Tahun 2015-2016 adalah era di mana saya akan segera melepas status mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Solo. Syaratnya harus melalui dua ujian yang sama-sama berat, Seminar Kimia dan Skripsi Kependidikan. Kedua seminar tersebut adalah ajang untuk saling kritik dan memberikan saran kepada teman yang sedang diuji.
Di sana boleh unjuk gigi seperti apa kritik dan saran yang bersifat membangun karya ilmiah temannya. Mulai dari pendahuluan, sistematika tulisannya, penyajian data, sampai kesimpulan. Semuanya dikritik.
Saya termasuk orang yang aktif mengkritik saat berlangsung kedua seminar tersebut. Terkadang kritikannya langsung mengarah ke jantung persoalan. Hampir semua mahasiswa, entah kakak tingkat sampai adik tingkat “takut” kalau saya hadir di acara seminar mereka. Bahkan ada yang meminta secara pribadi agar saya diam saja saat seminar. Tentunya tanpa ada selipan amplop berisikan uang sebagai uang tutup mulut di kantong celana.
Akhirnya giliran saya tiba sebagai aktor “pesakitan” seminar. Saya yang sebelumnya terkenal sangat aktif mengkritik, saat seminar menjadi pemeran yang siap dikritik oleh teman-teman. Perasaan saya mungkin sama seperti yang lainnya, takut dan jantung berdegup kencang. Tapi saya mempersilahkan semuanya untuk mengkritik tanpa pengecualian. Akhirnya saya diserang habis-habisan, seakan waktunya balas dendam.
Setelah selesai seminar, akhirnya memahami mengapa beberapa teman saya sangat takut kalau saya mengkritik hasil karya mereka. Alasan paling mendasar dari hal tersebut adalah karena mereka belum atau tidak mau dikritik. Apalagi kritik terhadap hasil karya yang sudah disusun dengan jerih payah pikiran dan tenaganya. Mengorbankan waktu dan beberapa acara. Pastilah tersimpan dalam benaknya bahwa hasil karyanya adalah hasil yang terbaik dan tanpa cacat, tak layak untuk dikritik. Itu manusiawi. Hal itu juga yang terjadi pada diri ini.
Merasa Tidak Layak Dikritik
Saya membutuhkan waktu kurang kebih satu tahun untuk menyusun dua tugas akhir tersebut. Perlu tenaga dan kesabaran. Menahan lelah kejar-kejaran waktu dengan dosen pembimbing. Belum lagi dengan revisi yang menghiasi draf seminar kimia dan skripsi.
Bahkan sampai begadang selama berhari-hari. Egoisme saya pun berbisik, “Kamu tak layak dikritik. Kamu sudah menghasilkan karya yang terbaik. Kamu sudah berkorban segalanya.”. Saat seminar pun saya merasa sangat “gatal-gatal” menghadapi peluru kritikan yang dilontarkan oleh beberapa teman.
Tidak hanya pada suatu karya saja, tetapi juga sikap dan perilaku pun tak bisa menghindar dari kritik. Segala sesuatu yang berhubungan dengan panca indera tak akan lolos dari serbuan kritik.
Memang tujuan dari kritik adalah evaluasi bersama untuk mencapai tingkat pemahaman lebih dalam rangka memperbaiki kualitas. Kritik itu bisa melihat dari sisi yang berlainan yang mungkin saja kita tidak tahu dan tidak bisa melihatnya. Perlu bantuan dari pengamat alias orang lain untuk melihat dari sisi yang lain itu.
Mengkritik itu kegiatan yang mengasyikan. Mengkritik bukan hanya ajang menunjukkan kekurangan dari hasil karya. Tapi juga sebagai sarana memberi informasi tentang beda pandangnya hasil karyanya. Kita diberi mata yang bisa melihat ke depan, untuk melihat dari sisi balik suatu perspektif orang yang di depannya.
Seperti halnya ketika ada 10 orang mengelilingi seekor kambing. Setiap orang pasti punya beda pandang, entah dari ekor, kaki samping kanan atau kiri, kepala, dan lainnya. Semua akan berkritik sesuai dengan sudut pandang terhadap kambing itu. Padahal, kalau dikumpulkan secara utuh, semuanya benar yaitu seekor kambing lengkap dengan ekor, badan, sampai kepala.
Dikritik Lebih Asyik
Tentu saja, bentuk keterimaan akan kritik itu tergantung dari orang yang dikritik. Seberapa besar ego yang dia pelihara. Semakin kecil ego, dia akan memaklumi kritikan tersebut. Tapi jika semakin besar ego, dia akan tidak terima kritikannya. Ada beberapa orang yang ketika dikritik akan berterima kasih, ada juga yang melawan balik. Contohnya dari salah satu anak manusia yang sangat berjasa pada peradaban, yaitu Umar Bin Khattab.
Siapa yang tidak tahu salah satu sahabat nabi yang terkenal galak, sampai ada adagium setan saja lari kalau mendengar langkah kaki Umar. Beliau adalah khalifah ke dua setelah wafatnya Abu Bakar Ash Shidiq.
Sejak menjadi khalifah ada perubahan sangat drastis dalam diri Umar. Dari yang sebelumnya galaknya minta ampun, sekarang 180° berbanding terbalik. Sebagai pemimpin, tentu saja ada pandangan penuh kritik untuk sang Khalifah. Salah satu kisah yang terkenal adalah tentang ibu memasak batu.
Sang Ibu mengeluh sekaligus mengkritik pemerintahan Umar yang tidak becus memikirkan dan melayani masyarakat miskinnya. “Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum? Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Dia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.” Apakah Umar marah? Tidak.
Justru malah menangis sejadi-jadinya karena ternyata ada masyarakat yang luput dari pandangannya. Akhirnya beliau sendiri yang memanggul makanan dari Baitul Maal ke rumah Sang Ibu. Keesokan harinya, Sang Ibu meminta maaf kepada Umar karena telah kasar mengkritik Umar. Tapi Umar dengan hati lapang memaafkan dan memberikan hadiah untuk Sang Ibu.
Kisah Umar Bin Khattab tersebut patut memberikan contoh, khususnya Pemerintah Indonesia agar tahan dan terima kritik rakyatnya. Kita sudah mengalami beberapa pemerintahan otoriter selama kurang lebih 40 tahun, kombinasi Orde Lama dan Orde Baru. Pemerintah otoriter sangat tidak terima akan kritik, walaupun sifatnya yang membangun.
Efek dari itu semua, Indonesia masih sangat tertinggal dengan negara lain, bahkan masih belum mencapai taraf “Negara Maju”. Coba tengok negara tetangga, Selandia Baru. Pemimpin negara tersebut sangat menerima masukan dan kritik dari rakyatnya. Alhasil, negara kecil di timur Australia menjadi negara yang makmur dan maju. Padahal umurnya lebih muda dari Indonesia.
Korelasi Kritik dan Ego
Kritik itu bukan hinaan. Tapi memberikan infomasi secara lugas apa saja yang masih belum terlihat oleh diri sendiri. Seperti contoh pada Khalifah Umar. Mungkin beliau merasa sudah indah memakmurkan seluruh rakyatnya. Tapi setelah dikritik secara langsung, Umar langsung tersadar akan masih ada kekurangan. Umar juga tidak menyebut kritikan dari Sang Ibu adalah hinaan. Justru menganggap masukan yang sangat bagus dalam menjalankan pemerintahannya.
Itulah pengendalian ego. Selama ego masih bersemayam kuat dan besar, maka kritikan akan selalu dianggap sebagai hinaan. Ego yang membuat kita merasa sangat benar, tanpa cacat, dan tak layak kritik. Ego ini yang membuat mata kita hanya tertuju pada satu arah, tanpa melihat sekeliling lingkungan perspektif kita. Ego pula yang menjadikan kita lebih aktif mengkritik tanpa bisa mengerem. Bukannya mengkritik, tapi justru kebencian yang disebarluaskan.
Tentu saja kritikan tidak boleh dikonsumsi mentah-mentah. Cukup kritik yang membentuk pribadi lebih baik yang layak kita terima.