Punggungnya yang sudah membungkuk bukan berarti ikut membungkukkan daya hidup dan etos hidupnya. Meski sudah sepuh semangatnya selalu membuat iri anak muda. Ia adalah intelektual Islam yang dipunya indonesia. Guru bangsa yang mata airnya tidak pernah surut. Usia yang sepuh tak mengalahkannya. Kerutan wajah dan pipinya yang kian kemput, tidak membuat suaranya makin parau dan hilang saat melihat yang tidak beres di negerinya. Ia adalah Buya Syafii Maarif.
Buya Syafii Maarif dan Optimisme
Kegalauannya terhadap Islam di Indonesia tidak pernah berhenti. Ia terus mempertanyakan mengapa umat Islam di Indonesia semakin menjauh dari Al-qur’an? Tesis ini ia paparkan dalam buku dan tulisan-tulisannya. Miskinnya negarawan, krisis pendakwah, semakin banyaknya dai dan ustadz salon serta miskinnya mentalitas pemimpin kita adalah bagian dari kegelisahan yang ia utarakan.
Buya Syafii Maarif adalah penyeru optimisme, meski raga dan pikirannya terus diburu pesimisme jika melihat negara ini berjalan terus tanpa nahkoda. “Seperti perahu besar yang hampir oleng”.
Karir kepemimpinannya terlatih sejak beliau di Mualimin. Ia adalah pekerja keras dan penuntut ilmu yang gigih. Pergaulannya luas hingga menelorkan empati dan spirit islam yang mendunia. Ia menulis pemikiran Gilad Atzmon seorang Yahudi yang simpatik terhadap Islam dan anti Zionis.
Usia tidak menghalanginya untuk menempuh ilmu sampai ke Chicago Amerika dan Ohio University. Di bawah pemikir modernis Fazlurrahman ia menimba ilmu dan meluaskan pemikiran islamnya. Ia menjadi intelektual yang resah.
Amatan dan tulisannya begitu tajam dan memiliki ruh yang hidup. Keberpihakan dan kejelian mata batinnya membuatnya menulis tentang wong cilik yang membuat kita selalu berkaca. Kita bisa menikmati dalam sajian kartun grafis dalam buku Bengkel Buya.
Dijuluki sebagai Muazin Makkah Darat. Di saat para guru besar, Profesor dan pemikir diam melihat realitas bangsa yang menyayat hati, Buya adalah orang yang mengumandangkan seruan dan kritiknya yang keras dan blak-blakan.
Kesederhanaannya dan zuhudnya membuat orang semakin hormat padanya. Pemikirannya tidak hanya skup indonesia, tapi juga mencuri perhatian dunia. Ia adalah peraih Magsasay Award kategori tokoh perdamaian.
Islam yang Memihak
Pemikiran Islam Buya Syafii Maarif yang maju dan luas membuatnya selalu terbuka dan tidak absen dari kritik. Banyak kritik dari kalangan Muhammadiyah sendiri yang memberi stempel liberal kepadanya. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah selama dua periode.
Gagasan islamnya yang terbuka dan memihak telah memberi inspirasi kepada kalangan non muslim untuk melihat ajaran Islam lebih dekat. Ia dekat dengan kalangan non muslim dan para tokoh pemuka agama lain di Indonesia dan dunia.
Kritiknya terhadap umat Islam yang meninggalkan pengetahuan sebagai basis gerakan amat keras. Menurutnya selama ini umat Islam terlena dan tenggelam kedalam kebodohan dan kejumudan. Umat Islam meninggalkan ilmu pengetahuan sebagai kunci menjadi khalifah dunia dan akhirat.
Pemikirannya terhadap Islam yang memihak dan terlibat ia aktualisasikan ke dalam lembaganya Maarif Institute. Melalui Maarif Institute kita mendapati gagasan Islam toleran, Islam yang merangkul mustadafin dan Islam yang memerangi konflik dan perpecahan. Islam yang memihak pada kemanusiaan.
Kebangsaan
Gagasannya dan kecintaannya terhadap bangsa ini membuatnya konsen dan tidak ingin konflik berbasis agama hadir lagi di negara ini. Keprihatinannya terhadap kelompok-kelompok yang mengusung gagasan islam yang kaku, keras dan ingin mengganti dengan dasar negara ini membuatnya menulis buku Ilusi Negara Islam bersama KH. Abdur Rahman Wahib dan menulis buku Islam dalam Bingkai Kemanusiaan dan Keindonesiaan.
Islam Indonesia adalah Islam yang mengutamakan kebangsaan, kemanusiaan, keindonesiaan. Itulah yang ia selalu suarakan. Bukan islam yang terjebak dalam formalisme syariah dan yang nampak seperti “polisi agama”.
Musuh terbesar bangsa ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Dua hal ini menurut Buya belum bisa diatasi karena umat islam masih terpecah belah dan belum bersatu. Selain itu, belum banyak kampus islam yang menjawab tantangan zaman dan problem kemanusiaan dan kebangsaan karena masih terjebak pada formalisme dan birokratisme.
Mentalitas Petarung
Buya Syafii Maarif adalah manusia yang besar oleh budaya minang yang kuat. Alam terkembang jadi guru seperti telah menjadi nafasnya. Punggung yang bengkok adalah saksi hidup dari kerja kerasnya saat ia menempuh studi di Solo. Ia rela bekerja sebagai kuli untuk membiayai studinya secara mandiri.
Disiplin mental yang kuat dan tegap membuatnya dipercaya oleh siapapun. Tidak pernah mengambil sesuatu yang bukan haknya menjadi prinsip hidup yang dianut sampai kini.
Kesederhanaan dan kezuhudannya membuat orang tunduk dan hormat padanya. Kepedulian dan keberpihakannya kepada kaum yang lemah atau wong cilik membuat kita tersentuh.
Buya menunjukkan islam bukanlah ajaran yang tertutup kaku dan formal. Ia memberi tauladan bahwa islam adalah laku hidup antara raga pikir dan hati kita yang selaras. Keberpihakan dan kepedulian adalah ruh islam yang perlu menjadi laku kita sebagai umat islam yang beriman. Tanpa itu, ia pun percaya Islam akan selalu ketinggalan zaman bahkan seribu tahun atau bahkan lebih.
Editor: Nabhan