dalam undangan. Pernah beberapa kali dia membatalkan rapat karena pada saat yang ditentukan yang hadir masih jauh daripada cukup. Peristiwa ini berhasil menimbulkan kesadaran kawan-kawannya yang menyebabkan bertambah lancarnya persidangan karena dapat dimulai tepat pada waktunya.
Sebelum KH Mas Mansur memegang tampuk pimpinan telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang daerah yang pergi ke Yogyakarta untuk urusan organisasi dengan Pengurus Besar, tidak menuju ke kantor tetapi ke rumah ketua atau salah seorang anggota Pengurus Besar. Biasanya ke rumah H Syuja’ atau KH Mochtar dan biasanya mencukupkan segala urusannya di situ. Tetapi KH Mas Mansur tidak menghendaki hal seperti itu berlangsung terus karena dapat melemahkan disiplin dan nilai organisasi. Antara urusan silaturahmi dan urusan organisasi harus ditarik garis yang tegas.
Memang rumah KH Mas Mansur selalu terbuka bagi setiap tamu terutama tamu Muhammadiyah dan dia selalu ramah dalam menerima tamunya. Tetapi, begitu tamunya menyampaikan maksud kedatangannya seperti menyerahkan surat undangan konperensi atau meminta kehadiran salah seorang anggota Pengurus Besar, atau kehadiran muballigh untuk peringatan Isra’ Mi’raj, misalnya atau pengesahan daerah atau cabang atau hal-hal lain yang ada hubungannya dengan administrasi, pasti tamu itu dimintanya datang ke kantor esok harinya.
Membedakan Urusan Pribadi dan Organisasi
Menurut fikiran KH Mas Mansur, apa gunanya dibangun kantor yang lengkap dengan peralatan administrasi dan petugasnya, lengkap dengan kamar para ketua dan sekretaris serta ruang tamu, kalau orang lebih suka mendatangi rumah anggota Pengurus Besar di rumahnya untuk mengurus persoalan organisasi? Kalau maksudnya untuk sambil bersilaturahmi apakah tidak dapat lebih dahulu ke kantor menyelesaikan urusannya kemudian berkunjung ke rumah untuk bersilaturahmi? Atau apakah silaturahmi itu hanya dilakukan apabila bersamaan dengan urusan organisasi, kalau tidak ada, maka tidak perlu silaturahmi?
Apa yang disebut di atas itu adalah salah satu hal baru yang diresapkannya dalam adat kebiasaan anggota Pengurus Besar yang lama. Kantor adalah tempat bekerja menyelesaikan segala sesuatu tentang persyarikatan, tempat rapat, menjadi semacam markas dan tempat menerima tamu dinas atau tamu resmi. Maka sudah seharusnya setiap Pimpinan Persyarikatan dari pusat sampai ke ranting mampu memiliki dan menggunakan kantornya masing-masing. Urusan Muhammadiyah bukanlah urusan pribadi tetapi urusan bersama dan formal.
Memang pemisahan urusan pribadi dengan urusan formal Muhammadiyah sangat nyata tercermin dalam tindakan KH Mas Mansur. Dan itu dilaksanakannya dengan konsekuen, begitu konsekuen sehingga kejadian seperti yang akan diceriterakan di bawah ini mungkin tidak akan berlaku pada orang lain.
Tabah Menghadapi Cobaan
Ketika Kongres Muhammadiyah ke-28 di Medan baru saja berlangsung, datang telegram kepedanya yang isinya mengabarkan bahwa istri mudanya yang tinggal di Surabaya meninggal dunia! Kita dapat bayangkan bagaimana terkejut, susah, dan masygul-nya KH Mas Mansur ketika membaca berita itu.
Mungkin kalau terjadi pada orang lain tentu buru-buru memberitahukan kemalangan itu kepada teman-temannya dan sekaligus pamit pulang. Tetapi tidak demikian dengan KH Mas Mansur. Dia tetap tenang, menarik nafas, dan terdiam. Dan sebentar kelihatan wajahnya muram. Kawan-kawannya sesama anggota Pengurus Besar tidak diberitahunya tentang kemalangan itu.
KH Mas Mansur tetap menghadiri semua sidang dan rapat dalam kongres, pidatonya tetap tertib dan bermutu dan buah fikirannya tetap cemerlang. Matanya tetap bersinar dan bercahaya dan senyum tetap tersungging di bibirnya. Setelah Kongres selesai barulah berita itu disampaikannya kepada kawan-kawannya dan barulah matanya tergenang oleh air mata.
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un”, itulah seru kawan-kawannya dengan terkejut penuh duka disertai rasa takjub atas ketabahan dan tawakal KH Mas Mansur.
Sumber: Matahari-matahari Muhammadiyah karya Djarnawi Hadikusuma.
Editor: Arif