Falsafah

Dua Halal di Bulan Syawal

3 Mins read

Bulan Syawal sudah hampir menuju pertengahan. Halal bihalal juga sudah dilaksanakan mulai dari meminta maaf ke keluarga, teman, kerabat, semuanya juga sudah. Alhamdulillah, halal yang pertama di bulan Syawal telah tertunaikan sedari tanggal 1 kemarin. Nah, kalau halal pertama di bulan Syawal sudah terlaksana, coba cek halal keduanya, sudah dipersiapkan belum? Atau jangan-jangan ada yang belum tahu kalau ada dua halal di bulan Syawal?

Jadi gini loh karena bulan Syawal itu merupakan bulan yang spesial maka dia memiliki dua halal sekaligus. Halal pertama ya itu tadi, halal bihalal. Dan halal yang kedua adalah halal-in adek Bang! Betul, menikah. Meskipun tentu tidak semua orang ingin menikah di bulan Syawal ini.

Namun, banyak orang yang lebih memilih menikah di bulan Syawal daripada di bulan lainnya, khususnya masyarakat Indonesia, terutama sekali masyarakat yang bertempat tinggal di pulau Jawa. Sebab, banyak orang yang mempercayai jika menikah di bulan Syawal itu banyak mengandung faedah. Oleh karenanya orang-orang saling berburu untuk menikah di bulan Syawal.

Dua Halal di Bulan Syawal

Memasuki minggu kedua di bulan Syawal ini biasanya surat undangan mulai berterbangan ke pintu-pintu rumah. Lengkap dengan surat Ar-ruum ayat 21, yang artinya “Dan  diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentran kepadanya, dan Dia jadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.

Khususnya di wilayah Bogor, Jawa Barat, kebanyakan masyarakat yang bersuku Sunda ini akan lebih senang jika anak gadis atau bujangnya menikah di bulan Syawal. Mengapa demikian? Sebab, bulan Syawal merupakan bulan yang dirahmati. Bulan yang dimana Rasullulah Saw. melangsungkan pernikahan selepas wafatnya Khadijah r.a..

Baca Juga  Yang Mempengaruhi Marx (2): Feuerbach dan Alienasi Agama

Beliau melangsungkan pernikahan kembali di bulan Syawal dengan Saudah r.a., setahun setelah memperistri Saudah r.a. beliau pun menikah dengan istri yang paling dicintainya, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dan pernikahan dengan Aisyah r.a. Inilah yang menyebabkan banyak orang ingin menikah di bulan Syawal.

Banyak anggapan yang menyatakan jika menikah di bulan Syawal bisa mendapatkan cinta seperti cinta yang diterima oleh Aisyah dari Rasulullah. Di mana, keharmonisan dan romantika pernikahan mereka merupakan kisah roman yang tidak terbayangkan oleh khayalan namun tertuang oleh perbuatan.

Banyak kisah syahdu nan merdu, dilakukan oleh kedua insan pilihan itu. Mulai dari minum di gelas yang sama, lomba lari, memakan daging di potongan yang sama, hingga mandi dari bejana yang sama. Romatika pernikahan barakah mereka, menjadi figur bagi masyarakat bahwa menikah di bulan Syawal itu memiliki banyak barakah dan mengikuti sunnah Rasul. Hingga banyak dari para gadis, bujang, dan orangtua yang berharap jika pernikahan dilangsungkan pada bulan Syawal.

Sunah Nabi

Keyakinan-kenyakinan yang dianut oleh kebanyakan orang tersebut, ternyata tertuang dari perkataan Aisyah sendiri yang menyatakan bahwa “Rasulullah Saw. menikahiku saat bulan syawal dan mengadakan malam pertama dengan aku di bulan syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian selain aku?” (HR. Muslim, An Nasa’i). Dari perkataan Aisyah r.a. itulah banyak yang mengharap dapat dihalal-kan oleh pasangannya ketika bulan Syawal.

Selain dari mengikuti pernikahan Rasullulah dengan Aisyah r.a. dan Saudah r.a.. Bulan Syawal pun dipilih karena perekonomian masyarakat relatif stabil. Khususnya, bagi masyarakat Bogor yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai wirausaha home indusrty yang berfokus pada pembuatan sandal dan sepatu akan dengan mudah bila menyelenggarakan hajatan, baik itu pernikahan ataupun khitan anaknya pada bulan Syawal ini.

Baca Juga  Imam Syafii Tak Pernah Mengharamkan Filsafat

Sebab, pada bulan Syawal tersebut mereka telah meraup keuntungan yang besar dari bulan Ramadhan. Bagi masyarakat kelas menengah kebawah, acara hajatan diselenggarakan ketika keuangan dan peluang itu ada.

Jika masyarakat hanya mengambil pada sunah yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw. maka seharusnya banyak pula masyarakat yang menikah di bulan Dzulqa’dah. Sebab di bulan itupun Rasulullah menikah dengan Zainab binti Jahsy dan Maimunah binti Harist. Namun, karena tidak ditemukannya hadist ataupun hukum menikah yang paling baik itu di bulan apa, maka kebanyakan orang pun mengambil dari perkataan Aisyah r.a tersebut.

Syawal dan Dzulqa’dah

Pernikahan Rasullulah pernah dua kali dilaksanakan di kedua bulan itu, yakni Syawal dan Dzulqa’dah. Kebanyakan masyarakat yang telah mengetahui mengenai masalah itu pun menjadikan Syawal dan Dzulqa’dah sebagai bulan pernikahan. Di Bogor, masyarakat awam pun sering menyelenggarakan pernikahan di kedua bulan tersebut, tentunya bukan hanya sunah yang kejar oleh kebanyakan orang, namun juga pada keadaan uang di dalam genggaman.

Dengan demikian, dapat dikatakan pula banyak orang-orang yang berbondong-bondong menyelenggarakan pernikahan itu bukan karena sunah saja, namun karena kedaan perekonomian pula yang mendukung. Jika keadaan ekonomi sedang jatuh, sangat jarang sekali dilaksanakannya acara pernikahan tersebut. Karena bulan Syawal punya dua halal, kalau abang udah halal bihalal. Ayolah, sekarang tinggal halal-in adek ya Bang.

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds