FeatureInsight

Al Islam : Din Wa Rahmah

4 Mins read

Oleh : Muhammad Ridha Basri

 

Ahmad Syafii Maarif dalam Resonansi di Harian Republika pada 11 Desember 2018 menurunkan tulisan “Al-Islam: Din wa Ni’mah wa Rahmah (l).” Ada beberapa poin penting dikemukakan dalam artikel yang diawali dengan kutipan dari buku Fikih Akbar, Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan lil Alamin (2018) karya Hamim Ilyas tersebut. Utamanya adalah tentang konsepsi dasar Islam sebagai agama rahmat. Setelah mengkritisi diskursus seputar relasi agama dan negara (al-Islam: din wa daulah), Buya Syafii menawarkan konsepsi al-Islam: din wa rahmah.

Tawaran ini perlu menjadi perhatian. Agama secara keseluruhan merupakan rahmat. Keberadaan semesta adalah wujud rahmat. Tuhan Yang Maha Kuasa dan berdaulat atas apapun, pada dasarnya bisa saja memilih untuk tidak menciptakan apa-apa. Dan pilihan itu sama sekali tidak mengurangi keagungan-Nya sedikit pun. Namun, Tuhan memilih untuk mencipta. Maka, semesta alam raya ini menjadi ada.

Tuhan adalah zat yang penuh dengan cinta, rahman dan rahim. Fitrah dari Yang Maha Cinta adalah mengungkapkan, melimpahkan, dan mengejawahtahkan cinta kepada objek lainnya. Sebuah hadis qudsi menyebut, “Aku ingin mengenalkan diri-Ku bahwa Aku Pengampun, Penutup Aib, Yang Maha Indah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Oleh karena itu, Aku menciptakan makhluk supaya diri-Ku dikenal.” Alam semesta menjadi objek peluapan rahmat-Nya.

Khalifah dan Kerahmatan

Rahmat, menurut Raghib al-Asfahani, dimaknai sebagai riqqatu taqtadhi al-ihsana ila al-marhumi, yaitu perasaan penuh kelembutan yang mendorong untuk melakukan atau memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, rahmat adalah kasih sayang yang mendorong seseorang berbuat baik kepada yang dikasihinya. Rahmat itu serupa ihsan, yang dipahami sebagai wujud melakukan kebaikan utama yang melampaui semua sekat hambatan afinitas.

Semesta dicipta dalam kerangka rahmat. Semua ciptaan-Nya memiliki makna dan tidak sia-sia. Oleh karena didorong oleh rahmat, Allah tidak sekadar mencipta secara asal-asalan, tetapi juga menyempurnakan ciptaan-Nya (QS. 106: 2). Dalam dunia filsafat, pemikiran semisal ini dikemukakan oleh Leibniz, bahwa dunia ini diciptakan sebagai yang terbaik dari yang mungkin ada. Khususnya manusia, merupakan hasil karya-Nya yang terbaik dan luar biasa (QS. 95: 4). Diberikan kelebihan akal dan diserahi amanah untuk dijalankan (QS. 33: 72). Kemudian dikukuhkan kedudukan mulia di muka bumi (QS. 17:70).

Baca Juga  Merefleksikan Wasiat Sunan Gunung Jati di Tengah Politisasi Identitas

Setelah dicipta dengan sepenuh rahmat, semesta raya diperjalankan dengan sepenuh rahmat dalam prinsip keharmonisan dan kedinamisasiannya. Supaya terus berjalan dalam kelestarian dan keserasiannya, semua makhluk yang diciptakan-Nya telah diberi tugas masing-masing. Ketika peran itu tidak dilaksanakan, akan ada dampak kecacatan dalam gerak alam raya.

Manusia menjadi makhluk yang dipilih untuk mengemban peran mulia. Manusia diberi tugas menjadi khalifah di muka bumi. Peran sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk mewujudkan kerahmatan semesta. Kelestarian dunia tergantung pada peran manusia dalam menebar rahmat. Hidup manusia dipertaruhkan sebagai ujian dan pada saatnya akan dikembalikan pada-Nya (QS. 67: 2). Jika hidup adalah ujian, maka Tuhan akan senantiasa menilai pertunjukan hidup manusia di semua musim kehidupan. Tidak ada yang sia-sia dan semua orang memiliki garis takdirnya masing-masing.

Tugas manusia adalah mengabdi kepada Allah dengan sepenuh dedikasi (QS. 51: 56). Pengabdian itu berwujud dalam bentuk menjalankan amanah sebagai hamba dan sekaligus wakil Allah di muka bumi, melayani-Nya dan segenap makhluk-Nya. Dalam menjalankan peran sebagai khalifah, harus didasari oleh prinsip rahmat. Menangkap pancaran cinta-Nya dan kemudian menebarkan kepada semua makhluk. Mengetuk pintu Tuhan dengan cinta, kata Yudi Latif, adalah akar pohon kehidupan dan mengetuk pintu tetangga dengan welas asih adalah buah kehidupan.

Tafsir At-Tanwir jilid I (2016) menyatakan, peran manusia sebagai makhluk yang dicipta oleh yang Maha Rahman dan Rahim adalah menebarkan kebaikan nyata, guna mewujudkan kehidupan yang baik (hayah thayyibah). Memberikan kebaikan nyata yang memenuhi kebutuhan, dengan tiga indikator: kehidupan yang damai, bahagia, dan sejahtera. Orientasinya mencakup hidup baik di dunia dan akhirat.

Ketika manusia menebar cinta, kasih sayang, kebaikan, maka itu bagian dari pelaksanaan pengabdian menjaga keselarasan sunnatullah, dan hasilnya akan bermuara kepada pelakunya. Dinyatakan dalam QS. 55: 60. Sebaliknya, ketika berbuat keburukan, dia telah merusak keharmonisan. Dampak negatifnya juga akan kembali kepada dirinya dan bahkan ke manusia lain, oleh karena dunia ini dihuni bersama. Layaknya sebuah bilik gema (echo chamber). Apa yang dipersembahkan manusia akan dikembalikan padanya. Filosofi ini sesuai dengan QS. 17: 7, “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri.”

Al-Qur’an Kitab Rahmat

Baca Juga  Kisah Soekarno Keluar dari Forum Muhammadiyah

Sebagai wujud rahmat, Allah tidak membiarkan manusia hidup tanpa petunjuk. Allah menurunkan agama, yang dibawa oleh para utusan yang telah dipilih-Nya. Mereka diutus sesuai dengan perkembangan akal pikiran dan lokalitas sistem kebudayaan manusia. Para utusan membawa risalah yang sama dengan syariat yang beragam dan saling menyempurnakan. Sampai pada perkembangan zaman yang sudah mendekati sempurna, Nabi Muhammad diutus dengan membawa rahmat. Dinyatakan dalam QS. 21: 107.

Kepada Rasul pembawa rahmat, Allah melengkapinya dengan kitab suci al-Qur’an. Sebuah maha karya (verbum dei) yang dijaga keotentikannya. Al-Qur’an dinyatakan dalam QS. 44: 6, merupakan rahmat dari Allah. Hamim Ilyas menjelaskan bahwa ayat ini menjadi keterangan al-Qur’an, yang menunjukkan bahwa landasan pewahyuan adalah rahmat, untuk memberi peringatan kepada manusia. Prosesnya juga rahmat dengan mengutus nabi Muhammad, dan segenap isinya juga berupa rahmat, sebagai pijakan dan hikmah menuju hidup yang baik.

Paradigma dasar tentang al-Qur’an, memiliki gagasan pokok sebagai kitab rahmat dan oleh karena itu, semua penafsiran harus diarahkan untuk merealisasikan nilai-nilai rahmat. Dalam bidang seni, dikenal istilah subject matter, yaitu tema atau gagasan pokok sebagai komponen dasar yang masih berupa ide ataupun pemikiran yang belum dituangkan dalam wujud fisik. Penafsiran Qur’an adalah untuk mengaktualkan nilai-nilai keadilan, persatuan, persaudaraan, kesetaraan, kemanusiaan, kebenaran, dan lainnya.

Dengan demikian, pemahaman terhadap semua ayat al-Qur’an adalah dalam kerangka rahmat. Menurut Fazlur Rahman, kesan tentang Allah yang disampaikan al-Qur’an, bukan Tuhan yang pemarah, bengis dan suka menghukum, melainkan tentang suatu kehendak yang terpadu dan terarah untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan di alam semesta: keagungan, kesiagaan, keadilan, serta kebijaksanaan Tuhan. Dalam kerangka rahmat, al-Qur’an membawa nilai universal untuk kebaikan manusia. Berlaku adagium bahwa agama diturunkan Allah untuk manusia. Agama bukan untuk Tuhan, bukan karena Tuhan semena-mena ingin membebankan hamba.

Baca Juga  Mendalami Kajian Ekstremisme di Mesir

Khairu Ummah

Dalam QS. 3: 110, umat Islam disebut sebagai khairu ummah. Predikat sebagai umat terbaik ini bukan tanpa syarat. Nabi Muhammad dalam sabdanya pernah menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya. Jadi, umat terbaik adalah ketika umat telah unggul, yang dengan kemajuannya itu bisa memberi konstribusi manfaat untuk umat manusia. Hal ini dikuatkan dengan QS. 2: 143 yang menyebut tentang ummatan wasathan dan syuhada ‘ala al-nas. Posisi di tengah dan menjadi saksi bagi semua umat, menghendaki kualitas terbaik, sehingga bisa menjadi rahmat bagi semua.

Ketika belum bisa menjadi rahmat terhadap dirinya, mustahil umat Islam bisa menebarkan rahmat bagi dunia. Ketika pendidikan, ekonomi, dan politiknya masih morat-marit, umat Islam tidak bisa menebar limpahannya, justru menjadi penadah yang kehilangan martabat. Hanya menjadi buih yang suaranya diperebutkan dalam perhelatan demokrasi, namun tidak menjadi kekuatan yang suaranya didengarkan. Berlaku aforisme, faqidu al-syai’ la yu’ti, bahwa siapa yang tidak memiliki apa-apa, tidak mungkin bisa menebar dan memberi apa-apa.

*Penulis adalah pegiat JIMM dan Komunitas Masa Kini Yogyakarta

Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds