Salah satu bentuk misrepresentasi ajaran Islam di dunia Barat umumnya adalah bahwa Islam itu agama kebencian dan kekerasan. Konsep ketuhanan kerap kali ditampilkan sebagai Tuhan yang kasar, bengis, tiada belas kasih.
Kebodohan atau terkadang juga kebohongan ini sengaja dipromosikan untuk menumbuhkan rasa takut, bahkan kebencian kepada Islam. Didukung oleh perilaku segelintir orang yang mengaku Muslim yang memang demikian, semakin meyakinkan mereka jika Islam itu demikian adanya.
Padahal jika dikaji semua aspek ajaran agama ini, mulai dari konsep teologisnya, amalan ritual, hingga ke muamalahnya mengajarkan kasih sayang itu.
Shalat dimulai dengan takbir, mengakui kebesaran Ilahi. Tapi shalat juga harus diakhiri dengan salam. Sebuah komitmen kedamaian dan perdamaian yang sejati.
Tuhan yang Maha Kasih dalam akidah Islam, salah satunya terrefleksi dalam bentuk pengumpunan-Nya. Bahwa Allah SWT yang Maha menguasai langit dan bumi itu membuka pintu-pintu “pengampunan” dan “taubat” bagi semua hamba-Nya yang ingin dan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya.
Saya menekankan kata “ingin dan sungguh-sungguh” karena taubat akan diberikan dengan komitmen penuh.
Al-Quran menegaskan: “dan bergegaslah kalian kepada ampunan Tuhanmu dan sorga yang luasnya seluas langit dan bumi, disiapkan bagi orang-orang yang bertanya”. (Al-Quran).
Kata bergegas mengindikasikan keseriusan dan kesungguhan, serta mujahadah dalam meraih maghfirah Allah SWT. Maknanya jika ingin diampuni kejarlah ampunan itu.
Kecintaan Allah yang tiada batas itu terwujud dalam sebuah deklarasi pengampunan: “Katakan Wahai hamba-hamba-Ku (ibaadiya) jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa-dosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.
Ayat ini menyampaikan beberapa penekanan penting: pertama, bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya begitu sangat dalam, bahkan tiada batas. Allah memanggil mereka yang melakukan dosa dengan panggilan kasih: wahai hamba-hamba-Ku”. Mereka yang telah melampaui batas (asrafuu). Luar biasanya Allah masih memanggil mereka dengan panggilan yang termulia.
Menurut para ulama, panggilan ini adalah panggilan yang menunjukkan penghormatan yang tinggi. Sebagaimana Allah menyebut Rasul-Nya, “asraa bi abdihi” dalam sejarah al-Isra.
Kedua, mereka yang melakukan dosa disebut “asrafuu” atau melampaui batas dan berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa agama itu jika dijalankan sebagaimana mestinya maka sangat sejalan dengan kebutuhan dan tabiat manusia. Di saat agama tidak dijalankan sebagaimana mestinya maka terjadi perilaku “melampaui batas” tabiat kemanusiaan.
Ketiga, ungkapan “jangan Berputus asa dari kasih sayang Allah” menunjukkan bahwa diampuninya kita bukan karena usaha kita semata. Bukan pula karena sekedar ibadah yang kita lakukan. Tapi semuanya karena semata “rahmat Allah”.
Keempat, pada ungkapan “Sungguh Allah mengampuni semua dosa” memaknai bahwa tiada dosa yang tak terampunkan dengan Rahmat Allah SWT. Dalam hadits disebutkan bahwa jika hamba-Ku melakukan dosa seluas langit dan bumi niscaya akan kuampuni.
Intinya adalah bahwa ampunan Allah itu adalah bentuk kasih-Nya yang terbesar. Hanya dengan diampuni seorang hamba akan masuk sorga. Dan hanya dengan rahmat-Nya seorang hamba akan diampuni.
Cerita seorang pembunuh 99 orang adalah contoh lain dari kasih sayang Allah SWT. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa seorang pemuda telah membunuh 99 orang. Lalu mendatangi seorang ahli ibadah dan bertanya kira-kira Allah masih akan mengampuninya?
Sang ahli ibadah itu menjawab bahwa dia tidak akan diampuni lagi dengan dosa sebesar itu. Jangankan membunuh 99 orang. Membunuh seorang saja dosanya bagaikan membunuh seluruh umat manusia.
Mungkin karena frustrasi dan marah, sang pemuda itu juga membunuhnya. Kini ia telah membunuh 100 orang. Tapi keinginan untuk diampuni masih ada dalam hatinya. Dia pun berjalan hingga ketemu dengan ahli ilmu dan bertanya apakah Allah masih mengampuninya?
Mendengar itu sang ahli ilmu teringat dengan ayat tadi, “Wahai hamba-hamba-Ku jangan berputus asa dari Rahmat Allah…sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa”.
Singkatnya, pemuda itu diarahkan untuk berangkat ke sebuah kampung dan bergabung dengan penghuni kampung itu beribadah kepada Allah SWT. Di tengah jalan dia meninggalkan dunia. Malaikat sorga dan neraka pun berebut untuk menjemputnya.
Namun Allah dengan Rahmat-Nya dan kasih-Nya Allah mengabulkan keinginannya untuk diampuni. Dia telah membunuh 100 orang. Tapi karena komitmennya untuk diampuni dan karena kasih Allah, sang pemuda itu diampuni dan masuk sorga.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah jika “semua dosa diampuni” bagaimana dengan ayat yang menyebutkan: “Sungguh Allah tidak mengampuni dosa syirik”?
Jawabannya adalah dosa syirik yang tidak terampuni adalah ketika dosa itu terbawa mati. Artinya pelaku syirik itu meninggal dalam keadaan demikian.
Berbeda dengan dosa selain syirik. Kalau pun meninggal dalam keadaan berdosa, tapi dalam hatinya ada iman atau tauhid maka dosa itu pada akhirnya akan terhapuskan.
Saya ingin akhiri dengan cerita teman Afro-Amerikan saya, Imam Ayub Abdul Baqi. Salah seorang Imam yang gigih memperjuangkan hak-hak sipil komunitas Muslim Amerika.
Kisahnya bermula ketika beliau masuk Islam. Beliau ketika itu masih muda. Karena marah kepada anaknya, Ibu Imam Ayub mengusirnya dari rumahnya. Dan tidak pernah lagi menerimanya kembali ke rumah itu.
Hingga Imam Ayub menikah, lalu dikaruniai beberapa anak. Beliau kemudian sengaja mengirimkan anaknya untuk menengok neneknya. Sang nenek benar jatuh hati. Cinta cucu-cucunya. Tapi tetap membenci anaknya, Imam Ayub.
Singkat cerita sang Ibu sakit keras dan masuk rumah sakit. Berhari-hari Imam Ayub menunggui ibunya di rumah sakit. Hingga di waktu-waktu menjelang sakratul maut, Imam Ayub memeluk ibunya, menangis dan menyampaikan: “Ibuku, saya cinta Engkau. Saya tidak bisa membayar jasamu kepadaku. Hanya satu hadiah yang ingin saya berikan kepadamu, Ibuku”.
Sambil memeluk Ibunya, Imam Ayub dengan suara pelan membisikkan: Asy-hadu anlaa ilaaha illallah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasulullah”.
Dan ibunya di detik-detik terakhir hidupnya itu menerima Kalimah Tauhid. Menerima kunci sorga itu. Alhamdulillah.
Kisah lain adalah kisah Ibu Syeikh Muhammad Yasin. Seorang da’i yang sangat gigih, santun dan sopan. Beliau muallaf berkulit putih, pernah mengenyam pendidikan Islam di Madinah.
Hanya beberapa tahun lalu Ibu beliau meninggal dunia. Tapi yang paling membahagiakan adalah setelah bertahun-tahun sakit, bahkan Syeikh Yasin ketika itu menunda menikah demi merawat ibunya.
Hingga pada saat-saat krusial itu, di akhir hayatnya, Syeikh Yasin mendekat ke telinga Ibunya dan mengajaknya menerima: “Laa ilaaha illallah – Muhammad Rasulullah”. Dan beliau pun menerimanya hanya sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Kedua cerita benaran dari New York di atas menyampaikan pesan bahwa seorang manusia itu selalu ada harapan. Karena memang kasih sayang Allah itu lebih luas dari segala dosa dan kesalahan manusia.
Semangat ini jugalah yang kita bangun di bulan Ramadan ini. Karena Sungguh di bulan ini secara khusus Allah bukakan pintu-pintu maghfiraNya seluas-luasnya. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita semua. Amin!
Editor: Arif