Tajdida

Benarkah Bunga Bank Menurut Muhammadiyah Tidak Riba?

3 Mins read

Baik, para pembaca mungkin tidak terlebih dahulu membaca ini hanya dengan judulnya. Alangkah baiknya pembaca yang arif dapat memberikan tanggapan mengenai tulisan ini kalau sudah membacanya secara penuh. Tetapi saya mengambil judul yang bersifat kontradiktif dengan banyak pendapat ulama. Anehnya, Muhammadiyah juga setuju dengan pendapat saya.

Loh, apa benar? Mungkin saya akan membahas hal ini secara perlahan. Kebetulan juga, pernyataan “Bunga bank itu bukan riba” telah saya ketahui ketika saya mengangkat skripsi penelitian saya soal ini. Lalu apa perbedaan bunga bank dengan riba? Saya akan membahas secara istilah tentang dua kata ini.

Menurut Nurhadi (2017), bunga bank diartikan sebagai imbalan atas peminjaman uang yang sudah menjadi keuntungan bagi perbankan dan telah menjadi faktor berkembangnya perbankan, karena hasil bunga dari peminajaman uang digunakan untuk membiayai operasional bank.

Sedangkan riba menurut hasbiyallah (2008), sebagai pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil atau pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli atau pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Lalu, Apa Persamaan dan Perbedaannya?

Letak persamaannya terletak pada “tambahan dari pinjam-meminjam”. Namun perbedaannya di kalangan ulama, termasuk Muhammadiyah sendiri, memiliki pendapat yang berbeda-beda.

Mayoritas ulama mengatakan bahwa bunga bank adalah riba. Fatwa ini juga ada di Indonesia sejak tahun 2003 yang dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia), salah satu isinya berbunyi: “Bunga bank adalah haram karena model ini telah memenuhi syarat-syarat riba yang diharamkan Al-Qur’an.”

Lajnah Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar, mengeluarkan putusan fatwa yang sama sejak 1982 di Bandar Lampung. Walaupun di kalangan NU pada saat itu memiliki pandangan yang berbeda, namun keputusan ini diambil dari pendapat yang lebih hati-hati. Hal ini juga senada dalam kesepakatan sidang kedua OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Karachi tahun 1970.

Baca Juga  Din Syamsuddin: Moderasi Bagian dari Wasathiyyatul Islam

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar setelah NU, justru memiliki perbedaan pendapat mengenai bunga bank dan riba. Bahkan, Muhammadiyah juga berpendapat bahwa bunga bank bukanlah riba. Benarkah? Jawabannya ya dan tidak.

Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah pada bab mengenai masalah bank, Muhammadiyah memberikan keputusan mengenai bunga bank dengan perkara Musytabihat (tidak jelas). Perlu ditekankan, bahwasanya perkara ini hanya berlaku pada bank milik pemerintah bukan bank milik swasta. Sedangkan Muhammadiyah memberlakukan bank milik swasta dengan hukum haram. Walaupun begitu, dalam proses penjatuhan perkara ini, memiliki proses keputusan yang dilalui dengan dialektika yang penuh pro dan kontra di Sidoarjo.

Di mana Letak Perbedaan Bank Milik Pemerintah Maupun Swasta?

Dalam penjelasannya, bank milik swasta berorientasi untuk kepentingan pribadi yang mana sama dengan hakikat riba, di mana hasil dari bunga berputar ke arah pemilik bank. Sedangkan bank milik pemerintah lebih berorientasi untuk kepentingan publik yang mana hasil dari bunga tersebut akan diputar untuk kemaslahatan publik.

Walaupun dikatakan Musytabihat yang dapat diartikan sebagai adanya keragu-raguan,akan tetapi Muhammadiyah memberikan syarat kepada bank milik pemerintah, sejauh mana penggunaan bank milik pemerintah yang berbunga boleh digunakan untuk menghindari keragu-raguan tersebut.

Sikap dan tujuan ditekankan oleh Muhammadiyah, yaitu sikap hati-hati disertai dengan tujuan mulia agama dalam penggunaannya. Apabila sikap dan tujuan tersebut sudah sesuai dengan kriteria, maka penggunaan bank yang berbunga milik pemerintah bukan dijatuhkan sebagai riba.

***

Dari penjelasan tersebut, saya memiliki dua opini dengan spektrum berbeda; mengkritik dan mendukung.

Pertama, saya mengambil sudut pandang dalam mengkritik Muhammadiyah terkait keputusan ini.  Dapat dikatakan, Muhammadiyah masih berkompromi dengan bank berbunga, tidak seperti halnya NU yang menjatuhkan perkara haram pada semua bank.

Baca Juga  Kepak Sayap Berkemajuan Muhammadiyah

Walaupun memiliki syarat-syarat, namun syarat-syarat tersebut masih dapat dikatakan umum. Seperti halnya syarat sikap berhati-hati dan tujuan agama, spektrum syarat ini masih dapat dikatakan gamblang karena kadar sikap berhati-hati tiap individu berbeda dan tujuan agama yang dijelaskan dalam Himpunan Putusan Tarjih tidak menjelaskan secara tegas mengenai batasan-batasannya.

Sebagai efeknya, ditakutkan apabila masyarakat Muslim yang seharusnya mendukung untuk berdirinya bank Islam, masih terbelenggu dengan perkara Musytabihat. Sehingga bank konvensional masih menjadi opsi utama dibandingkan bank Islam dikarenakan masih “diperbolehkan” dalam sudut pandang awam. Secara praktiknya juga, bank syariah hanya hadir sebagai opsi alternatif dalam menggunakan jasa perbankan.

Walaupun di akhir keputusan Tarjih mengenai bank menyatakan bahwa Muhammadiyah mengusahakan terwujudnya bank Islam, akan tetapi praktik ini masih terlihat kurang maksimal karena ketergantungan bank konvensional milik negara dengan fasilitas bank yang lebih mapan, ditambah dengan diperbolehkannya untuk menggunakan jasa bank tersebut. Sehingga pertumbuhan bank Islam masih jauh untuk mengejar bank konvensional yang telah mapan.

Kedua, yaitu opini saya dari sudut pandang mendukung pernyataan Muhammadiyah. Bahwasanya bank konvensional milik pemerintah, tidak dimungkiri lagi, membantu perkembangan ekonomi Indonesia. Bahkan aset beberapa bank milik pemerintah telah menjadi tumpuan ekonomi negara dan daerah dalam pembangunan dan sosial.

Uang yang ada dalam bank pemerintah, berputar secara domestik. Bank juga berpeluang kecil apabila bank memiliki masalah seperti aset yang dibawa kabur oleh pemilik bank yang biasanya terjadi dalam bank swasta. Sehingga dalam segi keamanan dana pun terjamin karena dikontrol langsung oleh pemerintah yang berorientasi pada publik.

***

Ditambah juga sistem bunga yang telah dipraktikkan secara menyeluruh, baik secara mikro seperti investasi dan hutang pada bank untuk menjalankan usaha, maupun makro ekonomi seperti halnya kebijakan moneter mengenai menaikturunkan bunga. Sistem bunga juga mengakar dalam ekonomi global yang cepat. Sehingga dibutuhkan fleksibilitas dalam melihat suatu perkara dan Muhammadiyah melakukannya.

Baca Juga  Mu’ti: Ada Ancaman Degenerasi Kader di Muhammadiyah

Itulah opini saya dari dua spektrum sudut pandang yang berbeda mengenai bunga bank dan riba yang diputuskan oleh Muhammadiyah. Walaupun begitu, masalah ini masih menjadi dialektika yang dinamis seiring berjalannya waktu.

Editor: Yahya FR
Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa S1 Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds