Fikih

Kawin Tangkap Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif

4 Mins read

Dalam media sosial akhir-akhir ini beredar sebuah vIdeo viral tentang kawin tangkap yang mempertontonkan seorang perempuan yang menangis dan berteriak saat diboyong beberapa pria dan dibawa masuk ke dalam sebuah rumah di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang di diduga akan dinikahkan.

Hal ini memicu timbulnya pertanyaan dan opini publik bagi masyarakat tentang beredarnya video penculikan yang ada di NTT sebenarnya ada budaya atau tradisi apa yang berkembang di sana? Kalaupun praktik lalu praktik apa? Apakah tindakan tersebut bukan termasuk tindakan kekerasan terhadap perempuan?

Deskripsi Kawin Tangkap

Dalam KBBI kata kawin yaitu membentuk keluarga dengan menikah sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Sedangkan kata tangkap dalam KBBI yaitu memiliki arti suatu tindakan, keberadaan, pengalaman.

Maka dapat disimpulkan bahwa kawin tangkap adalah suatu tindakan pemaksaan terhadap perempuan. Berujuan untuk dinikahi dengan laki-laki tanpa adanya persetujuan si perempuan terlebih dahulu atau orangtua si perempuan.

Dalam penelitiannya Janet Alison Hoskin yang melakukan riset di Sumba Barat Daya dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian di Wawewa Sumba Barat. Mereka menyatakan bahwa kawin tangkap bukanlah budaya atau tradisi. Kawin tangkap yaitu praktik yang terus menerus dilakukan turun temurun di Pulau Sumba.

Sementara menurut antropolog dari Universitas Widya Mandiri Kupang, Pater Gregorius Neonbasu. Praktik kawin tangkap di Pulau Sumba hanyalah tindakan pragmatis yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupuan sesaat.

Berbeda dengan pendapat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Ia mengatakan praktik kawin tangkap sebagaimana yang terjadi di Sumbah Tengah dan Sumba Barat Daya merupakan salah satu bentuk kekerasaan terhadap perempuan dan anak. Budaya atau tradisi tidak statis tetapi dinamis. Kasus ini adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak. Jadi, jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak.

Baca Juga  Berbisnis dengan Konsep Syariat Islam

Kawin Tangkap Dalam Hukum Positif

Dalam pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang merupakan sumber hukum positif bagi umat Islam di Indonesia. Menganut prinsip salah satunya asas kesukarelaan dalam perkawinan.

Sebagaimana yang telah dianut oleh hukum islam sendiri mengenai kesukarelaan dalam perkawinan. Pasal tersebut menjelaskan perkawinan haruslah didasarkan persetujuan kedua calon mempelai dan persetujuan tersebut haruslah dilaksanakan atas kehendak bebas. Tanpa paksaan dari calon mempelai pria maupun wanita untuk melaksanakan perkawinan.

Adapun syarat sah dan rukun dari perkawinan menurut para Imam Madzhab yaitu adanya sighat akad, ijab dan qabul, calon mempelai, wali dan saksi.

Sementara itu menurut Siti Aminah, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Menurutnya dalam praktik kawin tangkap perempuan cenderung dirugikan karena mengalami kerugian hak konsitusionalnya sebagaimana tertuang dalam pasal 28G ayat 1. Yaitu hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah pasal 28B ayat 1. Terutama hak rasa aman dan untuk tidak takut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.

Kemudian hal itu juga tertuang dalam pasal 10 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagai tindakan melawan hukum sesuai Pasal 332 ayat 2 KUHP pelaku kawin tangkap dapat dipidana hingga 9 tahun penjara sementara itu perampasan hak perempuan sesuai pasal 333 KUHP pelaku diancam dengan pidana hingga 12 tahun penjara.
Ia juga mengatakan bahwa konstitusi negara menjamin hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.

Baca Juga  Hukum Islam Progresif Harus Ditegakkan Supaya Islam Nggak Ketinggalan Zaman

***

Namun dalam kajian mengenai praktik-praktik budaya Komnas Perempuan. Seringkali adat atau tradisi dijadikan alasan pembenaran atas tindakan kekerasaan perempuan. Dalan upaya pembenaran tersebut menyembunyikan kontradiksi, penyelewengan ataupun pergeseran nilai-nilai luhur adat dan tradisi yang sejatinya memuliakan perempuan.

Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur Emila dan Anggota Komisi IX DPR Ratu Ngadu Bonu Wulla mengatakan yang intinya tidak setuju dengan adanya praktik kawin tangkap ini. Hal ini merugikan dan merendakan derajat kaum perempuan. Sejatinya perempuan itu dimuliakan tetapi hal ini malah berbanding terbalik.

Kawin Tangkap Dalam Tinjauan Hukum Islam

Istilah kawin tangkap secara tekstual memang tidak disebutkan dalam literatur-literature kitab fikih, bahkan dalam Al-Qur’an dan haditspun tidak disebutkan secara implisit. Namun dalam perwalian salah satu disebutkan tentang ijbar dan wali mujbir. Pemahaman terhadap istilah tersebut yang kemudian muncul pemahaman tentang kawin paksa. Di mana hak ijbari ini dipahami sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain dalam hal ini bisa jadi ayahnya.

Dalam wacana yang berkembang. Secara umum istilah wali mujbir sendiri diartikan sebagai orang tua yang memaksa anaknya untuk kawin atau menikah dengan pilihannya, bukan pilihan anaknya. Oleh karena itu dalam tradisi masyarakat Indonesia yang masih berlaku sampai saat ini kemudian dikenal dengan istilah “Kawin Paksa”.

Istilah ini sendiri apabila dipahami secara mendalam akan memiliki konotasi iqrah, yaitu suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan dengan suatu ancaman yang membahayakan terhadap jiwa dan tubuhnya tanpa ia sendiri mampu untuk melawannya (KH. Husein Muhammad, 2001)

Lalu Bagaimana Kasus Kawin Tangkap di Nusa Tenggara Timur? Menurut Ustadz Wawan Gunawan dalam kaidah hukum adat yang dibolehkan itu yang tidak bertentangan dengan norma dan nilai-nilai hukum Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam teori iblis atau teori receptio a contrario ini dapat ditemukan dalam hubungan antara hukum agama dan hukum adat.

Baca Juga  Penggunaan Tamkin dalam Jadwal Waktu Shalat

Menurut Yahya Harahap ajararan receptio a contrario hukum adat yang menyesuaiakan diri ke dalam hukum Islam atau hukum adat yang sesuai dengan jiwa hukum Islam. Jika norma hukum adat tersebut tidak sejalan dengan jiwa dan semangat hukum Islam maka hukum adat tersebut harus dijauhkan dari kehidupan pergaulan lalu lintas masyarakat

Kawin Tangkap Adalah Kekerasan terhadap Perempuan

Jadi kawin tangkap yang terjadi di Nusa Tenggara Timur adalah bukan budaya ataupun tradisi masyarakat melainkan praktik kekerasaan terhadap perempuan. Maka dari itu dalam hukum Islam maupun hukum nasional di Indonesia tindakan tersebut perlu adanya pencegahaan. Tujuannya agar kearifan lokal bangsa Indonesia tetap terjaga dengan baik, sedangkan dalam hukum islam praktik kawin tangkap hal ini tidak sesuai dengan tujuan syariat (maqashid syariah), yaitu mengedepankan kemaslahatan umat.

Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keislaman kita semua,
Semoga dengan mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam hidup kita menjadi lebih baik dan maju. Semoga amal kebaikan kita di dunia dapat membuahkan kebaikan di kehidupan akhirat. Amiin

Wa Allah a’lamu bi al-shawab

Editor: Rizki Feby W

Avatar
12 posts

About author
Mahasiswa IAIN Surakarta Hukum Keluarga Islam
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *