Pandemi yang sudah berlangsung beberapa minggu ini atau bahkan sudah masuk berbulan-bulan, tak pernah terbayangkan di tahun sebelumnya. Banyak efek yang ditimbulkan akibat pendemi covid-19, baik dari sisi ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakat, bahkan agama. Saya sempat berharap pandemik yang mulai di minggu ke-3 bulan Maret 2020 (dimulainya saya WFH) ini akan berakhir di awal Mei, ya waktu itu bertepatan dengan pertengahan bulan Ramadan 1441 H. Nyatanya, harapan itu tidak terwujud.
Ramadan hari ini memasuki hari ke-20. Artinya, besok adalah malam ke-21 yang dalam Islam ada syariat iktikaf. Kebiasaanya, antusias muslimin di bulan Ramadan dalam meramaikan masjid semakin meningkat, tentu ini berlaku pada tahun sebelumnya. Tahun ini tampak berbeda, kaum muslim dituntut menjalankan puasa yang berarti ‘menahan’ tidak hanya sekadar menahan lapar, dahaga, dan nafsu, melainkan menahan diri untuk tidak banyak berinteraksi fisik atau menghindari keramaian.
Hal ini dilakukan demi mengurangi tertularnya virus covid-19. Namun demikian, kaum muslim tetap bisa saja produktif dengan cara WFH (Work from Home), atau barangkali masih tertuntut untuk WFO (Work from Office). Kita harus menjalani ini sebagai penghargaan juga untuk para tenaga medis yang berjuang di garda terdepan melwan pandemi.
Tak jarang kiranya ketika Ramadan lalu kita mendengarkan ceramah yang mengandung humor, namun juga menjadi fenomena muslim di Indonesia khususnya, yaitu “Jika Ramadan sudah mendekati akhir, maka saf-saf masjid mengalami kemajuan, artinya semakin sedikit jamaahnya karena berpindah ke tempat-tempat perbelanjaan guna membeli pakaian baru untuk lebaran.”
***
Sepertinya fenomena ini tidak berlaku tahun ini, jangankan di akhir, dari hari pertama Ramadan sudah dianjurkan untuk mengosongkan saf, artinya ibadah di Rumah Saja.
Sepuluh hari terakhir Ramadan, syariat iktikaf dengan keutamaanya menjadikan insan pilihan untuk tidak melewatkannya di setiap tahunnya. Apakah tahun ini iktikaf menjadi harapan yang pupus? Layaknyak, mari kita pahami fikih iktikaf.
Secara bahasa, dalam kamus al-Misbah al-Munir dan Lisanul Arab, iktikaf artinya mendiami suatu tempat. Karenanya, setiap orang yang menetap di masjid untuk melakukan ibadah disebut dengan muktakif (orang yang beriktikaf). Landasan hukum syariat iktikaf pada bulan Ramadan adalah hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, “Nabi beriktikaf setiap bulan Ramadan selama 10 hari. Pada tahun di mana beliau wafat, beliau melakukannya selama 20 hari”. Utamanya, iktikaf dilakukan di 10 hari terakhir Ramadan, yaitu berdasakan hadis Aisyah riwayat Bukhari-Muslim.
Ketika memahami hadis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa iktikaf mengharuskan pelakukanya untuk ‘menetap di masjid’ artinya tidak beranjak dari tempat tersebut sampai dengan waktu yang ditentukan, yaitu 10 hari terakhir Ramadan. Apakah ini bisa kita sebut karantina? Tentu pertanyaan tersebut berkaitan dengan konsekuensi lainnya, seperti protokol kesehatan, dan izin pejabat yang berwenang.
Iktikaf menjadi wajib, ketika seseorang sudah menazarkannya. Misalnya, seseorang sudah bernazar sebelum pandemi ia akan mengikuti seleksi pegawai di instansi penting, jika lolos ujian di tes tahap I bernazar iktikaf tiga hari atau lima hari atau lebih. Umar bin Khattab pernah berkata kepada Rasulullah tentang persoalan nazar iktikaf, “Wahai Rasulullah, pada waktu Jahiliyah aku pernah bernazar untuk beriktikaf satu hari di Masjidil Haram, bagaimana?” Nabi menjawab, “Laksanakanlah nazarmu dan beriktikaflah satu malam!” Dalam kaidah usul fikihnya, segala bentuk ‘al-amru’ perintah maka hukumnya wajib dilaksanakan. Secara fikih, kewajiban jika dikerjakan mendapatkan pahala, jika ditinggalkan mendapatkan dosa. Lantas, apakah harus melakukan iktikaf Ramadan ini juga meskipun di tengah pandemi?
***
Persoalanya, bagaimana jika tidak dimungkinkan memenuhinya, dengan sebab pandemi ini? Disebutkan dalam hadis Sahih, Nabi saw. pernah beriktikaf pada sepuluh akhir bulan Syawal sebagai pengganti iktikaf yang tidak beliau lakukan pada bulan Ramadan. Dari hadis tersebut, kita dapat berhikmah bahwa syariat iktikaf ternyata dapat dilakukan di bulan lainnya, seperti bulan Syawal dalam konteks hadis ini. Terlebih, jika iktikaf tersebut menjadi amalan yang dinazarkan, tentu kita dapat melaksakannya di luar Ramadan dengan sebab, demi memenuhi kewajiban.
Berkaitan dengan anjuran pemerintah dan kesehatan untuk melakukan ibadah di rumah saja, Apakah iktikaf dapat dilakukan di rumah? Tentu dari definisi sebelumnya, jawabanya tidak bisa disebut muktakif jika seseorang menetap di rumah untuk melakukan ibadah. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid-masjid” Q.S.2: 187. Rasulullah dan istri beliau melakukan iktikaf di masjid, artinya pun boleh di rumah maka istri beliau tidak beriktikaf di masjid karena beratnya dan tentu akan beriktikaf di rumah meskipun hanya sekali. Namun demikian, tentu masih banyak amalan yang dengan keutamaan bulan Ramadan dapat kita lakukan meskipun menetap di rumah saja.
Dari kitab Sahih Fikih Sunah Jilid 3 karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, penulis akan meringkas tentang perkara yang membatalkan iktikaf dan yang boleh dilakukan, barangkali bisa dijadikan petunjuk dan rambu-rambu dalam pelaksanaannya dengan menyesuaikan kondisi pandemi di daerah masing-masing.
Apa saja perkara yang membatalkan iktikaf ? Antara lain: (1) Keluar dari tempat iktikaf dengan tanpa uzur syar’i (keperluan penting/mendesak), jadi ya di masjid saja. (2) Melakukan hubungan intim, hal ini karena wanita tidak dilarang beriktikaf (dengan ketentuan) sehingga memungkin suami-istri beriktikaf di masjid yang sama.
***
Apa saja yang dibolehkan bagi muktakif? Antara lain: (1) keluar untuk keperluan mendesak; (2) Melakukan hal yang mubah, seperti berbincang dengan orang yang mengunjunginyadan mengantarkan sampai dengan pintu masjid; (3) istri mengunjungi dan berduaan dengan suami yang iktikaf (4) mandi dan wudu di masjid (5) mendirikan kemah di belakang masjid sebagai tempat iktikaf, saat ini barangkali bisa menggunakan ruangan atau gedung yang menempel dengan masjid (6) Meletakkan tempat tidurnya di dalam masjid (7) muktakif boleh meminang dan melangsungkan pernikahan (8) muktakifnya wanita istihadah maka harus menjaga kebersihan dirinya.
Jika saya pribadi mencermati, ketentuan dalam iktikaf ini kok mirip-mirip dengan karantina, namun lokasinya harus di masjid saja, tinggal mendatangkan tim medis untuk melakukan tes kesehatan dan seleksi bagi yang mau jadi muktakif, hehe. Namun, belum tentu dengan pencermatan pembaca. Wallahu a’lam bi sawab.