IBTimes.ID – Prof. Azyumardi Azra mengatakan bahwa ketika Presiden Jokowi marah, seharusnya ia marah kepada dirinya sendiri. Karena banyak menteri yang ia angkat tidak memiliki performa yang baik. Diantaranya dibuktikan dengan menteri yang tidak cocok dengan bidangnya. Hanya diangkat untuk kepentingan akomodasi politik.
Selain itu, banyak menteri yang juga tidak memiliki pengalaman dalam bidangnya. Dalam hal ini, Azra menyebut bahwa mendikbud tidak memiliki pengalaman dalam bidang pendidikan. Pengalamannya adalah menjadi CEO Go-Jek yang merupakan startup unicorn.
Maka, ia mengatakan bahwa setelah 100 hari menjabat sampai sekarang belum ada tanda-tanda perbaikan kinerja dalam Kemendikbud. Kemendikbud tidak mengurus pendidikan secara serius, terutama selama masa pandemi. Ada stimulus dan bantuan untuk pedagang kecil, UMKM, dan lain-lain, namun sama sekali tidak ada stimulus untuk dunia pendidikan. Padahal pendidikan di Indonesia, selama masa pandemi, pada dasarnya tidak berjalan dengan efektif. Hanya berjalan di beberapa tempat.
***
Hal ini ia sampaikan dalam webinar daring yang diadakan oleh Indomedia Poll. Webinar yang diadakan pada Selasa (30/6) ini mengangkat tema “Refleksi Kebijakan Mendikbud: Mas Nadiem Bisa Apa?”.
“Jadi tidak ada dana stimulus pendidikan. Mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Yang ada hanya BOS. Kemudian di klaim dan di tambah dengan judul-judul baru seperti BOS afirmasi dan BOS kinerja. Kita tidak bisa berharap kedepan pendidikan kita bisa bangkit,” ujarnya.
Menurut Azra, di daerah-daerah banyak yang masih belum terjangkau internet dan masih banyak yang tidak memiliki ponsel. Ia menghimbau lembaga-lembaga filantropi supaya bergotong-royong membelikan ponsel kepada siswa-siswi yang belum punya, karena tidak ada bantuan dari pemerintah.
Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini menyebut karena tidak ada bantuan, guru terpaksa keliling ke rumah siswa-siswi setiap hari. Banyak peserta didik yang sudah merasakan kebosanan selama berada di rumah. Jika masa belajar di rumah ini dilanjutkan sampai akhir tahun, ia menilai tidak akan menjadi efektif.
Sedangkan untuk tingkat pendidikan tinggi, menurut Azra juga tidak ada dana stimulus. Hal ini mengakibatkan banyak mahasiswa yang terkapar. “Di Jakarta, mahasiswanya banyak yang tidak bisa pulang, bahkan dari mancanegara sangat banyak. Mereka terkapar karena masalah ekonomi. Untungnya ada organisasi filantropi yang menyediakan makanan, terutama ketika ramadhan. Tidak ada bantuan dari pemerintah satu sen pun. Tidak ada,” jelasnya.
***
Pemerintah pusat tidak mau membantu, termasuk dalam hal penurunan UKT mahasiswa. Ia meragukan bahwa Perguruan Tinggi di Indonesia akan masuk 100 besar dunia jika keadaannya seperti ini. Pada saat yang sama, gaji dosen dan professor dipotong, dan tunjangannya juga dipotong. Dana riset, penelitian, dan pengabdian masyarakat juga dipotong. Ia mengaku sedih melihat masa depan pendidikan di Indonesia.
“Justru yang lebih bergerak banyak adalah perguruan tinggi swasta yang besar seperti Muhammadiyah. PTM mengeluarkan dana hingga 90 Miliar untuk mitigasi pandemi. Kalau mahasiswa negeri yang kecil justru hampir gulung tikar karena tidak ada pemasukan,” lanjutnya.
Ia juga mengomentari perihal merdeka belajar. Menurutnya, merdeka belajar hanya sekedar jargon yang tidak jelas kemana arahnya. Di sisi lain, guru dan dosen masih diperlakukan dengan kurang baik. Ia menyampaikan bahwa gaji guru dan dosen selalu terlambat. Padahal, dalam Islam ada hadits yang memerintahkan untuk memberikan gaji sebelum keringatnya kering.
“Pendidikan kita terlalu terbelenggu. Pendidikan justru menjadi penindasan terhadap mahasiswa sekaligus dosen. Maka, sebenarnya merdeka belajar ini menjadi penting. Tapi sayangnya konsep dari mendikbud masih belum jelas. Saran saya, kurikulum kita harus turun mesin, diganti dengan yang baru. Sikap guru dan dosen juga harus di ubah. Filsafat pendidikan kita masih tabula rasa. Seolah-olah peserta didik seperti kertas putih yang bisa dijejali apa saja,” tutupnya.
Reporter: Yusuf R Y