Perspektif

Pandemi dan Geliat Penerbit Buku

3 Mins read

Kebijakan sangat penting menyangkut pembangunan peradaban manusia di masa datang tapi sangat disepelekan adalah budaya membaca. Budaya membaca hanya bisa digenjot dengan lebih baik manakala disediakan bahan bacaan yang mencukupi. Diantara layanan penyedia itu adalah keberadaan penerbit buku.

Mengapa ini menjadi penting? Karena penerbit buku di Indonesia selama ini dilematis. Ia memang disadari menyumbang pengembangan peradaban masyarakat di masa datang tetapi keberadaannya selalu dihimpit kesulitan yang tak kunjung usai. Entah soal pembajakan, budaya baca yang belum tinggi karena pasarnya berbudaya tonton dan dengar, minimnya peran negara dan acuhnya masyarakat terkait itu. Ini belum termasuk posisi penulis buku yang tidak berdaya di tengah itu semua.

Tetap Menggeliat

Kenyataan di atas diperparah lagi dengan munculnya pandemi covid-19. Saat ini penjualan buku di Indonesia mengalami penurunan sekitar 40-70 persen. Bahkan di Malaysia penjulannya mengalamai penurunan drastis sekitar 80-90 persen. Diperparah lagi karena seluruh toko buku di negara tersebut tutup. Beberapa penerbit bahkan mengalami kebangkrutan (Kompas, 4/5/20).

Apakah keadaan itu akan dibiarkan? Kita sadar bahwa buku itu penentu peradaban tinggi manusia. Ini tidak dipungkiri. Tetapi hal itu sering berhenti di wacana karena tak ada tindakan serius. Ini juga menyangkut kebijakan negara.

Banyak penerbit buku sekarang memanfaatkan media online untuk penjualan. Ini cara penjualan yang tidak bisa dihindarkan. Tak mungkin mereka mengandalkan penjualannya pada toko  buku. Kalaupun toko buku buka, masyarakat yang membelinya juga jarang yang keluar ke toko buku. Tak ada pandemi saja daya beli masyarakat ada buku rendah, apalagi saat muncul virus covid-19.

***

Apakah penjualan akan beralih ke buku elektronik? Ini sangat mungkin tetapi masih sulit dilakukan. Mengubah buku cetak menjadi buku elektronik tidak mudah. Tentu ini membutuhkan biaya yang besar. Juga belum tentu semua penerbit mempunyai kemampuan untuk itu. Lagi, kebiasaan membaca masyarakat yang beralih dari membaca “manual” ke e-book tak gampang. Ini menyangkut budaya baca pula.

Baca Juga  Pandemi Corona Picu Gejala OMB: "Orang Miskin Baru"

Dalam waktu panjang mungkin itu akan menjadi alternatif penerbit untuk menerbitkan buku online. Penerbitan buku online itu sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat budaya baca yang tinggi di masyarakat. Melihat budaya baca masyarakat yang masih sangat rendah, beralih ke buku online bukan pilihan yang paling tepat, tetapi tetap penting untuk dipikirkan dan dilakukan.

Jika kita melihat kenyataan di masyarakat, mereka sering hanya mau untungnya saja. Buktinya, pembajakan buku masih marak di mana-mana. Maka, tak banyak penulis yang mau beralih ke penerbitan buku online. Menulis buku tercetak saja banyak dibajak apalagi buku online? Kita masih berada di Indonesia. Tidak saja penulis yang rugi tetapi juga penerbit dan toko-toko buku. Pembajakan sudah menjadi mata rantai ekonomi yang tidak mudah untuk diurai.

Kebijakan Negara

Dalam situasi ini sebenarnya peran pemerintah sangat tinggi. Pembajakan buku misalnya tanpa ada political will (kemauan pemrintah) tak akan bisa diatasi. Mengapa harus pemerintah? Karena pemerintah yang mempunyai dana, tenaga, dan aparat. Tanpa itu semua, pembajalan buku akan terus merajalela. Jadi, jika kita serius untuk membangun peradaban buku sangat mudah. Berantas saja mafia pembajakan buku. Jika pembajakan buku ini bisa diatasi, hal lain akan mudah dilakukan. Kunci utamanya ada di sini.

Jika pemerintah abai, jangan harap peradaban bangsa ini akan tumbuh dengah pesat ke budaya tinggi di masa datang. Kita hanya akan selalu berurusan dengan kebutuhan hidup masyarakat, pembangunan fisik dan pencitraan lain. Tak ada cara lain kecuali melakukan revolusi.

Kenapa harus pemerintah?  Karena negara ini kaya. Pajak juga banyak. Hanya pengelolaan keuangan negara yang tidak tepat membuat pengeluaran anggaran tidak pada tempatnya. Dan itu semua sudah mendarah daging.

Baca Juga  Beli Baju Lebaran, Keinginan atau Kebutuhan?
***

Bagaimana peran pemerintah negara lain dalam soal ini? Dalam masa pandemi saja kita bisa bandingkan dengan negara lain. Ini soal contoh kecil. Perpustakaan nasional Ceko harus membeli buku elektronik sebesar 370 ribu euro selama masa pandemi. Pemerintah Inggris memberikan dana ke perpustakaan umum senilai 1 juta pound sterling. Irlandia mengeluarkan anggaran tambahan 200 ribu euro untuk pembelian 5 ribu buku elektronik dan audio untuk perpustakaan umum. Apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah kita?

Memang persoalan perbukuan di Indonesia itu sangat kompleks. Tak bisa saling menyalahkan. Namun, sebuah peradaban masyarakat tidak akan bisa dicapai dengan kemajuan pesat manakala tak ada sentuhan kebijakan pemerintahnya.

Pandemi ini memang telah “meluluhlantakkan” sejumlah penerbit. Sudah berbagai macam cara dilakukan, termasuk penjualan buku online. Tetapi ini hanya sekadar berusaha untuk mempertahankan hidup. Sementara penerbit juga membutuhkan investasi untuk mengembangkan penerbitannya yang lebih baik di tengah gempuran perkembangan teknologi  yang kian pesat. Untuk itu, negara wajib hadir dalam usaha membangun peradaban. Salah satunya bagaimana mempertahankan dan meningkat literasi di masyarakat. Sebuah pilihan yang sulit tetapi menjadi keniscayaan.

Editor: Yahya FR
Avatar
4 posts

About author
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Muhammadiyan Malang (UMM); kolomnis dan penulis puluhan buku. Ia juga seorang trainer kepenulisan.
Articles
Related posts
Perspektif

Kurikulum Merdeka adalah Kunci Kemajuan Pendidikan Masa Kini

4 Mins read
Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei (HARDIKNAS) merupakan momentum bagi setiap insan pendidikan untuk memperingati kelahiran pelopor Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara….
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *